Langsung ke konten utama

Sejarah Sinar Harapan

LINTAS SEJARAH SINAR HARAPAN
Sinar Harapan terbit perdana pada tanggal 27 April 1961. Tokoh – tokoh yang terlibat dalam upaya pendirian Sinar Harapan adalah : Dr. Komang Makes; Lengkong; Ds. Roesman Moeljodwiatmoko; Simon Toreh; Prof. Dr. Soedarmo; J.B. Andries; Dr. J. Leimena; Supardi; Ds. Soesilo; Ds. Saroempaet; Soehardhi; Ds.S. Marantika; Darius Marpaung; Prof. Ds. J.L.Ch. Abineno; J.C.T. Simorangkir SH; Ds. W.J. Rumambi; H.G. Rorimpandey; Sahelangi; A.R.S.D. Ratulangi; Dra. Ny. B. Simorangkir
Pada awal pendirian, H.G. Rorimpandey dipercaya sebagai Pemimpin Umum, sedangkan Ketua Dewan Direksi adalah J.C.T Simorangkir dan Pelaksana Harian adalah Soehardhi.
Pada awalnya (27 April 1961), oplah Sinar Harapan hanya sekitar 7.500 eksemplar. Namun pada akhir tahun 1961, oplahnya melonjak menjadi 25.000 eksemplar. Seiring dengan perkembangan waktu, Sinar Harapan terus berkembang menjadi koran nasional terkemuka serta dikenal sebagai “raja koran sore”. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1985 Sinar Harapan telah terbit dengan oplah sekitar 250.000 eksemplar. Jumlah karyawan yang semula (tahun 1961) sekitar 28 orang telah membengkak menjadi sekitar 451 orang (tahun 1986).
Berbagai penghargaan telah diterima Sinar Harapan. Penghargaan tersebut antara lain Sinar Harapan mendapatkan tropi Adinegoro dari PWI pada tahun 1975, 1976 dan 1979 untuk penulisan terbaik, yaitu untuk wartawan Subekti, Panda Nababan dan Yuyu A.N Mandagie. Tahun 1976 Tajuk Rencana Sinar Harapan mendapat penghargaan Kalam Kencana dari Departemen Penerangan. Tahun 1982, Bernadus Sendouw meraih tropi Adinegoro bidang foto. Tahun 1983 memborong 5 tropi Adinegoro bidang P4 (Suryanto Kodrat), karikatur (Pramono), foto (Indra Rondonuwu), luar negeri (Samuel Pardede) dan Tajuk Rencana. Tahun 1984 meraih 2 tropi Adinegoro untuk Tajuk Rencana dan karikatur (Pramono). Tahun 1985 meraih 4 tropi Adinegoro, yaitu 2 buah untuk foto (Tinnes Sanger dan Bernadus Sendouw), dan 2 buah untuk karikatur (Pramono dan Thomas Lionar). Tahun 1986 Sinar Harapan meraih juara I sebagai surat kabar Ibukota yang unggul dalam pemberitaan mengenai pembangunan DKI Jakarta bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan selama tahun 1985.
Motto Sinar Harapan adalah “Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian berdasarkan Kasih” yang dijalankan secara konsisten oleh pengelola Sinar Harapan. Konsekuensi dari konsistensi jajaran Sinar Harapan menjalankan motto, maka Sinar Harapan harus mengalami beberapa kali pembredelan oleh pemerintah.
