Sejarah Sumatera Ekspres:
http://bukuteje.blogspot.com/2009_02_01_archive.html
PENULIS:
T Junaidi
Sejarah Harian Sumatera Ekspres &
15 Tahun Bersama Jawa Pos Group
Detik-Detik
Menegangkan
di Ruang Redaksi
----------------------------
Lay out & Artistik : T Junaidi dan Hellendri
Fotografer : H Dulmukti Djaja
Penerbit : PT Citra Bumi Sumatera
Percetakan : JP Book
----------------------------------------------------------------------------
I. Kata Pengantar H Suparno Wonokromo (CEO Jawa Pos Indonesia Timur)
II. Pengantar (Penulis, T Junaidi)
III. DAFTAR ISI
1. Negosiasi Buntu, Hanya Ada Satu Kata MOGOK!
2. Ya Wartawan, Ya Sirkulasi, Ya Advertising
3. ’Hoki’ Era Reformasi
4. Kantor Terburuk di ’Dunia’, Kini Gedung Graha Pena
5. ’Embrio’ Sumeks Menjelma Gurita
6. Sumeks Juara I Perwajahan Jawa Pos Group
7. Wajah Media Cermin Manajemen Redaksi
IV. CATATAN HARIAN - Dari Titik Nol
8. Muntako BM, Jual Kursi untuk Selamatkan SIUPP Sumatera Express
9. Fotografer Gaek H Dulmukti Jaya, Tak Mau Diangkat Jadi Karyawan
10. Mahmud, Bangkit dari Kehancuran Masa Lalu
11.Yunita Ayu, Menghitung Tepat, Angka Peruntungan
V. SEJARAH Sumatera Ekspres
12. Hanya Modal Nekad
13. Rapat Terakhir Surya Persindo Group
’Sumeks Tidak Bisa Diselematkan’
VI. MEREKA DIBALIK SUKSES SUMEKS GROUP (Jawa Pos)
14. Sang Inovator itu, Suparno Wonokromo
15. Helmy Mattury, Bertahan Sampai ke ’Pulau Harapan’
16. Alwi Raden Pandita, Sekali Berjuang Setelah itu...
VII. CATATAN TERCECER (Pengalaman Tak Terlupakan)
17. Terbang Seperti Burung, Bebas Ambil Foto Udara
18. Terjebak Wawancara Ekslusif
19. Memasuki Pulau Mayat
20. Ditelanjangi di Bandara Capital International Beijing
VIII. LENSA PERISTIWA
PERJALANAN KARYAWAN DAN WARTAWAN SUMATERA EKSPRES GROUP
22. MALAYSIA
23. SINGAPURA
24. THAILAND
25. CHINA
26. EROPA
IX. MEREKA BICARA:
28. Ketua PWI Sumsel H Oktaf Riyadi
29. Tokoh PERS Sumsel H Ismail Djalili
30 Wartawan Senior Ajmal Rokian
31. Wartawan Senior Sumsel Rapanie Igama
31. Wartawan Senior Tarech Rasyid
32. Sastrawan Budayawan Anwar Putra Bayu
33. Pengamat Hukum dan Politik Prof Amzulian Rivai
34. Praktisi Akademisi.............
35. Mahasiswa.........................
36. Pelajar ..............................
37. Tokoh Pendidikan .............
------------------------------------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Sumeks Tidak (akan pernah) Mati--Membaca kalimat ini, memaksa kita untuk mengerutkan kening, karena agak sedikit membingungkan. Harian Sumatera Ekspres (Sumeks) merupakan bagian dari obyek yang sedang kami angkat ke tengah-tengah pembaca. Sumeks memang tidak akan perna
h mati meskipun berkali-kali mengalami nasib buruk, jatuh bangun dan sempat ‘mati suri’. Termasuk awak redaksinya yang sempoyongan memanggul beban psikologis yang sangat berat, terutama misi penyelamatan Sumeks yang saat itu terbit senin-kamis (baca; menderita) pada dekade 1960 hingga 1990 an.
Kami merasa perlu mengupas sejarah Sumeks secara umum agar pembaca lebih memahami bagaimana sepak terjang Sumeks menggapai kesuksesan seperti sekarang ini. Kami bukan bermaksud membanggakan sebuah primordial atau masa lalu Sumeks, sebab masa lalu hanyalah sebuah proses, dan tidak perlu disetting mundur untuk diratapi, tetapi kami ungkap sebagai bagian dari sebuah sejarah agar generasi sekarang dan mendatang lebih memahami sebuah era yang berbeda. Yang pada gilirannya dapat dijadikan acuan untuk menata masa depan lebih baik bagi wartawan generasi baru di dunia persuratkabaran.
Mungkin, beberapa tahun silam, kematian Sumeks dipicu oleh situasi yang sangat kompleks, yaitu negeri yang baru membangun, situasi yang mendukung untuk mati, serta dipicu oleh kemiskinan penerbitnya. Ongkos mencetak koran bukanlah perkara sepele, tapi perkara yang sangat serius, termasuk didalamnya upaya mensejahterakan karyawan dan wartawannya. Bisa dipahami di era 60 hingga 90an, daya beli masyarakat masih sangat rendah. Tingkat pendidikan masyarakat juga mempengaruhi keberadaan koran lokal saat itu. Orientasi bisnis mungkin bisa dikesampingkan, karena pers saat itu berorientasi pada pers perjuangan, menjunjung semangat idealisme dan sebagai obor masyarakat, meski dirinya terbakar oleh api semangatnya sendiri.
Bagaimana sebuah penerbitan pers bisa untung kalau daya beli masyarakat sangat minim, begitu juga periklanan. Tentu ini akan berpengaruh pada keberlangsungan dan eksistensi koran itu sendiri.
Memasuki era teknologi internet, media online, facebook dan blogger, eksistensi koran juga diramalkan bakal menemui ajalnya. Kami mengedepankan Sumeks sebagai barometer, karena mewakili sebuah sejarah koran lokal Sumsel yang berhasil keluar dari lembah derita, masuk ke lembah teknologi dan industri seperti sekarang ini. Tapi ternyata kematian koran Sumeks itu tampaknya di-cancel (batal) terjadi, karena bisnis surat kabar tiba-tiba bangkit kembali di hampir seluruh kawasan di dunia ini.
Secara umum, koran masih bernapas panjang. Itulah setidaknya hasil satu studi yang disampaikan pada konferensi ke-60 Asosiasi Suratkabar Dunia (WAN) dan sidang ke-14 Forum Editor Dunia (WEF) di Cape Town Maret 2008 lalu. Konferensi yang dihadiri sedikitnya 1.600 editor dan eksekutif media dari seluruh dunia itu, malah melahirkan semangat baru, yakni seperti diyakini, Rohman Budijanto, Pemimpin Redaksi koran Jawa Pos (Induk Sumeks Group), ketika rapat koordinasi seluruh Redaktur Pelaksana (Redpel) se-Jawa Pos Group di Batam awal tahun 2008 lalu.
Menurut Rohman, selagi industri surat kabar mampu menyiasati persoalan dimuka bumi ini dan menarik minat pembaca, selama itu pula surat kabar akan bernafas panjang.
Dan Sumeks berada di bawah payung Jawa Pos telah melakukan itu sejak terbit 1 Juni 1995. Memang, isu tentang kematian surat kabar di era digital ini sempat membuat Pimred jaringan Jawa Pos harus merapatkan barisan untuk menyatukan persepsi. Faktanya justru bertolak belakang, hampir seluruh koran jaringan Jawa Pos Group tetap solid bahkan tumbuh subur dalam hal penjualan ataupun langganan. Optimisme akan tetap tumbuhnya bisnis surat kabar ditunjukkan oleh banyaknya penerbitan pers, baik secara nasional maupun internasional, bahkan didaerah-daerah tingkat II juga menunjukkan optimisme yang tinggi.
Group Sumeks sendiri di wilayah Sumel berjumlah 16 koran, mulai wilayah Palembang maupun daerah tingkat II-- semuanya memiliki segmentasi pasar tersendiri.
Semakin menguatnya media digital malah mendorong media cetak yang bagi mayoritas pembaca dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari sumber informasi mereka.
Timothy Balding, CEO Asosiasi Surat Kabar Dunia, punya pandangan yang sama, di beberapa negara sedang berkembang, pasar surat kabar bahkan meningkat dengan mantap. Balding mengemukakan berbagai fakta bahwa bisnis surat kabar kini menjadi lebih bergairah, termasuk di negeri maju yang masih menunjukkan pertumbuhan sirkulasi. Balding tentu tidak melakukan suatu pembelaan sekaligus pembenaran terhadap kenyataan industri media cetak. Tapi itulah gambaran yang nyata bahwa surat kabar di Indonesia menunjukkan kebangkitan kembali.
Pada 2004, dalam konferensi Asosiasi Surat Kabar Dunia di Istambul, Turki, kekhawatiran serupa juga mencuat ketika booming kedua bisnis online mendera berbagai wilayah di muka Bumi. Ketika itu, logika berpikir kita lebih simple bahwa orang akan lebih gampang memelototi komputer lalu klik situs internet yang diinginkan. Artinya, dalam berpikir praktis, koran mati saat itu juga.
Karenanya, menurut Pimred Jawa Pos, koran tetap memiliki kekuatan dan peran di masyarakat. Agar koran tetap menjadi bagian media informasi paling simple di masyarakat, harus punya beberapa terobosan, antara lain melakukan re-design dan restrukturisasi total terhadap koran yang dikelola. Isu itulah yang membuat semua perusahaan media cetak-termasuk di Indonesia dan daerah ramai-ramai melakukan pembenahan termasuk ukuran halaman broadsheet (halaman kecil ala Amerika) dan lebih praktis. Group Jawa Pos jauh lebih dulu memikirkan itu sebelum orang ramai mengganti perwajahan dan dominasi foto. Ini merupakan siasat zaman televisi, internet, blogger, facebook dan system online lainnya.
Media cetak akan tetap eksis melalui penyajian reportase yang lebih mendalam, lebih banyak informasi yang berhubungan langsung dengan kehidupan para pembaca, lebih menarik penampilannya dan mengedepankan proximity berita (kedekatan dengan pembaca).
Perubahan dalam industri media bukanlah alamat menuju lembah hitam surat kabar, melainkan perubahan peran media itu sendiri menuju ruang dan waktu. Tidak ada media yang ’membelenggu’ media lainnya, karena memiliki pangsa pasar yang berbeda. Anggapan bahwa Internet, online serta blogger menghancurkan surat kabar ternyata tidak terbukti. Keduanya memiliki segmentasi dan dinding pembatas yang berbeda.
Jadi, inilah saatnya bagi pengelola surat kabar untuk memutuskan ingin hidup seribu tahun (meminjam istilah sastrawan Khairil Anwar) atau menuju lembah kematian. Sumeks telah memiliki itu semua, baik cetak maupun online. Dan tidak ada salahnya berkomparasi pada suatu sejarah, bahwa kesuksesan Sumeks sempat tertunda. Saat ini adalah pijakan menuju masa depan dan membangun masa depan dengan menatap lebih jauh ke depan, bukan bangga dengan romantisme masa lalu.
Selamat membaca!
Penulis, T Junaidi
---------------------------------------------
PENGANTAR DAHLAN ISKAN
Ketika saya menyetujui pemikiran beberapa teman di Jawa Pos Group untuk “masuk” ke Palembang, saya tidak menaruh banyak harapan. Di Palembang saat itu sudah ada Koran harian yang sangat dominan: Sriwijaya Post. Tidak mungkin lagi bersaing dengan Koran itu. Dia sudah 10 langkah di depan. Terlalu berat untuk mengejarnya. Modal besar saja tidak cukup untuk membuat sebuah koran itu maju. Modal besar sering hanya sia-sia. Hanya buang-buang uang.
Karena itu ketika saya menyetujui untuk “masuk” Palembang, saya sudah menyatakan tidak akan mau menanamkan modal besar. Modal terbesar yang saya sediakan adalah network, system manajemen dan semangat. Kalau teman-teman menyetujui syarat dari saya itu silakan saja.
Saya masih menambahkan satu syarat lagi: tidak boleh punya ambisi untuk cepat besar. Ambisi yang kelewat besar hanya akan bikin frustrasi. Harus disadari sepenuhnya bahwa Sriwijaya Post tidak mungkin disaingi lagi. Saya kemukakan kepada tim manajemen yang ke Palembang agar siap-siap tidak sejahtera selama 20 tahun! Rasanya teman-teman generasi pertama Sumatera Ekspres di bawah manajemen Jawa Pos masih ingat penegasan saya itu. Saya juga sudah tegaskan bahwa Sumatera Ekspres akan terus mengalami kerugian kira-kira sampai 20 tahun. Karena itu jangan membuat rugi yang besar setiap tahun. Ruginya kecil-kecil saja agar masih bisa ditanggung oleh grup.