Pada tanggal 2 Oktober 1965, Sinar Harapan dibreidel supaya peristiwa G 30 S-PKI tidak diekspos secara bebas oleh media. Hanya media-media tertentu saja yang boleh terbit. Pada tanggal 8 Oktober 1965 Sinar Harapan diperbolehkan kembali terbit. Pada bulan Juli 1970 pemerintah Orba menyorot pemberitaan Sinar Harapan yang mengekspos laporan Komisi IV mengenai korupsi. Pemerintah menganggap Sinar Harapan telah melanggar kode etik pers karena mendahului Presiden karena laporan Komisi IV tersebut baru akan dibacakan Presiden pada tanggal 16 agustus 1970. Namun beberapa pihak justru memuji Sinar Harapan yang unggul dalam news getting. Dalam kasus ini, Dewan Kehormatan PWI menyimpulkan bahwa belum melihat cukup alasan untuk mengatakan telah terjadi pelanggaran kode etik pers oleh Sinar Harapan. Pada bulan Januari 1972 kembali Sinar Harapan berurusan dengan Dewan Kehormatan Pers karena pemberitaan tanggal 31 Desember 1971 dengan judul tulisan “Presiden larang menteri-menteri beri fasilitas pada proyek Mini”. Tanggal 2 Januari 1973 Pangkokamtib mencabut sementara Surat Ijin Cetak Sinar Harapan berkaitan dengan pemberitaan RAPBN dengan judul “Anggaran ‘73-’74 Rp. 826 milyard”. Pada tanggal 12 Januari 1973 Sinar Harapan diperbolehkan terbit kembali. Terkait dengan peristiwa “Malari” 1974, kembali sejumlah media dibreidel, termasuk Sinar Harapan. Tanggal 20 Januari 1978 pukul 20.21 Sinar Harapan melalui telepon diperintahkan tidak terbit untuk esok harinya oleh Pendam V Jaya. Hal tersebut kemungkinan karena Sinar Harapan dan beberapa media lain memberitakan kegiatan mahasiswa yang dianggap dapat memanaskan situasi politik. Tanggal 4 Februari 1978 Sinar Harapan diperbolehkan terbit kembali. Dan yang paling memukul adalah pembatalan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan) oleh pemerintah Soeharto pada pada bulan Oktober 1986 akibat Sinar Harapan memuat head line “Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”. Breidel ini mengakibatkan 15 tahun lamanya Sinar Harapan dipaksa tidak boleh terbit.
Pada era Reformasi, kebebasan pers mulai diperlonggar. Sinar Harapan diterbitkan kembali pada tanggal 02 Juli 2001 oleh H.G. Rorimpandey dan Aristides Katoppo di bawah naungan PT. Sinar Harapan Persada. Meskipun telah 14 tahun “dikubur”, kebangkitan kembali Sinar Harapan tetap mendapat respon positif dari berbagai pihak, baik dari kalangan elit pemerintah, elit politik, pelaku bisnis, kaum profesional, biro iklan sampai agen koran. Berbagai penghargaan jurnalistik juga kembali telah diterima beberapa wartawan Sinar Harapan.
H. G. Rorimpandey dan Terbit Kembalinya Sinar Harapan
”Saya masih ingat ketika hari terakhir koran ini ditutup,” ujar Rorimpandey mengenang kembali peristiwa lama. Waktu itu hari Kamis siang, tanggal 9 Oktober tahun 1986.
”Saya terima pemberitahuan lewat telepon dari Dirjen PPG Sukarno SH , supaya Sinar Harapan pada esok hari 9 Oktober tidak terbit lagi,” ujar Pak Rorim dengan suara lirih. ”Saya sama sekali tak menduga dan tak percaya bahwa itu penutupan koran untuk selama-lamanya.”
Yang menjadi sebab koran sore ini ditutup, gara-gara judul berita yang dimuat dalam headline di halaman satu yang dibuat oleh wartawan dengan kode M-5 dengan judul ”Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”. Tentu ini hanya pemicu, karena Presiden Soeharto sudah lama menandai koran ini karena kritik-kritiknya.