Akibat kebijaksanaan agar “ruginya kecil” saja itu, maka manajemen tidak bisa membuat banyak program. Biaya harus kecil. Cetak koran harus sedikit saja. Agar tidak perlu membeli kertas banyak-banyak. Pemasaran juga tidak perlu agresif. Kantonra juga sederhana saja. Jangan memerlukan investasi yang besar.Yang diperlukan adalah kerja keras: membuat produk yang bagus, memasarkan koran dengan militant dan mencari iklan yang gigih. Itulah sebabnya semua karyawan juga menjadi tenaga marketing. Termasuk karyawan redaksi.
Kami merencanakan agar Sumatera Ekspres biarpun koran kecil tapi bermutu. Juga harus dijaga agar terbit teratur dan selalu harus lebih pagi. Ibarat lomba lari saya ingin menciptakan suasana lomba marathon. Bukan sprint 100 meter. Untuk lomba marathon yang diperlukan bukan lari dengan cepat, namun lari dengan konstan, stabil dan dengan nafas yang panjang. Sumatera Ekspres, dengan posisinya sebagai Koran yang jauh di bawah Sriwijaya Post, harus menyiapkan diri untuk lomba marathon itu.
Maka dalam perjalanannya Sumatera Ekspres tidak pernah memeprhitungkan Sriwijaya Post. Maksus saya: tidak pernah memperhatikan Sriwijaya Post melakukan apa saja. Kami hanya sibuk dengan diri sendiri dan harus hanya memperhatikan kondisi tubuh sendiri. Kalau kami terlalu memperhatikan pelari yang sudah jauh di depan, bisa-bisa mental kami jatuh. Lalu putus asa. Kami tidak mau teman-teman di Sumatera Ekspres terjebak dalam situasi itu.
Jangankan memperhatikan pihak lain. Diri kami sendiri saja masih amburadul. Bahkan akhirnya manajemen kami yang pertama harus berganti dengan yang baru: Suparno Wonokromo. Dia adalah wartawan Jawa Pos di Jakarta. Dia ini orangnya kecil, tapi hatinya besar. Langkahnya pendek tapi pikirannya panjang. Apalagi hatinya: mulia.
Suparno memimpin manajemen Sumatera Ekspres dengan hati yang lapang, pikiran yang positif dan kerja dengan amat keras. Sejak dipegang Suparno suasana kerja menjadi amat kondusif. Lalu mesin-mesin perusahaan berputar sesuai dengan fungsinya. Putaran mesin kian lama kian cepat. Suparno, anak desa pelosok Ngawi itu, bisa menjadi oli yang baik bagi mesin Sumatera Ekspres yang bergerak cepat.
Di tangannyalah Sumatera Ekspres memperlihatkan eksistensinya. Meski masih tetap kecil, tapi Sumatera Ekspres sudah bisa disebut Koran yang baik. Bahwa saat itu belum bisa besar, benar-benar karena menunggu waktu saja. Dengan pengelolaan yang baik itu saya pun kian optimistis. Gambaran yang semula baru akan baik dalam 20 tahun, mungkin akan bisa lebih cepat.
Suparno rupanya bukan hanya mampu, tapi juga diberkahi Tuhan. Tanpa disangka-sangka harian Sriwijaya Post berhenti terbit. Kabarnya ada masalah intern yang tidak bisa diselesaikan. Tentu Sumatera Ekspres tiba-tiba menjadi besar. Saya tidak bisa memungkiri bahwa kebesaran Sumatera Ekspres antara lain karena mendapatkan “durian runtuh” itu. Tapi kalau saja saat itu sumatera Ekspres belum menjadi Koran yang baik, “durian” itu tidak akan runtuh ke sini. Maka harus diakui bahwa durian itu memang runtuh, tapi juga harus dicatat bahwa Suparnolah yang membuat Sumatera Ekspres layak mendapat durian runtuh itu.
Apakah kami menyambut durian runtuh itu dengan suka cita? Mungkin anggapan orang seperti itu. Tapi kami sendiri tidak. Kami selalu percaya bahwa berhenti terbitnya Sriwijaya Post hanyalah dalam hitungan hari. Kalau masalah sudah selesai pasti akan terbit lagi. Karena itu kami tetap mendoktrinkan agar tidak usah menyambut lowongan pasar itu dengan gegap gempita. Nanti bisa celaka. Kalau tiba-tiba Sriwijaya Post terbit lagi, bisa-bisa justru akan jadi boomerang.
Sikap kami waktu itu adalah tetap saja memikirkan diri sendiri. Bahwa agen-agen minta tambahan jatah, kami hanya melayaninya dengan batasan yang ketat. Tidak obral atau memanfaatkan aji mumpung. Namun memang sungguh di luar dugaan kami. Beberapa hari kemudian Sriwijaya Post tetap belum terbit. Bahkan beberapa minggu berikutnya. Beberapa bulan dan bahkan tahun. Baru … tahun kemudian, ketika Sumeks sudah sangat eksis, dia terbit lagi.
Saya sangat bangga pada teman-teman di Palembang. Bahkan ketika propinsi sumsel meraih kemajuan pesat, Sumeks juga berlari kencang. Dalam grup Jawa Pos yang sudah memiliki lebih 120 koran harian, kelompok Sumeks adalah salah satu yang terbesar. Sumeks, dari segi skala usaha, sudah mengalah banyak koran Jakarta. Saya bisa tegaskan di sini bahwa Sumeks ini di tahun 2009, sudah jauh lebih besar dari TEMPO Group di Jakarta. Mungkin sudah tiga kali lipatnya.
Saya memang punya kebijaksanaan agar segala kemajuan di daerah harus untuk mengembangkan daerah itu. Sistem keuangan kami tidak tersentralisasi. Uang di Sumeks tidak ditarik ke pusat sama sekali. Dia harus dipakai untuk mengembangkan diri sekuat-kuatnya di Sumsel. Siapa pun orang Sumeks yang ingin maju harus didorong untuk maju. Yang muda-muda harus tampil. Kemampuan yang muda-muda itu harus ditingkatkan dengan cara memberikan kepercayaan untuk mencoba posisi yang lebih tinggi.
Karena itu tidak heran bila Sumeks kini sudah membawahkan….koran di seluruh Sumbagsel: Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung dan bahkan meloncat ke beberapa kota di Jawa Barat. Semua diperbolehkan. Tidak ada kemajuan yang ditahan-tahan. Kuncinya harus mampu dan bisa dipercaya. Begitu menyelewengkan kepercayaan itu hilanglah kesempatan baginya. Saya bangga semua teman di palembang bisa sangat amanah atas kepercayaan tersebut.
Saya –tidak pura-pura—sebenarnya sudah tidak banyak tahu lagi perkembangan Sumkes. Saya hanya tahu garis besarnya saja. Bahwa Sumeks sudah punya stasiun TV –bahkan sampai di jambi dan Lampung—saya baru tahu ketika TV itu sudah mulai siaran. Saya bukan direksi atau komisaris di Sumeks. Saya hanya dianggap sebagai yang dituakan. Saya tidak berhak lagi mengangkat siapa menjadi apa. Saya hanya mendapat satu posisi saja di sini: berhak memberhentikan siapa saja yang dianggap tidak amanah.
Saya senang saudara Teje menulis buku ini. Dialah yang menjadi saksi apa yang terjadi di Sumeks bahkan sejak sebelum era Jawa Pos. Saya tidak memberikan arahan atau koreksi terhadap buku ini. Apa pun yang Teje tulis itulah yang dia lihat dan dia rasakan.
Saya juga memuji buku ini dari caranya menulis dan caranya mengatur aliran cerita. Teje memang termasuk wartawan yang seniman, atau seniman yang wartawan.
Dahlan Iskan
CEO Jawapos Group
PENGANTAR H SUPARNO WONOKROMO
Asli Perjalanan Sumeks
Saya menyambut gembira dengan terbitnya buku tentang perjalanan Harian Sumatera Ekspres (Sumeks) pada peringatan HUT Sumeks yang ke-15 pada 2010. Buku ini ditulis oleh wartawan Sumatera Ekspres, Triyono Junaidi, Anto Narasoma, dan dibantu dengan teman-teman wartawan lainnya. Tentu saja dibantu M Azhari (korektor), Helendri (Layouter) Sirojudin sebagai grafis Sumeks dan Dukmukti Djaja sebagai fotografer Sumeks. Tulisan ini tentu saja berdasarkan pengalaman mereka sebagai wartawan Sumeks yang merasakan sejak era jatuh bangun, era perjuangan, dan era kemajuan seperti sekarang ini.
Supaya tulisan di buku ini asli, saya memang sengaja tidak ingin intervensi masalah isinya. Dengan demikian bagaimana peran saya di Sumeks seperti yang ditulis dalam buku ini murni penilaian teman-teman wartawan dan karyawan. Dan saya juga ingin tahu seperti apa teman-teman melihat peran saya di Sumeks yang sesungguhnya. Karena kalau saya intervensi tentu nanti isi buku ini akan melebih-lebihkan peran saya dan ini tidak baik karena buku ini bukan otobiografi saya. Dan kalau saya ingin peran yang utuh versi saya tentu saya nanti akan menulis buku tersendiri.
Untuk menulis buku ini apa adanya salah seorang penulis memberitahu saya kalau ketika saya marah-marah kepada wartawan atau karyawan di era perjuangan dulu akan ditulis apa adanya. Saya persilakan menulis apa adanya dan saya tidak akan tersinggung. Bahkan misalnya dalam tulisan buku ini menyebut tentang saya yang jelek-jelek di saat saya mulai memimpin Sumeks sejak Juli 1995 saya pun tidak keberatan. Bahkan saya minta keadaan kantor Sumeks yang lama, kantor redaksi yang ada waktu itu agar bisa dimuat sebagai bagian dari perjalanan sejarah Sumeks.
Saya setuju buku tentang Sumeks ini ditulis utuh apa adanya karena di Sumeks sekarang ini sudah banyak generasi baru yang pemahamannya tentang Sumeks belum tentu mereka tahu. Oleh karena itu, buku ini sangat bermanfaat untuk teman-teman generasi baru Sumeks, relasi iklan atau mitra kerja Sumatera Ekspres. Yang utama tujuan diterbitkannya buku tentang Sumeks tersebut untuk kepentingan keluarga besar dan mitra kerja baik yang di Palembang maupun di luar Palembang.
Tetapi kalau ada masyarakat umum yang menginginkan buku tentang Sumeks ini kalau cuma sedikit bisa diberikan cuma-cuma. Tetapi kalau peminatnya banyak kami akan mencetakkannya tetapi dengan catatan harus mengganti ongkos cetak. Sekali lagi kami tidak punya keinginan menjual buku tentang Sumeks tetapi kalau di luar keluarga besar dan mitra kerja ada yang menginginkan dalam jumlah agak banyak terpaksa kami minta ganti ongkos cetak.
Demikian pengantar saya tentang buku ini dan selamat membaca.
Palembang, Juli 2009
Suparno Wonokromo
CEO Jawa Pos Sumbagsel
Negosiasi Buntu
Hanya Ada Satu Kata
MOGOK!
Menembus ruang batin pembaca Harian Sumatera Ekspres (Sumeks), bukanlah perkara ‘bim salabim’ membuka telapak tangan dengan mudah, tetapi melalui proses panjang dan menegangkan. Pada dekade 1995, tepatnya sejak Harian ini terbit pada 1 Juni 1995 hingga hampir setahun dibawah payung Jawa Pos Group, pembaca Sumeks masih sulit diprediksi, lantaran segmen pembacanya juga belum jelas. Selain itu, kompetitor Sumeks sudah lebih dulu mengakar dihati pembacanya. Praktis Sumeks berjalan limbung seperti tubuh tak bertulang, keropos, tanpa kekuatan apa-apa.
Waktu terus merangkak. Biaya produksi terus digenjot. Sementara pemasukan dari sektor advertorial / iklan sangat minim. Kondisi seperti ini sangat berpengaruh pada keberlangsungan koran Sumeks untuk men-sejajarkan diri dipasaran koran lokal dan nasional.