Ada pertanyaan apakah pencabutan 44 SK itu akan memukul bisnis keluarga cendana dan konconya? Ini tidak diketahui. Tetapi yang jelas keputusan Pemerintah tersebut menjadikan dunia perdagangan tidak lagi melemahkan monopoli .
Belakangan diketahui 44 SK tersebut masih konsep. Rupanya menteri ingin mendapatkan feed back. Bahan berita dibagikan kepada wartawan tanpa berpikir dan menduga perbuatan ini akan menyebabkan perdagangan menjadi stagnan atau mandeg. Dan lebih sial lagi menyebabkan Harian Sore ”Sinar Harapan” ditutup .

Dalam alam pers yang serba dibatasi waktu itu, apakah kebijaksanaan yang dijalankan oleh Sinar Harapan ? ”Saya dan pimpinan sudah menerima policy yang tegas. Semua berita yang mengkritik Pemerintah khusus Soeharto dibolehkan,” ujar Rorimpandey. Bagaimana kalau ada risiko ? ”Risiko itu kita terima,” kata Pak Rorim.
Inilah bentuk dari keberanian sikap Pers independen yang dijalankan oleh ”Sinar Harapan”. Karena berani mengkritik, maka Sinar Harapan ditutup.
Banyak langkah yang diupayakan supaya koran ini bisa terbit lagi. Bukankah penutupan koran memberi dampak yang luas? Ribuan karyawan kehilangan mata pecaharian, demikian pula puluhan ribu agen dengan keluarganya.
Satu ketika pimpinan Sinar Harapan berkirim surat kepada Presiden Soeharto . Tetapi hasilnya nihil. Sedangkan sikap perusahaan jelas, bagaimana mencari jalan keluar agar PT Sinar Kasih tidak dibubarkan dan karyawan tidak di PHK.
Dari hasil rapat dewan komisaris PT Sinar Kasih, Sinar Agape Pres, dan Sitra diperoleh dua kemungkinan yang bisa dihadapi. Pertama adakan penerbitan baru karena “SH” tidak boleh terbit lagi. Berdasarkan pemikiran itu berkembang pembicaraan, usahakan SIUPP yang baru. Rorimpandey dan TB Simatupang satu pendapat.

Pemikiran kedua, mencoba memenuhi undangan Sudwikatmono. Pembicaraan berlangsung malam hari jam 11.00 di rumah kediaman konglomerat ini di kawasan Permata Hijau.
Sudwikatmono yang didampingi mitra kerjanya Soetrisno berkata : “SH boleh terbit kembali, Pak Rorim tetap pimpinan umum, asal sebagian saham kami miliki”.
Mendengar pernyataan ini, Rorimpandey terdiam. Kemudian ia menunjuk presiden komisaris Soedarjo. Soedarjo menjawab: Ya kami menerima.Tapi kami tanya Pak Rorim”.

Sewaktu ditanya Rorimpandey berbeda pendapat: “Saya menolak. Alasan saya, Pak Dwi, tak bisa saya mengajak anda untuk membagi deviden atau bersama dalam mengambil satu keputusan penting dan kita bersama berdoa. Saya takut mengajak Bapak. Tapi silahkan tanya pada komisaris yang lain, direksi dan pemegang saham. Saya tidak punya saham terbesar di sini.”
Pembicaraan dengan Sudwikatmono ini, pada satu pagi disampaikan kepada Drs. Radius Prawiro dalam kesempatan sarapan pagi di rumahnya. Radius kemudian melakukan pengecekan. Dan hasilnya ternyata Pak Harto tidak setuju “Sinar Harapan” hidup lagi.
Pengecekan juga dilakukan oleh Rorimpandey melalui keponakannya Dirut PT Garuda Indonesia, Lumenta. Lumenta yang menjadi kawan akrab Ka Bakin Benny Moerdani: “Coba tanya Benny, bagaimana komentarnya?” ”Kalau mau terbitkan koran baru cobalah. Tapi saya tak punya harapan bahwa itu bisa diterbitkan. Jual es teler sajalah. Atau mereka juga bisa mulai dengan asembling mobil, ya apa saja,“ ujar Benny sebagaimana ditirukan Lumenta.
Hari ini Senin , 2 Juli 2001, Harian Sore “Sinar Harapan” resmi diterbitkan kembali setelah menjalani masa tidur panjang, persisnya 14 tahun, tujuh bulan, tiga minggu, 3 hari. “Saya orang yang paling senang, paling gembira. Saya suruh Nico (Nico Sompotan) dan Bara (Baradita Katoppo) mempersiapkan untuk terbitkan kembali koran ini. Saya sangat berterimakasih kepada Aristides Katoppo mau jadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi. Apalagi Peter sudah dipanggil bergabung, lalu lain-lainnya.
Terimakasih juga buat semua yang kerja keras untuk memulai kembali, teman-teman lama redaksi, agen-agen, dan orang-orang iklan serta semua yang telah membantu,“ ujar H.G.Rorimpandey yang kini sudah berusia 79 tahun. Berdarah Kawanua, lahir di Palu (Sulawesi Tengah), memulai karier di masa revolusi sebagai perwira yang ikut mendirikan Siliwangi.
Dalam dunia pers ia pernah menjadi Ketua Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS).
Sebagai tokoh pers ia yang melahirkan istilah industri pers, setelah melihat kenyataan bahwa usaha pers telah berkembang menjadi bisnis yang melibatkan banyak sektor.
H. G. Rorimpandey
CORPORATE PROFILE
Sinar Harapan diterbitkan kembali pada tanggal 02 Juli 2001 oleh H.G. Rorimpandey dan Aristides Katoppo di bawah naungan PT. Sinar Harapan Persada. Meskipun telah 14 tahun “dikubur”, kebangkitan kembali Sinar Harapan tetap mendapat respon positif dari berbagai pihak, baik dari kalangan elit pemerintah, elit politik, pelaku bisnis, kaum profesional, biro iklan sampai agen koran. Berbagai penghargaan jurnalistik juga kembali telah diterima beberapa wartawan Sinar Harapan.
Visi and Misi
Melanjutkan visi dan misi terdahulu :
• Visi : Menyajikan liputan dan laporan yang adil, akurat, berimbang, aktual dan faktual melalui jurnalisme damai.
• Misi : “Memperjuangkan Kemerdekaan, Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian Berdasarkan Kasih”
Kepemilikan
Sampai dengan akhir tahun 2007 jumlah total modal disetor PT. Sinar Harapan Persada sebesar Rp. 59 milyar dimana 83,2% sahamnya dimiliki oleh PT. Cahaya Pelangi Persada, 8,4% sahamnya dimiliki oleh Ny. Martha HG. Rorimpandey dan 8,4% sahamnya dimiliki oleh Aristides Katoppo.
Manajemen
Manajemen Sinar Harapan merupakan kombinasi dari berbagai latar belakang pengalaman dan ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
Susunan pengurus PT. Sinar Harapan Persada saat ini adalah :
Dewan Komisaris
Komisaris Utama : Aristides Kattopo; Wakil Komisaris Utama : Karel Patipeilohy; Komisaris : Insa Martha Rorimpandey; Matheus Rukmasaleh Arief
Dewan Direksi
Direktur Utama : Susanto Sjahir; Direktur : Christine Widjaja; Veronica Fausta; Daud Sinjal; Edward Hariandja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sumatera Ekspres