Merumuskan jurus-jurus jitu menembus ruang batin pembaca, hampir selalu mengalami jalan buntu. Dari segi persentase dan segmentasi pembaca, rubrikasi berita dan kepercayaan, koran Sumeks ibarat ‘jauh panggang dari api’. Selalu hadir tanpa sasaran jelas. Jangankan disuruh beli, dikasih gratis saja, koran sumeks tidak dibaca orang. Apa yang salah dari koran Sumeks? Pertanyaan seperti ini selalu membayangi para redaktur dan wartawan ketika melakukan rapat proyeksi dan rapat budgetting berita.
Para pejuang Sumeks tak mengenal kata lelah melakukan gereliya menanamkan kepercayaan dan membangun image, meski harus dibayar dengan perasaan hancur dan menangis dalam hati. Bahkan hampir semua jajaran, baik redaksi, pemasaran dan iklan sudah all out melakukan terobosan ke agen-agen, namun para agen dengan enteng mengatakan ‘’Maaf pak, Sumeks gak laku. Bawa sepuluh eksemplar masih tetap utuh,’’ kata si agen.
Kami para devisi pemasaran dan redaksi terpaksa kembali ke kantor dengan sejuta perasaan gundah dan berlinang air mata. Esok harinya giliran para komandan dan para pejabat Sumeks ‘turun gunung’ dan menjual langsung koran Sumeks eceran di perempatan jalan. Bagaimana hasilnya? Masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Betapa sulitnya kami meyakinkan pembaca untuk sekedar membuka-buka halaman, lalu membacanya. Kami sadar, ternyata kami masih seperti berjalan tanpa menginjak bumi, artinya kami belum sepenuhnya mampu memahami taste dan selera pembaca di wilayah Sumsel. Dan Sumeks (1995) belum bisa memosisikan sebagai bacaan pilihan masyarakat Sumsel.
Sebagai koran nomor dua setelah kompetitor yang saat itu diposisi aman dengan tiras 40.000 eksemplar, sudah pasti Sumeks hanya mendapat sisanya. Kami dengan susah payah mengumpulkan sisa-sisa pembaca dari perempatan jalan Simpang Polda, Simpang Charitas, Simpang Patal, pasar-pasar tradisional dan daerah-daerah kota pinggiran. Kami merasa sulit bertahan dengan oplah sekitar 2.500 eksemplar.
Melihat kondisi oplah Sumeks yang tidak pernah merangkak naik, membuat kru Sumeks, baik redaksi, pemasarann, dan iklan, merasa empot-empotan. Stres berat selalu mengiringi lembaran dari hari ke hari. Rasa ketidakpercayaan diri mulai menjangkiti awak redaksi. Sumeks mau diteruskan atau bunuh diri dengan beban biaya produksi yang sangat tinggi? Sementara oplah juga sulit bergerak menuju angka 3.000 eksemplar pada edisi satu tahun 1995-1996.
Hampir memasuki tahun pertama, Sumeks masih sulit merebut hati pembaca dan pemasang iklan, hingga kru kita benar-benar putus asa dan frustasi. Mahmud (pimred sekarang) dulu sempat ditugaskan ke Lubuk linggau sebagai wartawan daerah dengan fasilitas dan akomodasi yang benar-benar sangat kurang. Biaya hidup juga terasa cekak, lantaran gaji masih sangat kecil. Dan itupun hampir dirasakan setiap wartawan kita di daerah. Tak lama kemudian Mahmud harus meninggalkan tempat tugas (Linggau) dengan perasaan 'putus asa' dan akhirnya memilih hengkang dari ruang redaksi ke percetakan.
Ruang redaksi bak tungku yang membara, yang membuat orang kegerahan. Tapi apakah kita harus mundur sebelum benar-benar kalah di medan perang? Sementara redaksi masih kekurangan personil untuk tugas-tugas liputan. Tak ada jalan lain, sejumlah wartawan daerah akhirnya ditarik untuk memperkuat staff redaksi di Palembang (kantor pusat). Anwar SY Rasuan (sekarang Manager Umum dan Personalia), dulu ditugaskan ke Lahat, terpaksa ditarik ke pusat untuk memperkuat staff redaksi. Sedangkan Muntako BM (sekarang mengelola koran baru Ogan Ekspres) dan Abdul Aziz (sekarang di Radar Palembang) terpaksa tugas rangkap di devisi pemasaran sekaligus memperkuat redaksi. Sedangkan Toni Emelson dan Rosidi tetap sebagai pioner pemasaran. Sejumlah wartawan daerah lainnya juga menunggu giliran untuk ditarik ke pusat, meskipun pada akhirnya mereka banyak yang tidak tahan dan berguguran satu per satu (keluar dari redaksi). Semuanya lelah dan sempat kehilangan semangat juang.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, tampuk pimpinan pun goyah setelah hampir empat bulan berjalan tertatih-tatih antara hidup dan mati. Darul Farokhi, sang komandan redaksi sekaligus General Manager (GM) Sumeks 1995, terpaksa harus ‘balik kanan’ menuju markas besar (Mabes) Graha Pena Surabaya (kantor pusat Jawa Pos Group) dan digantikan Suparno Wonokromo, sekaligus merangkap pemimpin Harian Semarak Bengkulu.
Masa-masa transisi inilah yang membuat suasana redaksi seperti kehilangan arah. Isu mosi tidak percaya terhadap pemimpin redaksi baru (Suparno Wonokromo) semakin panas. Bahkan sebagian awak redaksi melakukan penggalangan aksi mogok kerja bila Pak Alwi Raden Pandita (almarhum, yang saat itu sebagai pemimpin umum) mengijinkan Suparno ‘mengobrak-abrik’ ruang keredaksian.
Malam Minggu, 15 Agustus 1995 (menjelang perayaan HUT RI), salah seorang staf redaksi, Dahri Maulana yang ditunjuk Dahrul Faroki sebagai Ketua Presidium (pemimpin rapat redaksi), secara tersirat mempertanyakan hadirnya Suparno Wonokromo yang belum dikenal itu. ‘Sang presidium’ kawatir dengan ikut campurnya orang lain yang belum mengenal situasi Sumsel, bisa membuat Sumeks semakin sulit berkembang. Bukan tanpa alasan dia mempertanyakan jati diri Suparno yang mau tampil sebagai ‘juru selamat’ Sumeks itu, karena Dahri lebih mencintai Sumeks sebagai bagian dari hidupnya. Kabar pergantian pemimpin baru tidak langsung dipercayainya dan bukan berarti lantas membencinya. Hanya cara mencintai Sumeks yang berbeda dengan teman-teman lainnya, terkesan agak over memang.
‘’Siapa Suparno itu. Dia kan pemimpin redaksi Semarak, yang korannya tak jauh beda dengan Sumeks?’’ ujarnya di depan sebagian awak redaksi. ‘Sang presidium’ pun menyatakan akan mundur bila Suparno benar-benar bergabung di Sumeks. Dan ternyata benar, ‘Sang presidium’ secara ‘gentelman’ harus membayar mahal pernyataannya itu dengan hengkang secara ‘terhormat’ dari ruang redaksi. Penulis memahami betapa beratnya perasaan sang Presidium memanggul beban psikologis terhadap Sumeks yang sudah dicintainya itu. Karena Presidium ini juga bagian dari staff redaksi yang dikirim oleh almarhum Alwi R Pandita ke Jawa Pos untuk belajar manajemen keredaksian. Dahri merupakan staf susulan setelah sebelumnya beberapa staf redaksi, yaitu Anto Narasoma, T Junaidi (Teje), Hilda Safitri (Mbak Ipit), Dwitri Kartini (Mbak Wiwik), Trismiati, Anwar Bangsawan, dan Sardinan Delisep sudah lebih dulu berada di Graha Pena Surabaya.
Rasa cinta dan sayang ini membuat sang presidium dihadapkan pada dua pilihan berat, tetap bergabung dengan prinsip dan pandangan yang berbeda atau mundur secara terhormat. Dan keputusan yang terakhir ini, mungkin sebuah keputusan bijak dan bermartabat dibanding dipecat secara tidak hormat.
Sementara kru redaksi lainya tidak mengikuti langkahnya. Mereka merasa tidak punya ambisi apa-apa di kantor. Boro-boro ingin jabatan pemimpin ini itu dan lain-lain, memajukan koran Sumeks ke tengah-tengah pembaca saja sangat berat. Lupakan ambisius jabatan!
Tak diduga, langkah ‘Sang Presidium’ ini justru diikuti oleh sebagian besar kru pra cetak. Ini merupakan langkah ekstrim yang ditempuh awak pracetak yang notabene bekerja sesuai dengan order redaksi. Detik-detik yang sangat sulit bagi redaksi untuk melakukan negosiasi dengan pracetak. Devisi pracetak mogok, sama saja redaksi berjalan tanpa kaki. Sebab pracetak merupakan bagian dari devisi redaksi yang sangat vital sebelum koran Sumeks dicetak. Anwar SY Rasuan dengan cepat mengambil langkah penyelamatan dan mengangkat dirinya sendiri sebagai redaktur pelaksana (Redpel) sementara yang dibantu Muntako BM sembari menunggu komando Suparno yang saat itu berada di Batam.
Melihat situasi darurat seperti itu, hanya ada dua pilihan—besok Sumeks bisa terbit atau mengulangi kegagalan seperti ketika kerjasama dengan Surya Persindo Group (1990-1992)? ‘’Besok Sumeks tetap terbit! Kalau kalian semua mau mogok kerja silahkan saja. Kalian keluar semua juga gak apa-apa. Tak ada yang perlu saya kawatirkan,’’ kata Suparno Wonokromo dengan nada penuh kemarahan sepulang dari Batam. Suparno benar-benar kaget melihat kenyataan ekstrim awak pracetak. Tanpa basa-basi, Suparno langsung memimpin redaksi Sumeks tanpa ada acara serah terima jabatan lama dan baru.
‘’Ingat, Sumeks dengan dua orang saja besok masih bisa terbit,’’ kata Suparno lagi dengan air muka merah padam. Style bicaranya meledak-ledak dan terkesan grusa-grusu. Suparno langsung melototi komputer dan mengedit berita-berita Jawa Pos News Network (JPNN : sekarang Jawa Pos National Network) untuk diterbitkan. Tapi sejumlah kru redaksi sempat mengerutkan kening, apa maunya Pak Parno ngotot Sumeks besok tetap terbit. Apakah Pak Parno tidak menyadari kalau devisi pra cetak mogok semua kecuali tinggal seorang yang bernama Hamka? Sementara ruang pracetak juga dikunci oleh kru pracetak yang mogok. ‘’Siapa yang bawa kunci. Cari tahu dan ambil segera!’’ kata Suparno di depan awak redaksi dengan berkacak pinggang setinggi (maaf) ketiak. Nadanya tak berubah, benar-benar marah. Hilda Safitri (Mbak Ipit), cepat melakukan koordinasi bersama Anwar SY Rasuan mengambil kunci ruang pracetak yang dipegang para pemogok itu.
Tak ada keraguan sama sekali, Suparno benar-benar nekad menerbitkan Sumeks dengan jumlah tenaga yang sangat minim. Tapi gerak-gerik Suparno yang agak ‘gelisah’ itu, membuat kru redaksi dengan terpaksa bekerja meskipun dalam keadaan tidak tenang. Konsentrasi kacau karena Suparno marah tanpa pandang bulu. Yang tidak salahpun kena sasaran. Bagaimana mau terbit, pracetak tinggal Hamka sendiri. Jelas ini sangat sulit. ‘’Mau tidak mau harus dilakukan!’’ tegas Suparno.
Nah, bisa dibayangkan, Hamka pun bekerja seperti robot bernyawa tanpa henti yang dibantu kru redaksi (penulis), yang saat itu sebagai wartawan kriminal yang ngepos di RSUP dan Poltabes Palembang. Kebetulan program Darul Faroki saat itu mencetak redaktur bisa melayout sendiri halamannya. Khusus hari Minggu, Hamka off (libur) digantikan penulis melay out halaman I sampai 12, sekaligus merangkap grafis artistic dan karikaturis.
‘’Saya nggak mungkin ikut mogok. Saya ini dulu dari Harian Fajar MMakasar, trus disekolahkan ke Jawa Pos. Oleh Pak Alwi Hamu saya disuruh milih diantara tiga koran group Jawa Pos yang saat itu terbitnya serentak, yaitu Sumeks Palembang, Independen Jambi, dan Kendari Pos Sulawesi Tenggara. Saya pilih Sumeks,’’ ujar Hamka. Disadarinya, meskipun tinggal sendirian, Hamka nurut apa kata Pak Parno bahwa besok terbit.
‘’Makanya meski tinggal saya sendiri, saya tetap kerja meskipun hasilnya tidak memuaskan,’’ kata Hamka lagi.
Pada penerbitan perdana pasca mogok pracetak akhir tahun 1995, Sumeks dicetak pada pukul 07.00 WIB hingga 09.00 WIB. Diawal pergantian pimpinan ini, redaksi Sumeks masih kacau dan terbitnya selalu kesiangan. Nah, bagaimana para agen dan pengecer bisa mendistribusikan Sumeks sampai ke tangan pembaca? Jawabnya tentu tidak mungkin bisa dijual. Tidak perlu lagi dibaca karena basi. Harus diakui memang, Sumek pada penerbitan perdana pasca mogok kerja pracetak, tak hanya carut-marut isinya, tetapi juga amburadul perwajahannya. Pembagian rubrikasi dan proximity berita juga lebih mengacu berita-berita dari JPNN, yang merupakan berita dari luar Palembang dan Sumsel, sehingga tidak ada kedekatan secara emosional dengan pembaca di Sumsel.
Dewan redaksi pada awal penerbitan (bersama Jawa Pos Group 1995) hingga pergantian pemimpin baru Suparno Wonokromo, terdiri dari Anwar Rasuhan, Triyono Junaidi, Anto Narasoma, Safik Gani, Mahmud, Muhtar, Muntako BM, Trismiati, Hilda Safitri, Dwitri Kartini, Oktaf Riady, Tri Hartono, Asriel Chaniago, Abdul Aziz dan bagian pra cetak Hamka Abdullah. Para kru redaksi ini, ya wartawan ya redaktur. Jadi wartawan merangkap redaktur. Para awak redaksi ini bahkan selama tiga bulan tidak menerima gaji dari perusahaan. Baru pada awal bulan keempat (1995), redaksi baru menerima gaji sebesar Rp 75 ribu dan bulan berikutnya naik menjadi Rp 125 ribu.
Diawal-awal kepemimpinan Suparno, persaingan dengan kompetitor mulai terasa dahsyat. Semua awak redaksi benar-benar merasakan suhu ‘peperangan’ itu begitu panas. Mulai dari segi materi berita maupun pemasaran dan tingkat pengecer. Enam bulan kemudian Sumeks terasa memiliki ruh dan mulai ditakuti kompetitor. Setiap kejadian dan kasus besar, Sumeks mulai memimpin pemberitaan, termasuk jatuhnya pesawat Silk Air di perairan Sungsang pada 19 Desember 1997. Dan ditahun yang sama, tepatnya 27 Agustus 1997 ada berita heboh pembantaian di Sungsang dan berita-berita kriminal lainnya, Sumeks mulai memperlihatkan ‘gigi’nya.
Untuk meng-cover kejadian itu, para wartawan bekerja keras untuk melacak sumber-sumber berita di tempat kejadian perkara (TKP). Bahkan Suparno sendiri terjun langsung sampai ke wilayah Sungsang untuk meliput berita kriminal. Hasilnya, Sumeks benar-benar hebat, lantaran Suparno ini merupakan jago penulis boks, wartawan kriminal Jawa Pos yang ngendon di Polda Metro Jaya. Berita dan data-data dari Koran Sumeks akhirnya menjadi rujukan aparat kepolisian, wartawan nasional maupun internasional, terutama saat jatuhnya pesawat Boing 737 Silk Air dari perusahaan penerbangan Singapura. Para wartawan luar negeri tak henti-henti mengontak keredaksian Sumek, mereka adalah wartawan dari Jepang, Malaysia, Singapura dan Australia.
Disinilah kru redaksi mengakui kehebatan Suparno sebagai komandan Sumeks. Apa yang saat itu dikawatirkan kru redaksi tak terbukti. Bahkan kita telah lupa, bukankah Jawa Pos memiliki jaringan pemberitaan yang super kuat sampai ke pelosok desa lewat JPNN? Jadi tantangan Suparno di depan awak redaksi sangatlah beralasan, meski redaksi hanya ada dua orang pun Sumeks masih bisa terbit.
Ya Wartawan
Ya Sirkulasi
Ya Advertising
Pada 1996-1997 oplah Harian Sumeks sudah mulai bergerak dari 3000 eksemplar menjadi 4000 eksemplar. Ini merupakan prestasi tersendiri menyodok pasar koran lokal yang saat itu terasa berat untuk menggoyahkan kompetitor. Lewat tangan dingin Suparno, Sumeks berangsur-angsur menemukan ‘ruh’ sebagai koran nasional terbitan lokal yang dibutuhkan pembaca.
Gaya penulisan Sumeks pun sederhana, tidak terlalu njelimet, namun menganut gaya penulisan bertutur, informative dan jelas. Gaya penulisan Sumeks ini, ya gaya penulisan Dahlan Iskan (Big Boss Jawa Pos Group). Gaya bertutur dan informative ini merupakan jurus jitu menembus dinding hati pembaca.
Satu langkah aman dengan mengantongi oplah 4.000 eksemplar pada 1996. Dengan oplah yang terbilang bagus untuk ukuran koran seumur jagung, sumber-sumber keuangan Sumeks mulai berdenyut. Tapi meski oplah merangkak naik, pemasang iklan belum sepenuhnya yakin koran Sumeks sampai kepada pembaca. Apa benar Sumeks oplahnya 4.000 eksemplar? Apa benar Sumeks sudah menemukan pembacanya?
Tak ada yang bisa dilakukan devisi iklan untuk merebut kue iklan ditengah gempuran persaingan media massa lainnya, empat radio lokal Palembang dan 2 koran lokal. Iklan paket besar sudah menjadi plenning koran besar, sedangkan iklan menengah jatahnya 4 radio, sementara iklan baris dan barter adalah jatahnya Sumeks. Kondisi seperti ini mau tidak mau menjadi masalah bagi redaksi, yang merupakan ‘jantungnya’ koran. Kendatipun redaksi sudah mampu menyelematkan segi oplah, namun pemasang iklan masih sulit ditembus teman-teman bagian iklan, kecuali iklan baris dan iklan paket yang harganya super murah.
Suparno kembali memutar otak, devisi redaksi, terutama wartawan dijadikan bemper pencari berita sekaligus iklan. Bahkan dalam rapat umum, Pak Parno menjanjikan bagi wartawan 20 persen bila mendapatkan iklan. Cara seperti ini ternyata cukup ampuh, karena wartawan lebih dekat secara emosional dengan nara sumber dibanding devisi iklan itu sendiri.
Beban berat yang dipikul redaksi dari kanan kiri justru membuat redaksi semakin kuat dan tangguh. Kerjasama seluruh jajaran juga semakin kokoh dan penuh suka duka. Pemasang iklan berangsur-angsur menghiasi halaman per halaman. Sedangkan 20 persen yang dijanjikan manajemen itu hampir tak pernah diharapan kru redaksi. Lupakan itu, yang penting Sumeks bisa hidup dan terbit secara berkesinambungan.
Disinilah nilai-nilai dan semangat juang keluarga besar Sumeks begitu kompak mesra. Karyawan benar-benar memikirkan eksistensi perusahaan. Berani bersaing keras terhadap kompetitor dari segala bidang.
Strategi gerilya tetap dilakukan. Untuk meyakinkan pembaca dan pemasang iklan, seluruh kru redaksi, pemasaram dan iklan, selalu ‘jemput bola’. Meyakinkan kepada pembaca bahwa Sumeks memang bukan yang pertama dan terbesar, tetapi lebih baik, dan terpercaya.
Pelan tapi pasti, para wartawan mulai bergerak sesuai bidangnya masing-masing. Wartawan ekonomi menggenjot berita-berita ekonomi sekaligus menagih kue iklan ke narasumber, wartawan otomotif juga mencari iklan otomotif sesuai dengan beritanya. Tak kalah bersaing, wartawan hiburan yang akrab dengan konser musik juga melakukan kemitraan bersama seluruh perusahaan rokok terbesar Indonesia selaku Even Organizer (EO). Hasilnya cukup lumayan meskipun belum sepenuhnya aman. Karena perusahaan-perusahaan besar pemasang iklan itu belum percaya sepenuhnya dengan Sumeks, melainkan hanya pertemanan saja.
Justru lewat pertemanan inilah pada akhirnya menjadi sebuah kekuatan. Dan seluruh jajaran redaksi Sumeks pun berangsur-angsur menemukan formulasi dan ruang gerak. Tetapi redaksi berkeyakinan, dengan cara jemput bola mencari iklan, bukanlah tugas pokok redaksi. Tetapi bagaimana memperbaiki system berjalan dengan baik. Tugas pokok redaksi tetap menjaga kualitas berita dan pemilihan rubrikasi halaman yang disukai pembaca. Pemasang iklan secara otomatis akan datang sendiri bila koran sudah dipercaya pembaca. Alasan itu ternyata benar, begitu Sumeks oplahnya bertambah, pemasang iklan mulai memadati hampir setiap halaman.
Peluang emas ini tidak disia-siakan devisi iklan untuk membina kemitraan. Yunita Ayu atau akrab disapa Mbak Ayu, juga ‘jatuh bangun’ membina anak buahnya. Keprcayaan pembaca sudah berpihak ke Sumeks, ini artinya kesuksesan sudah di depan mata. Jurus jitu menebar jaring periklanan disebar ke beberapa agen-agen iklan di kota Palembang, mulai jalan Kol Atmo, Sekanak, Merdeka, Rawasari, Pasar Lemah Abang dan lain-lain. Bahkan biro-biro iklan dibuka di Jakarta untuk memudahkan pemasangan iklan display atau iklan berukuran besar yang berkantor pusat di Jakarta .
Harus diakui, semangat juang devisi iklan ini menjadi barometer kesejahteraan Sumeks secara umum. Sebab biaya produksi yang begitu besar, bisa dengan mudah ditutupi dari sektor periklanan. Tak hanya itu, keuntungan Sumeks juga bisa dirasakan seluruh karyawan minimal setahun dua kali pembagian bonus diluar gaji bulanan.
Sumekas tidak dapat dipisahkan dari dua devisi yang saling terkait serta tidak dapat dipisahkan keduanya, yaitu Bagian Redaksi dan Bagian Usaha/Iklan. Jika redaksi dalam kegiatannya selalu berdasarkan hatinurani atau sering disebut idealisme, maka lain halnya dengan bagian usaha yang selalu berorientasi kepada mencari keuntungan. Kedua bagian inilah setiap harinya bahu membahu mewujudkan visi yaitu menjadikan koran Sumatera Ekspres sebagai koran terbaik yang menyuarakan keadilan maupun misi untuk bertekad menjadi koran yang mencerdaskan (smart paper) masyarakat.
Sebagai media massa cetak yang independen, Sumeks selalu menyuarakan kebenaran dan keadilan. Karena itu pula visi yang diemban Sumeks ini, selain menjadi penyebar informasi objektif, menyalurkan aspirasi masyarakat dan kontrol sosial yang konstruktif, juga diharapkan sebagai hiburan dan pendidikan. Dengan visi tersebut, maka misi Harian Sumatera Ekspres tiada lain untuk mencerdaskan bangsa]
Makin ’Hoki’
Era Reformasi
Melesat Bak Meteor Jatuh dari Langit
Dua tahun kemudian setelah Sumeks berhasil menembus dinding hati pembaca (1996), kompetitor Sumeks goyah dan akhirnya tidak terbit sementara. Inilah peluang emas Sumeks yang tidak boleh disia-siakan. Sumeks terbit tunggal yang tidak perlu bersaing dengan siapapun. Pembaca yang tadinya sudah mulai condong ke Sumeks, tak ada pilihan lain dan Sumeks menjadi pilihannya. Oplah yang tadinya kisaran 3000-4000 eksemplar, berubah menjadi 10.000 eksemplar di hari kedua Sumeks terbit tunggal. Bulan berikutnya oplah milik kompetitor berbalik menjadi milik Sumeks, yaitu 40.000 eksemplar.
Era yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Reformasi memiliki arti yang sangat penting bagi Sumeks. Tidak hanya perubahan kebijakan pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi, tetapi juga membawa zaman yang ‘terbelenggu’ menjadi merdeka. Tak ada lagi penghinaan koran Sumeks dibuang ke kolong meja kerja kaum birokrat seperti pada zaman orde baru. Nara sumber juga tidak lagi mengejek Sumeks sebagai koran sampah. Tapi sebaliknya, nara sumber tidak memiliki pilihan koran lain, kecuali Sumeks, koran nasional dengan ‘rasa’ lokal.