Sejarah Sumatera Ekspres: http://bukuteje.blogspot.com/2009_02_01_archive.html PENULIS: T Junaidi Sejarah Harian Sumatera Ekspres & 15 Tahun Bersama Jawa Pos Group Detik-Detik Menegangkan di Ruang Redaksi ---------------------------- Lay out & Artistik : T Junaidi dan Hellendri Fotografer : H Dulmukti Djaja Penerbit : PT Citra Bumi Sumatera Percetakan : JP Book ---------------------------------------------------------------------------- I. Kata Pengantar H Suparno Wonokromo (CEO Jawa Pos Indonesia Timur) II. Pengantar (Penulis, T Junaidi) III. DAFTAR ISI 1. Negosiasi Buntu, Hanya Ada Satu Kata MOGOK! 2. Ya Wartawan, Ya Sirkulasi, Ya Advertising 3. ’Hoki’ Era Reformasi 4. Kantor Terburuk di ’Dunia’, Kini Gedung Graha Pena 5. ’Embrio’ Sumeks Menjelma Gurita 6. Sumeks Juara I Perwajahan Jawa Pos Group 7. Wajah Media Cermin Manajemen Redaksi IV. CATATAN HARIAN - Dari Titik Nol 8. Muntako BM, Jual Kursi untuk Selamatkan SIUPP Sumatera Express 9. Fotografer Gaek H Dulmukti Jaya, Tak

H Ismail Djalili

Suasana pemakaman tokoh pers Sumsel, Drs H Ismail Djalili di TPU Puncak Sekuning, Minggu sore. (Foto: Facebook arif ardiansyah) Tokoh Pers Sumsel Meninggal Palembang, Berita duka menyelimuti dunia pers di Sumsel. Seorang tokoh pers di Sumsel, Drs H Ismail Djalili, menghembuskan nafas terakhirnya Minggu (6/2/2011) sekitar pukul 07.30 di RS RK Charitas Palembang.. Masyarakat Sumatera Selatan, utamanya insan jurnalis sangat kehilangan sosok Ismail yang dikenal sebagai pekerja keras, disiplin dan tegas. Selama hidupnya, almarhum telah mengabdikan dirinya di dunia pers. Beliau sempat memimpin PWI Sumsel. Dan mendirikan lembaga pendidikan yang kini mengelola Program Pasca Sarjana. Pendidikan S-1 dan SLTA di Sekip Ujung Palembang. Lembaga yang didirikannya itu adalah STISIPOL Candaradimuka. Ia meninggalkan seorang istri, Lien Suharlina, dua anak, Lis Hapari dan Lisdestriani Rahmani. Serta empat orang cucu, Aidri, Rere, Utiyah Nurahmadani, dan Isnin Nurulfallah. Jenazah pendiri Stisipol Cha