Menginjak tahun 1997-1998, Sumeks semakin melejit bak meteor jatuh dari langit. Masa kebangkitan Sumeks ini ditandai dengan huru hara besar-besaran di Seluruh Indonesia. Palembang pun tak kalah mencekam. Seputar bundaran air mancur Masjid Agung, Pasar 16 Ilir, Kolonel Atmo dan perempatan International Plaza (IP) lumpuh total. Ribuan demonstran merangsak pertokoan dan menjarah barang-barang berharga secara bebas. Pasar 16 Ilir pun tak luput dari amukan massa yang menyemut menuju gang-gang pasar. Sejumlah petak pertokoan pun jadi sasaran lalu dibakar.
Peristiwa besar-besaran itu berhasil diabadikan Sumeks, yang merupakan koran lokal satu-satunya setelah kompetitor tidak terbit.. Para agen koran pun cukup jeli melihat moment tersebut. Mereka langsung order koran Sumeks dalam jumlah yang tidak seperti biasanya (cukup besar). Oplah Sumeks yang awalnya 3000, 4000, 10.000, dan 40.000 eksemplar, langsung meledak hingga mencapai 60.000 eksemplar. Sebuah prestasi luar biasa bagi Sumeks di jajaran anak perusahaan Jawa Pos Group. Tak hanya itu, Sumeks bahkan berhasil menyodok prestasi nomor empat di jajaran Jawa Pos Grup setelah Jawa Pos, Fajar, dan Rakyat Merdeka. Padahal Sumeks merupakan group paling muda (bayi kemarin sore).
Disatu sisi, era reformasi ini juga merupakan era yang berbahaya bagi penerbitan pers, sebab bila media salah memberitakan atau tidak berimbang bisa berakibat fatal. Rakyat akan dengan mudah merangsak kantor redaksi tanpa pikir panjang. Untuk itulah Suparno mewanti-wanti agar Sumeks tetap independent, tidak berpihak pada salah satu partai politik dan tidak mengijinkan wartawan, atau staf lainnya masuk sebagai anggota partai politik. Bila wartawan berani bermain ke wilayah partai politik, hanya dua pilihan; berhenti jadi wartawan atau tetap jadi wartawan. Mengapa? Sebab bila wartawan sudah berpolitik, akan mengganggu independensi pemberitaan.
‘’Sumeks bukan korannya pemerintah atau corong partai politik, tetapi sumeks adalah independent,’’ ujar Suparno. Dengan sikap independent itulah Sumeks menjadi bagian media informasi yang terpercaya sebagai penyambung lidah rakyat.
‘’Mulai reformasi ini sampai ke depan, rakyat makin pintar. Mereka sudah bisa memilah-milah mana koran yang terbaik. Rakyat sudah kenyang dibohongi ala orde baru. Sekarang ini rakyat butuh informasi yang benar, akurat dan terpercaya,’’ jelas Suparno lagi. Tidak cukup dengan hanya oplah besar dan menjadi koran lokal tunggal, tetapi terbit awal juga harus menjadi prioritas agar pendistribusian Sumeks ke berbagai daerah berjalan lancar.
Rupanya meski oplah besar, Sumeks masih terganjal bermacam-macam halangan, mulai mesin percetakan yang sering ngadat, tenaga ahli informasi teknologi belum menguasai, listrik dari saluran PLN juga sering mati mendadak. Ini membuat awak redaksi sering dijangkiti stress tinggi. Cetak sering kesiangan gara-gara PLN mati mendadak, sementara pembangkit listrik cadangan (gangset) belum dimiliki Sumeks, ditambah komputer kalau mati mendadak langsung eror dan rusak. Ini menjadi masalah serius awak redaksi mengejar deadline. Dan disinilah penyakit stress benar-benar menjadi momok yang menakutkan.
Trouble di kantor biasanya berimbas pada pendistribusian koran Sumeks ke daerah tingkat II atau kota kabupaten. Masalah ini meskipun bukan ancaman serius, namun berpengaruh terhadap kepercayaan pembaca. Semua permasalahan harus diruntun satu persatu. Ada beberapa system managemen keredaksian yang harus dibenahi, mulai dari fasilitas penerbitan dan pembangkit listrik, sampai kepada tanggung jawab halaman. Siapapun tidak boleh pulang (terutama redaksi) sebelum halaman benar-benar selesai. Hal ini dimaksudkan bila terjadi trouble mendadak, penanggung jawab halaman dengan cepat bisa mengatasinya.
Sementara kendala di lapangan terkadang juga lebih besar. Selain terlampat pengiriman karena mesin trouble, juga risiko terburuk bagian ekspedisi ngantuk di jalanan. Sumeks pun akhirnya melakukan cetak jarak jauh seperti yang dilakukan induk Sumeks Jawa Pos Group. Ini merupakan kebijakan paling aman membawa Sumeks ke sejumlah daerah tingkat II. Dan ternyata memang cara aman dan sukses.
Kantor
Terburuk
di ’Dunia’
Kini Gedung Graha Pena
Sumeks benar-benar jadi bayi raksasa di jajaran Jawa Pos Group dan langsung mengakar kuat di Bumi Sriwijaya. Dua tahun kepemimpinan Suparno Wonokromo, Sumeks yang tadinya memiliki kantor terburuk di dunia (Istilah Dahlan Iskan, Bos Jawa Pos Group) langsung membangun gedung mewah Graha Pena lantai 5 di jalan Kol H Barlian 773 Palembang. Gedung ini dibangun pada 27 Maret 1999 dan memakan waktu pembangunan selama satu tahun.
’Kantor Terburuk di Dunia’ umpatan yang terdengar sangat pedas itu bukan tanpa alasan bagi bos Jawa Pos Group. Dengan lecutan kata-kata sarkasme, membuat kita termotivasi untuk membangun. Buruk. Memang begitulah faktanya. Tidak hanya buruk dari segi fisik bangunannya yang compang-camping, tetapi dari segi tata ruang kerja dan panel kabel komputer terlihat semrawut.
Jangankan orang lain, kita sendiri sebagai awak Sumeks, rasanya pusing memasuki ruangan kerja, baik redaksi, pracetak, sirkulasi maupun periklanan. Penulis memahami kata-kata Dahlan yang sebenarnya sangat bijak. Dengan ruangan yang teratur, bersih dan indah, akan mempengaruhi situasi kerja. Bila pikiran senang, kerja nyaman dan hasilnya akan memuaskan. Itulah alasannya!
Untuk apa oplah besar dan membangun image koran besar bila kantornya ternyata kecil dan berantakan? Praktis tidak ada yang bisa dibanggakan. Pada awal tahun 2000, tepatnya 19 September 2000, Gedung Graha Pena pun diresmikan penggunaannya sebagai kantor Sumeks oleh Gubernur Sumsel H Rosihan Arsyad. Di kantor yang baru ini, teman-teman mulai menemukan kenyamanan dalam menjalankan tugas sehari-hari. Tidak lagi merasa minder dengan suasana kantor yang berantakan dan kumuh. Sumeks mulai memperlihatkan eksklusifisme dalam pemberitaan maupun penampilan.
Semuanya langsung berubah. Kita yang tadinya tidak ’nyambung’ apa yang dikatakan Dahlan Iskan, baru setelah lima tahun kedepan baru terpikirkan dan mengakuinya. Inilah kebiasaan kita untuk berpikir lambat dan tidak mau menatap jauh ke depan. Dan setelah Gedung Graha Pena berdiri gagah di pinggir jalan, semua orang terkesima. Gedung apa itu? Maklum, saat itu gedung tinggi di Palembang bisa dihitung dengan jari tangan, lebih-lebih gedung yang didominasi kaca.
Manajemen Sumeks lantas menancapkan dirinya sebagai harian daerah yang lebih terpercaya, maka motto Sumeks selanjutnya adalah koran terbesar dan kebanggaan masyarakat Sumsel. Keinginan menjadi koran daerah yang makin dipercaya masyarakat, maka Sumeks lebih memfokuskan liputan-liputan spesifik tetang daerah di Provinsi Sumatera Selatan tanpa meninggalkan berita-berita aktual nusantara dan mancanegara. Begitupun ruburik halaman, semakin beragam dan intens pada persoalan masyarakat.
Beberapa tahun kemudian, Gedung Graha Pena mulai menjadi sebuah gedung sebagai tujuan wisata ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan swasta, ibu-ibu PKK, bahkan para pejabat baru di provinsi ini. Mereka berkunjung selain bersilaturahmi, juga ingin menyaksikan bagaimana mekanisme keredaksian harian terbesar di Sumsel ini. Begitu juga menginventarisir berita-berita dari lapangan, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Tak hanya memperhatikan segi isi berita, Sumeks juga memperhatikan segi kualitas cetak, yang kebetulan dicetak oleh percetakan milik Sumeks sendiri, yaitu PT Sumex Intermedia. Percetakan ini berlokasi di sebelah Gedung Graha Pena (bekas kantor Sumeks lama). Untuk meningkatkan kualitas cetakan, PT Sumex Intermedia pada 2001 lalu, membeli mesin cetak berkecepatan tinggi buatan Amerika yang ketinggian dasar mesin hingga ke puncak tertinggi berkisar 9-10 meter dengan harga berkisar Rp 4,2 miliar.
Dari sini terlihat, PT Citra Bumi Sumatera selaku penerbit Harian Sumeks beserta anak perusahaannya selalu mencari yang terbaik, sebagai wujud memenuhi kebutuhan pembacanya. Bagaimana dengan layanan iklan, pemasara maupun redaksional? Sebagai gambaran bahwa pada 1 April 2000, pola manajemen yang selama ini belum seperti yang diharapkan, sejak saat itu mulai berangsur baik. Khusus redaksional, mulai edisi 1 Agustus 2000 jumlah halamannya meningkat dan semakin tebal menjadi 24 halaman broadsheet muda (ukuran koran Amerika). Hal ini sebagai dampak globalisasi yang menghendaki percepatan-percepatan kemajuan pers di tanah air. Lebih dari itu, upaya memanjakan pembacanya terus dilakukan. Tepatnya pada awal Maret 2003 Manajemena Harian Pagi Sumatera Ekspres memberikan yang terbaik bagi pembacanya melalui penambahan halaman, yang semula 24 halaman setiap hari ditingkatkan menjadi 28 halaman setiap terbit.
’Embrio’ Sumeks
Menjelma Gurita
Sumeks tidak berhenti sampai pada oplah besar, tetapi juga mengembangkan koran-koran group, baik di wilayah kota Palembang maupun daerah tingkat II atau kota Kabupaten. Ini selain turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa lewat informasi berita, juga memberikan lapangan pekerjaan yang merata bagi warga kota dan daerah.
Perkembangan selanjutnya, secara bertahap Sumeks mencoba memberikan layanan informasi kepada masyarakat menengah ke bawah dengan melahirkan koran kriminal dengan nama Palembang Pos. Kemudian, dilanjutkan dengan menerbitkan Tablod Monica, yang keduanya berkantor di Graha Pena, tepatnya di Lantai IV gedung Graha Pena, Jalan Kol H Barlian No 773 Palembang. Setelah sukses dengan dua media itu, langkah selanjutnya Harian ini kembali mengukir keberhasilannya melalui pengembangan anak perusahaan di sejumlah daerah.
Sebut saja, di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Ekspres melahirkan Harian Linggau Pos. Dan pada awal Oktober 2001, di Provinsi Bangka Belitung, Sumeks kembali menerbitkan koran untuk pembaca di provinsi termuda di Indonesia ini dengan nama Harian Bangka Belitung Pos. Dan pada 2 Juni 2003, ketika Sumatera Ekspres merayakan Hari jadinya yang ke-8-2003, Harian ini kembali melahirkan Koran baru bernama: Radar Palembang.
Di balik itu, berkat dukungan dan bantuan masyarakat di Sumsel khususnya dan para pembaca yang tersebar di Sumbagsel, kini pembaca Sumeks: pelajar, mahasiswa, pemuka/tokoh masyarakat dan para penentu kebijakan yang nota bene menengah ke atas. Tokoh-tokoh pers profesional yang kini terlibat langsung dalam manajemen Harian Pagi Sumatera Ekspres, diantaranya Lukman Setiawan (Komisaris Utama), Dahlan Iskan sebagai Direktur Utama, yang dibantu oleh Mahtum Mastoem, Alwi Hamu. Dan Suparno Wonokromo sebagai Direktur Pelaksana.
Berikut nama-nama koran yang bernaung dibawah Sumeks Group:
(Foto2 Wajah Koran Sumeks Group)
SUMEKS GROUP WILAYAH KOTA PALEMBANG
1. Harian Sumatera Ekspres
2. Harian Palembang Pos
3. Radar Palembang
4. Tabloid Monica
5. Pal TV
6. Palembang Ekspres
SUMEKS GROUP DI DAERAH
1.Bangka Belitung Pos
2. Prabumulih Pos
3. Linggau Pos
4. Mura Pos
5. Oku Timur Pos
6. Pagar Alam Pos
7. Lahat Pos
8. Enim Ekspres
SUMEKS GROUP DI DAERAH (Dibawah Palembang Pos)
1. Banyuasin Pos
2. Muba Pos
3. Ogan Ekspres
* Mereka dibalik Sukses Sumeks
Sang Inovator itu
Suparno Wonokromo
Semula kurang populer di Palembang, terutama kalangan wartawan senior dan pejabat pemerintahan. Nama Suparno Wonokromo, saat itu lebih ngetop di Bengkulu, ketimbang di Palembang, lantaran Suparno ini pernah menjabat sebagai Pemimpin Harian Semarak Bengkulu. Wajar kali pertama datang di Palembang Agustus 1995, nama Suparno tidak begitu dikenal. Namun setelah Harian Sumatera Ekspres-- si bayi ragil-- jajaran Jawa Pos Group berubah menjadi raksasa koran Sumsel, semua orang terperanjat kaget dengan sosok Suparno itu.
Tidaklah berlebihan bila penulis mengatakan lahirnya raksasa koran di Sumsel (Sumeks) adalah era Suparno Wonokromo, seorang wartawan biasa yang ngebid sebagai wartawan kriminal Jawa Pos. Semua orang terbelalak, bahkan jajaran Harian group Jawa Pos seluruh Indonesia juga mengakui Suparno menuju sukses luar biasa.
Ketika penulis mengikuti rapat redaktur pelaksana (Redpel) seluruh group Jawa Pos di Batam Januari 2008, selalu ditanya ‘’Mas dari Sumeks? Anak buah Pak Parno, ya?’’ Penulis terkejut, begitu ngetopnya nama Suparno di jajaran Group Jawa Pos. Karena yang disebut itu adalah orang hebat, maka penulis juga memperoleh berkah dari kehebatannya itu dengan dijamu luar biasa oleh teman-teman redaktur di Batam. Diajak jalan-jalan menyusuri pantai Batam bahkan nyeberang sampai ke Singapura. Malamnya kami juga diajak menyaksikan pulau Batam diwaktu malam sembari ngopi bersama. Hemm… inilah berkahnya orang hebat yang secara tidak langsung menjadi berkahnya orang lain. Penulis ‘merasa’ menjadi raja kecil gara-gara nama besar Suparno.
Kami tidak bermaksud melebih-lebihkan sosok Suparno. Bagaimanapun juga Suparno adalah manusia biasa. Terkadang ada sisi buruk yang tidak disadarinya, yaitu tidak suka berpenampilan formil dan perlente. Kadang-kadang dia juga kurang memperhatikan keserasihan cara berpakaian. Suatu hari ketika membuka pertandingan basket ball, dia mengenakan jas, tapi dikombinasi sepatu sport. Suparno cuek saja, dan orang lain juga tidak menilai detail seperti itu. Hal yang sama ketika mau tampil mendalang di TVRI bersama sinden bule Amerika, Pak Parno mengenakan baju dalang ketika acara baru dimulai. Dan ketika usai mendalang, Pak Parno juga cuek melepas baju dalangnya, yang tinggal hanya kaos oblong. Itulah Suparno yang tak bisa menutupi gaya spontanitasnya. Tapi masyarakat Palembang, terutama komunitas Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) sudah sangat memahami Suparno.
Ada beberapa hal yang terkadang juga membuat otak kita berputar kencang ketika harus menerjemahkan pemikiran dan keinginan Suparno. Tidak semua orang dengan mudah mengerti. Butuh waktu untuk menerjemahkannya, termasuk membuat gebrakan koran baru, mulai Palembang Pos, Tabloid Monica, Radar Palembang, Pal Tv dan beberapa koran daerah lainnya. Gaya Suparno ini memang tak jauh beda dengan gaya ‘suhunya’ yaitu Dahlan Iskan, cara berpikirnya jauh ke depan dan kita terkadang sulit mengejarnya.
Membuat koran itu gampang, atau istilah Arswendo Atmowiloto, menulis itu gampang. Gampang bagi yang sudah menguasai dan tahu teorinya. Tapi Suparno tidak mau ribet dengan hal-hal yang berbau teoritis. Yang terpenting bagaimana mewujudkan konsep yang sudah ada di kepala itu menjadi kenyataan. Rahasianya adalah kerja keras tanpa mengeluh. Melakukan inovasi dan pembaruan. Menyuguhkan rubrikasi yang dibutuhkan pembaca, serta evaluasi hasil kerja. Itulah kunci sukses yang sebenarnya.
Pernah suatu hari penulis diajak makan malam di warung kaki lima, tepatnya di depan Gedung Graha Pena. Sembari makan ayam goreng pecel, Suparno bilang, ‘’Dik kayaknya kita perlu bikin koran baru lagi,’’ kata Suparno dengan nada yang sangat ringan. Penulis sempat berpikir, koran baru apalagi? Group Sumeks wilayah kota Palembang sudah cukup banyak. Di daerah juga banyak. Lantas segmentasinya ke mana?’’ pikir penulis.
‘’Sekarang banyak partai politik bikin koran. Pejabat pemerintah juga bikin koran,’’ katanya lagi. Logikanya kalau di wilayah Palembang sudah cukup banyak koran bermunculan, tentu kita akan kesulitan pemasarannya. Tapi Suparno berpikir lain. Justru dengan memunculkan koran baru yang memiliki visi dan misi sama dengan induknya, yaitu Sumeks, pilihan pembaca tidak akan berubah, akan memilih koran baru tapi independent. Tidak punya muatan politis dan pesan-pesan sponsor pejabat tertentu. Koran independent tetap memiliki kekuatan di pihak rakyat (pembaca).
‘’Lantas apa namanya, Pak?’’ tanya penulis.
‘’Musi Ekspres, gimana?’’
‘’Nama Musi dulu pernah dipakai sebagai media pemprov Sumsel, yaitu Gelora Musi. Sebaiknya lupakan nama Musi, ganti yang lain saja, Pak,’’ usul penulis.
Satu potong ayam goreng habis dan segelas es jeruk pun tuntas. Pembicaraan masalah koran baru dilanjutkan dan yang intinya optimis bisa terbit. Tidak lama kemudian, hanya butuh waktu kurang sebulan, Harian Palembang Ekspres beredar di pasaran. Itulah tangan dingin Suparno ‘menyulap’ penerbitan pers dengan sangat gampang.
Meski perawakannya kecil, ternyata cara berpikir Suparno tidak dapat diprediksi dengan ukuran dirinya yang kecil. Obsesinya untuk mengembangkan Sumeks sebagai sebuah koran besar yang disegani, benar-benar hebat dan patut diacungi jempol. Sebagai penulis, secara pribadi, kami merasakan sikap tegasnya untuk mewujudkan obsesinya yang begitu besar dan hebat.
Dalam sistem kerja yang ia terapkan di redaksi begitu tegas dan keras. Satu sama lain harus menggalang kekuatan. Baik dalam spirit kerja, maupun membangun rasa kebersamaan diantara sesama rekan kerja. Jika tidak mengikuti sistem kerja begitu, mohon maaf, silakan menyingkir sebelum disingkirkan manajemen.
‘’Itulah kunci keberhasilan Jawa Pos membangun keberhasilannya seperti sekarang. Dengan menumbuhkan spirit kerja dan konteks kebersamaan, akan muncul rasa tanggung jawab secara bersama-sama. Dengan kata lain, kita tidak boleh terpecah-pecah satu dengan lainnya. Ini inti kekuatan sebuah manajemen kerja,’’ kata Suparno memberi spirit ke semua awak redaksi.
Awalnya, pro-kontra sikap kepemimpinan seorang Suparno sempat muncul ketika itu. Bahkan, sikapnya yang keras dan tegas pada dekade awal kepemimpinanya, memunculkan perasaan tidak suka dari beberapa kalangan redaksi. Mengapa begitu? Ya, karena teman-teman di redaksi umumnya belum mengenal figur Suparno secara pribadi. Bahkan, banyak diantara awak redaksi yang belum terbiasa dengan kemarahan yang sampai menyinggung perasaan. Wajar obsesi sang pemimpin dianggap sebagai ‘’arogansi kekuasaan’’.
Tiga bulan dengan sikap tegas dan nyaris kaku dari seorang Suparno, ternyata membawa iklim lain di redaksi. Lambat laun, kesadaran untuk menjadi pekerja koran (wartawan) yang profesional pun muncul. ‘’Suka atau tidak, keberhasilan sebuah industri surat kabar, kuncinya ada di redaksi,’’ tegas Suparno.
Karena itu dengan tegasnya Suparno mengajak rekan-rekan redaksi untuk bangkit memberdayakan diri sendiri. ‘’Untuk siapa saja, jika tidak bisa mengikuti pola kerja secara profesional, lebih baik minggir,’’ begitu kata Suparno.
Menghadapi pernyataan tegas seperti itu, seluruh awak redaksi menjadi serba salah. Apalagi kemampuan jurnalistik rekan-rekan di redaksi ketika itu sangat pas-pasan. Ternyata, di balik kepahitan yang dirasa, sedikit demi sedikit, pola pikir rekan-rekan di redaksi mengalami banyak kemajuan.
Daya juang untuk membuat koran yang laku dijual ke pembaca mulai muncul. Bahkan, rasa memiliki terhadap koran sendiri tumbuh begitu dahsyat. Secara bahu membahu mereka bangkit membangun kebersamaan untuk menghidupi koran ini.
Bekerja secara kekeluargaan seperti itu mampu meringankan beban psikis seluruh anak redaksi. Bahkan, ketika oplah koran ini masih berkisar 1.500 eksemplar, banyak pernyataan minor yang menyakitkan hati. Ada seseorang tokoh pers di sini yang mengatakan, Sumeks itu adalah koran sebeca. Artinya, koran dengan oplah yang dapat diangkut dengan beca saja lagaknya bukan main.
Bagi Suparno, cemoohan yang sangat menyakitkan hati itu tak perlu digubris. Biarkan saja. Yang penting, seluruh armada Sumeks harus berkonsentrasi untuk bangkit dan membesarkan koran ini. Sedetik pun, tak ada waktu untuk menanggapi persepsi minor seperti itu. Tekad bulat kami hanya satu, semua awak Sumeks harus bekerja keras, bekerja keras, dan bekerja cerdas sesuai bidang tugasnya masing-masing.
Untuk mengejar langkah kompetitor (pesaing) yang sudah lebih dulu eksis, harus ada upaya serius. Pokoknya, tugas utama kami mengamati eksistensi pesaing yang begitu merajai pasar Sumatera Selatan. Setiap hari, selain berusaha memperbaiki pola penyajian berita dan bahasa yang disampaikan ke pembaca, kami pun wajib mengintai celah kelebihan dan kelemahan kompetitor. Dengan begitu kami berusaha untuk mampu menempatkan posisi Sumeks sebagai koran yang mampu bersaing dengan kompetitor.
Helmy Mattury
Bertahan Sampai
ke Pulau Harapan
Menjelang Sumeks terbit bersama Jawa Pos Group 30 Mei 1995 pukul 11.30 WIB, wajah Helmy Mattury (Pimred perintis Sumeks) benar-benar kelihatan gembira. Padahal saat itu ia ‘minggat’ dari Rumah Sakit Charitas, lalu mendapat peringatan dokter untuk istirahat. Helmy berusaha melupakan penyakitnya. Hari itu ia gagah. Ia bersama Dahlan Iskan (Bos Jawa Pos Group) sempat ngontrol ruang percetakan yang bakal terbit pada keesokan harinya 1 Juni 1995. Meski mesin cetaknya ini merupakan bekas dari Jawa Pos, namun hati Helmy benar-benar puas.
‘’Baru sekarang Sumeks memiliki mesin cetak sendiri. Tidak seperti dulu ketika berkantor di Jalan Merdeka 1, terbit harus kejar-kejaran dengan koran lain, siapa yang duluan terbit,’’ ujar Helmy yang saat itu juga didampingi para awak redaksi menyaksikan uji coba mesin percetakan. Kepuasaan hati Helmy Mattury serta air muka yang gembira, seolah-olah lepas setelah tahu bahwa Sumeks benar-benar bakal selamat dan menjadi sebuah koran besar di Sumsel.
Begitu Sumeks terbit pada 1 Juni 1995, Helmy Mattury sempat menyaksikan wajah perdana Sumeks yang indah dengan cover depan keindahan Sungai Musi mengalir tenang --hasil jepretan fotografer gaek Sumeks H Dulmukti Jaya. Tapi penulis yakin, hati Helmi lebih indah dan tenang dari wajah perdana Sumeks itu. Ibarat mengarungi samudera, Helmy berhasil berpirau menembus ombak dan membawa ratusan karyawannya kedalam perahu sampai ke pulau harapan. Pada penerbitan berikutnya sampai pada edisi keenam, baru Helmy meninggalkan kami semua.
Dalam kesadaran itulah kami mengenang ia adalah sosok pemimpin yang tangguh dalam menghadapi segala cobaan yang kerap berganti menerpanya. Disamping kemampuan membagi rasa hingga sering kali kita terhanyut dalam irama pengalamannya yang begitu luas dan dalam.
Itulah sekilas yang kami kenang tentang Helmy Mattury, pemimpin redaksi Sumatera Ekspres. Kami teringat ketika itu memperlihatkan secarik kertas berisikan ‘perintah’ untuknya agar segera beristirahat. Dari surat itu pula bahwa ia tengah berperang melawan penyakit yang terus bergayut dalam dirinya.
Melihat mimik mukanya saat itu, tampak ada sesuatu motivasi yang kuat dalam dirinya untuk terus berperang melawan penyakit yang dideritanya. Perintah dokter itupun akhirnya ia taklukkan untuk beberapa hari. Hari kesepuluh, seingat kami, ia kalah dan mengharuskannya menjadi pasien Rumah Sakit Charitas Palembang. Batinnya memang kuat, kembali ia taklukkan semua rasa yang ada dalam dirinya dengan semangat yang menggelora, akhirnya dia nyatakan sehat, dan minta keluar dari rumah sakit. Berhasil.
Sekilas keyakinan itu terbukti. Sedikit demi sedikit kesehatannya tampak pulih ketika kami melihat ia datang ke kantor baru Jalan Kol H Burlian 773 Palembang. Dengan wajah gembira mendamping Pak Dahlan Iskan meninjau percetakan, pada saat itu pula Helmy sebenarnya ingin memberikan salam terakhir sekaligus motivasi pada kami semua.
Terpaksa kembali dia harus memenuhi panggilan rumah sakit yang baru beberapa hari ia tinggalkan. Sejak saat itu langkah kami yang ingin menerbitkan koran ini sesuai semangat awalnya, terasa tak berkurang. Tapi disatu sisi sebenarnya kami seperti kurang lengkap. Dan itu terasa benar, manakala kami membutuhkan suasana kantor yang gembira meski sebenarnya segudang masalah sedang kami hadapi.
Karena api semangat itu pula, kami mencoba tetap berjalan meski dengan wajah percobaan (terbit perdana). Ternyata dia juga senang ketika tanggal 1 Juni 1995 Sumeks hadir di hadapannya.
Sebenarnya kami sendiri tak perlu lagi dia memikirkan Sumeks. Kami tanamkan pada dirinya agar semua kekuatannya dimanfaatkan untuk melawan penyakit. Kami ingin Helmy Mattury tetap bersama kami. Kami ingin Helmy turut serta dalam suka duka dalam lingkungan Sumeks dibawah komando Jawa Pos Group.
Tapi sekali lagi apa daya. Setelah sempat beberapa kali melihat hasil kerja anak buahnya di redaksi, Allah menghendaki lain. Perjuangan Helmy sampai di situ. Sudah banyak jasa yang ia tanamkan. Sangat banyak kiat yang ia luncurkan. Kami semua tak mampu menghitungnya.
Kami semua tetap melanjutkan perjuangan dengan kesadaran penuh bahwa membangun kesuksesan itu tak lepas dari onak dan duri serta ombak dan badai. Dan itu semua telah kami lalui bersama Helmy. Kini redaksi Sumeks menuju era baru teknologi digital. Sebuah era yang menghendaki informasi hadir lebih cepat dan akurat. Seandainya Helmy masih hidup, dia pasti akan berkata; Jangan menjadi wartawan cengeng. Jadilah wartawan yang professional dan tangguh. Mampu melihat situasi dengan mata hati dan pikiran. Jangan mudah menyerah!
Begitulah kira-kira imajiner kami ketika berhadapan dengan Helmy. Sebab ketika kali pertama babat alas (merintis) berdirinya Sumeks bersama Jawa Pos Group, Helmy selalu menasihati kami dengan kata-kata yang keras tapi sangat bijak. ‘’Tidak boleh lekas menyerah meskipun dalam keadaan darurat’’. Penulis tahu kata-kata itu sebenarnya merupakan spirit untuk dirinya sendiri. Dia diminta secepatnya oleh Jawa Pos mengirimkan karyawan dan wartawan ke Graha Pena Surabaya (kantor Jawa Pos) untuk dididik. Tapi pengiriman awak redaksi dan pemasaran ini terganjal masalah biaya transportasi dan akomodasi.
‘’Kami nak ngirim kamu ke Jawa Pos. Kami katek biaya. Makmano caro kamu berangkat, ya berangkatlah,’’ ujar Helmi dengan logat Palembang. Agak salah tingkah dan kedua matanya sedikit berkaca-kaca.
Kami sangat paham, dan menyadari kondisi sulit seperti itu, akhirnya kami dengan sisa simpanan uang pesangon dari Surya Persindo Group cukup untuk sekali jalan. Kami tidak berpikir bagaimana nanti pulangnya dari Surabaya. ‘’Itu masalah nanti. Yang penting kamu bisa sampai dulu ke Jawa Pos, itu sudah aman,’’ lanjut Helmy.
Manajemen Jawa Pos ternyata sangat memahami kondisi sulit Sumeks, dan akhirnya biaya pulang dari Surabaya ditanggung Jawa Pos termasuk mengganti ongkos yang sudah kami keluarkan sebelumnya. Helmy tersenyum gembira sepulang kami dari Surabaya. ‘’Kalo kamu la pinter galo, kerjalah yang bagus. Sumeks ini akan menjadi lebih baik. Percayolah kamu,’’ kata Helmy meyakinkan kami.
Namun tak seorangpun tahu, bagaimana misteri Allah saat itu. Kami semua tak tahu. Kami semua menganggapnya dia sehat, yang tampak memang demikian. Rupanya hanya Allah dan dirinya sendiri yang tahu, bahwa saat itu dia menggunakan semua kekuatannya demi Sumeks. Demi kami semua para karyawan, baik redaksi, pemasaran, iklan dan karyawan di jajaran lainnya. Dan demi kejayaan Sumeks untuk menggapai masa depan gemilang.
Selamat Jalan Pak Helmy! Engkau telah berjasa menyelamatkan Perahu (Sumeks) sampai ke pulau harapan!
****
*Fotografer Gaek H Dulmukti Djaja
Tak Mau Diangkat
Jadi Karyawan
Satu dari beberapa orang yang ikut membesarkan nama Sumatera Ekspress (Sumeks) seperti sekarang adalah H Dulmukti Djaja atau akrab di sapa Kakek, karena paling dituakan di jajaran redaksi. Pria berumur 77 tahun ini mulai bergabung dengan Sumeks pada tahun 1991.
Saat itu, Sumeks hingga tahun 1992 masih dibawah naungan Surya Persindo Group. Sejak awal bergabungnya kakek bersama Sumeks, sudah terpatri dalam hatinya, bukan materi yang ia cari, melainkan kepuasan diri saat melihat hasil karya fotografinya dimuat di koran atau majalah.
“Tidak pernah terpikir berapa banyak saya akan digaji. Yang penting, hobi fotografi saya bisa tersalurkan. Senang rasanya jika foto hasil jepretan saya bisa dimuat di koran,” ujarnya. Ya, begitulah sosok seorang kakek yang telah mengenyam banyak asam garam dunia perkoranan. Banyak suka dan duka yang telah dilaluinya.
Seperti diakui kakek, hobi fotografi dikenal ‘mahal’. Namun, karena hobi, Dulmukti kala itu nekat menggunakan kamera manual milik pribadinya. Tahun 1992 sampai 1995, setelah Sumeks kerjasama dengan Surya Persindo Group tutup, ia terus berkiprah dalam bidang fotografi. Antara lain membantu berbagai penerbitan buku dan majalah / tabloid, seperti buku Sumsel Membangun, majalah Gending Sriwijaya, Buku tentang Polda Sumsel, majalah Wirabhakti, dan majalah Gelora Musi.
Pada 1 Juni 1995, ia diajak dua pendiri Sumeks, (alm) Alwi Raden Pandita dan (alm) Helmy Mattury untuk membantu penerbitan kembali surat kabar harian Sumeks dibawah naungan Jawa Pos Group. Pak Alwi dan Pak Helmy sangat paham dengan kakek. Meski kerja tidak digaji, kakek selalu menunjukkan tanggungjawabnya yang luar biasa. Kakek memang sudah ’terlanjur’ cinta dengan pekerjaannya sebagai wartawan foto. Banyak pengalaman suka dan duka yang ia jalani, terutama saat-saat membangun Sumeks yang masih belum populer itu.
Naluri wartawannya begitu tajam. Kakek terkadang tidak mempedulikan dirinya sebagai apa. Lebih-lebih ketika Sumeks jauh tertinggal dengan koran lokal Palembang saat itu. Dengan segala fasilitas yang masih begitu sederhana, kakek bertahan, bahu membahu dengan beberapa ‘orang lama’ membangun Sumeks dengan menggunakan kamera manual pribadinya.
Seperti penulis katakan tadi. Kakek terkadang tidak mempedulikan dirinya sebagai apa. Karena suatu hari kakek bahkan keluar dari jalurnya sebagai fotografer dengan melobi sejumlah pihak agar berlangganan Sumeks. Sebut saja yang dilobinya saat itu PT Pusri. “Semua demi Sumeks, agar Sumeks dikenal masyarakat. Dengan kerja keras, Pusri akhirnya mau berlangganan Sumeks sama seperti kompetitor saat itu,” beber kakek.
Barulah kemudian secara bertahap kamera manual miliknya digantikan kamera digital yang dibelikan perusahaan. Di usia senjanya, kakek masih menyimpan kekaguman terhadap (alm) Alwi Raden Pandita dan (alm) Helmy Matury yang selama hidupnya begitu gigih mempertahankan Sumeks tetap terbit agar SIUP-nya tidak dicabut oleh pemerintah (sebelum Reformasi).
Ia juga menyampaikan ribuan terima kasih kepada H Suparno Wonokromo selaku CEO Sumeks Group saat ini. Tak lain karena meskipun kakek bukan karyawan tetap Sumeks, namun kerja kerasnya tidak diragukan lagi. Bahkan diusianya yang sangat sepuh, ia berani bersaing--siapa yang punya nyali mengambil foto udara? Tak ada satupun fotografer di Sumsel menerima tantangan itu. Dan Kakekpun dengan keberaniannya berhasil mengabadikan foto Palembang dari udara dengan Trike Aquilla 582 (Baca Terbang Seperti Burung, Bebas Ambil Foto Udara).
---------------------------------
CATATAN TERCECER
Pengalaman Tak Terlupakan
Terbang seperti Burung,
Bebas Ambil Foto Udara
Tak setiap orang berkesempatan melihat topografi daratan dari udara dan tidak semua wartawan punya nyali melakukan pemotretan udara. Tantangan mendebarkan ini berkali-kali dialami fotografer senior Sumatera Ekspres, H Dulmukti Djaja. Terakhir, pada September 2008, ia berhasil mengudara dengan pesawat Trike jenis Aquilla Tipe 582.
-------------------
Terbang dengan Trike Aquilla Tipe 582 ternyata lebih nyaman dibanding beberapa jenis pesawat seperti pesawat capung, Dakota, Deraya, Puma, Falcon, Hercules, maupun helikopter. Penilaian ini dari segi kemudahan untuk mengabadikan bentuk bumi melalui foto udara seperti yang dilakoni Dulmukti.
“Hasilnya lebih cerah karena bebas dari halangan jendela kaca atau rintangan lain,” ungkapnya.
Kesempatan bagus itu diperolehnya usai pembukaan International Aeromodelling Flying Event (IAFE) 2008 di runway Stadion Jakabaring, 22 November lalu. Hanya ada dua orang yang mendapatkan kesempatan terbang dengan Trike Aquilla 582. Yang pertama, Gubernur Sumsel Ir H Alex Noerdin SH dan yang kedua peraih juara I Nasional Lomba Foto Telkomsel ini.
Selama waktu singkat yang hanya 10 menit, Dulmukti dan kameranya terbang mengitari Palembang. Saat itu, pesawat Trike Aquilla 582 yang mampu terbang empat jam tanpa henti itu dipiloti penerbang Renny Widodo asal Lido Club Jakarta. “Bikin foto yang bagus ya,” pesan Gubernur kala itu.
Dari pesawat seharga Rp400-700 juta itu, Dulmukti yang diujung masa pensionnya dari Sumeks itu, berhasil mengabadikan topografi Stadion Jakabaring dan kawasan sekitarnya. Trike Aquilla 582 juga melintasi Ampera, kantor Wali Kota Palembang, Pusri dan sejumlah tempat lainnya. “Berbagai posisi objek foto udara bisa diambil dengan bebas karena tidak terhalang dinding seperti kita naik pesawat terbang atau helikopter,” katanya.
Sebelum ini, Dulmukti pernah melakukan beberapa kali pemotretan udara. Seperti tahun 1950-an, terbang bersama Dr Ibnu Sutowo (alm) memotret lahan pembangunan RSMH Palembang. Kemudian memotret lokasi pabrik pupuk ASEAN di Lhokseumawe, Aceh Utara. Pemotretan kota Pagaralam dengan pesawat Trike Aquilla. Lalu mengabadikan pemadaman kebakaran hutan di OKI oleh tenaga ahli dari Rusia. Pemotretan udara kompleks PT Pusri, kawasan hutan lindung bersama mantan gubernur Sumsel H Rosihan Arsyad.
Lalu pemotretan udara di atas kawasan Kabupaten Muara Enim bersama mantan gubernur Sumsel Ir H Syahrial Oesman MM, pemotretan lokasi Penas XII KTNA Sembawa, Kabupaten Banyuasin yang diresmikan Presiden SBY, Juli 2007 lalu. Hobi fotografi ini telah diminatinya sejak usia 17 tahun. Berkat hobinya, selama hampir 50 tahun, Dulmukti berkesempatan keliling Indonesia bahkan ke mancanegara mulai dari Australia, Filipina, Singapura, Malaysia hingga Belanda.
Sejumlah penghargaan pun pernah diterimanya. Mulai dari juara harapan I Lomba Foto HUT RCTI yang ketiga dan HUT SCTV keempat, juara III Foto Pariwisata pada Festival Sriwijaya IV Tahun 1994, juara I Lomba Foto Wisata Festival Sriwijaya V Tahun 1995, dan juara I Nasional Lomba Foto Telkomsel.
Ada dua pengalaman berharga yang menjadi kenangan tak terlupakan selama ini. Pertama, saat terbang dengan helikopter dalam sesi pemotretan udara Kompleks Pusri. Saat itu, baling-baling belakang helikopter menyentuh air Sungai Musi. ”Untunglah, helikopternya berhasil mendarat darurat,” tukas Dulmukti.
Yang kedua, saat meliput tenggelamnya kapal Doyang Opal di perairan selat Bangka. Speedboat yang ditumpanginya bersama Wakil GM Sumatera Ekspres Group saat ini, H Subki Sarnawi, nyaris tenggelam. Banyak lagi liputan dengan medan menantang yang tidak pernah menyurutkan langkah untuk terus berkarya. (*)
Terjebak
Wawancara
Ekslusif
Pelukis Terkenal Amri Yahya
Kami bangga menjadi wartawan muda. Ketika kami mendapat tugas liputan ekslusif ke Jakarta untuk mewawancarai pelukis terkenal asal Sumsel Amri Yahya 1996, yang ada dibenak kami adalah karya jurnalistik kami pasti beda dengan koran lain. Dan itulah yang selalu ditanamkan redaktur kami setiap ada kejadian luar biasa atau tokoh luar biasa. Kami tidak mungkin melakukan wawancara secara berjamaah (ramai-ramai) dalam suatu acara jumpa pers.
Bila ketahuan bahwa esok harinya berita kami sama dengan koran lain, baik nasional maupun lokal, kami pasti digoblok-goblokkan para redaktur kami, terutama Pak Anwar SY Rasuan selaku Redaktur Pelaksana saat itu.. Apa artinya tugas liputan esklusif yang dibiayai mahal. Untuk apa jauh-jauh ke Jakarta bila hasilnya tidak memuaskan dari sisi karya jurnalistik.
Untu itulah kami mewanti-wanti agar rencana wawancara kami tidak diketahui para wartawan lainnya. Kami menahan diri untuk tidak ikut nimbrung bersama sejumlah wartawan nasional maupun lokal ketika mengerubuti si pelukis terkenal Amri Yahya itu, tapi mata kami tetap mengawasi gerak-gerik Amri, siapa tahu habis diwawancarai para wartawan, Amri langsung kabur atau menghilang dari pandangan kami.
Butir-butir pertanyaan yang bakal kami ajukan sudah kami susun rapih. Pada saat para wartawan selesai wawancara, giliran kami ‘menyandera’ Amri Yahya ke suatu ruangan yang jauh dari kerubutan para wartawan. Kamipun memulai sebuah wawancara eksklusif.
Apa yang bapak harapkan dari sebuah pameran tunggal ini?
Kami tidak mengharapkan apa-apa. Tetapi inilah seni, yang kami tampilkan agar semua orang tahu tentang seni.
Kalo boleh tahu, lukisan yang dipamerkan ini menganut aliran apa?
Pada dasarnya kami hanya menyuguhkan sebuah media pameran, biar penikmat seni yang menterjemahkan karya ini menganut aliran apa. Banyak kalangan kurator mengatakan ini aliran naturalis, ada juga yang mengatakan lukisan batik dan lain-lain, itu terserah yang menikmati.
Sudah berapa lama melakukan pameran tunggal seperti ini?
Wah sudah sering kita lakukan. Tidak hanya dalam negeri tetapi juga pernah ke luar negeri misalnya di Belanda dan lain-lain.
Mengenai proses melukis itu sendiri, sebenarnya Pak Amri menganut aliran pelukis dari mana?M
Proses melukis setiap orang atau pelukis bisa bermacam-macam, bisa dari pengaruh sang guru, atau pengalaman otodidak dan lain-lain. Kami berpikir setiap karya yang kami pamerkan selalu mendapat perhatian penikmat seni. Dan merekalah yang lebih tahu sebuah karya lukis lahir dari mana.
Ada beberapa obyek lukisan Amri yang mengangkat mengenai Lebak Lebung yang ada di Sumatera Selatan, pesan moral yang dimaksud dalam lukisan itu apa?
Ya Lebak Lebung itu adanya di Sumatera Selatan, ditempat lain tak ada. Mungkin kalau saja ada, mungkin namanya beda. Ada pesan moral dalam hal Lebak Lebung, karena itulah sebuah kebudayaan dan sosial masyarakat Sumsel. Selain daerahnya memang berawa-rawa, sungai-sungai, juga kehidupan di sana banyak sebagai pencari ikan, terutama yang berada di kawasan lebak.
Pak Amri menjadi pelukis terkenal setelah keluar dari wilayah Palembang atau Sumsel pada umumnya. Apa iklim berkesnian di Palembang kurang mendukung?
Sebenarnya seniman bisa hidup dimana saja. Kebetulan di luar Palembang iklimnya sangat mendukung, terutama di Jogjakarta atau Jakarta. Para penikmat seni juga datang dari mana saja. Dari situlah bisa kita ambil kesimpulan bahwa untuk menghargai seni butuh orang-orang yang mengerti tentang seni, minimal mampu menikmati seni. Sebab orang yang beli lukisan, belum tentu mengerti seni, tetapi mereka sangat menikmati seni. Itulah sebuah penghargaan karya seni yang sesungguhnya.
Bagaimana dengan Palembang, apa iklimnya kurang mendukung eksistensi seniman?
Saya tidak mengatakan iklim di Palembang kurang mendukung seniman, tetapi Palembang kota kecil. Untuk melakukan sesuatu yang besar, kita harus melakukannya di kota besar atau yang selama ini menjadi basisnya seniman, yaitu Jogjakarta dan Jakarta. Suatu saat nanti kami akan menggelar pameran di Palembang agar seniman lukis lainnya termotivasi melakukan gebrakan yang sama.
Apa harapan bapak mengenai perkembangan seni budaya di Palembang?
Secara pribadi kami berharap iklim berkesenian bisa menjadi lebih baik, bahkan akan muncul seniman-seniman besar dari Palembang.
Trima kasih atas kesediaan waktunya Pak.
Sama-sama, Dik. Nanti kirim korannya ya.
Ya, Pak.
Habis wawancara ekslusif, kami mengeluarkan kamera dan minta orang lain mengambil foto kami bersama Amri Yahya itu. Foto bersama tokoh penting seperti ini sering kami lakukan sebagai bukti bahwa kami telah berhasil melakukan tugas-tugas jurnalistik dengan baik dari redaktur kami.
Tapi betapa malunya kami setelah tahu bahwa yang kami wawancarai sampai berbuih-buih itu ternyata bukan Amri Yahya, melainkan tim sukses pameran lukis Amri Yahya alias panitia yang kebetulan masih saudara Amri. Kami semakin malu luar biasa ketika teman-teman wartawan lainnya menertawai kami, termasuk tim dari pemerintah provinsi (pemprov) Sumsel yang saat itu memfasilitasi kami ikut bersama rombongan Gubernur Rosihan Arsyad ke Jakarta.
Kami tak bisa berbuat apa-apa lagi dengan foto bersama tokoh pelukis besar Amri Yahya, yang ternyata bukan Amri Yahya. Kami pulang dalam keadaan membawa beban malu luar biasa. Betapa ‘gobloknya’ kami melakukan sebuah kesalahan besar untuk hasil yang besar. Cara eksklusif itu perlu dan penting, tapi bertanya tentang jati diri orang yang kita tanyai, itu jauh lebih penting. Seperti pepatah; malu bertanya sesat dijalan. Ingat itu wartawan muda!
---------------------------------------------
PROYEKSI LIPUTAN
Wartawan peliput : T Junaidi
Nara Sumber : Pelukis Amri Yahya
Hari penugasan : Mei 1996
Tempat : Gedung World Trade Center (WTC), Jakarta Pusat
Redaktur Pelaksana : Anwar SY Rasuan
Seniman Lukis Amri Yahya
Meninggalkan Kita
Perlu diketahui, seniman lukis yang juga guru besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof Dr (HC) Amri Yahya, 65 tahun itu, meninggal dunia, Minggu (19/12/2004) pukul 11.30 WIB. Pelukis batik kelahiran Palembang 29 September 1939, meninggal dunia setelah dirawat di RSUP Dr Sardjito Yogyakata karena mengidap penyakit diabetes militus, jantung dan pau-paru.
Amri Yahya dikenal sebagai pelukis senior dan pecinta seni lukis batik. Dia juga dikenal sebagai guru besar seni rupa di UNY. Meski kelahiran Palembang, Amri lebih dikenal sebagai seniman kota Gudeg sebab telah 45 tahun menetap di Yogyakarta.
Perjalanan menjelang akhir hayatnya, dimulai pada 16 September 2004. Saat itu galeri seni miliknya tempat menyimpan ribuan koleksi lukis dan batik serta buku-buku, terbakar musnah. Amri Yahya yang sudah menderita diabetes sejak 2003, sempat teluka pada bagian tumit kaki kirinya.
Luka kecil itu tak juga mengering. Saat itu, kadar gula Amri Yahya mencapai 390. Karena tak juga mengering, Amri Yahya membawanya ke SUP Sardjito. Sempat dirawat dua minggu di RS tersebut, tim dokter memvonis kaki kiri Amri haus diamputasi.
Menolak keputusan tim dokter, Amri kemudian memilih berobat ke RS Elisabeth Singapura. Di Singapura, Amri sempat dirawat selama enam hari namun kondisinya tetap tak mengalami kemajuan. Karena tidak ada perubahan, akhirnya Amri dibawa pulang lagi ke Indonesia ke RS Sardjito.
Kondisi Amri semakin melemah sejak Jumat (18/12/2003). Amri sempat dirawat di ICU karena ada gejala komplikasi paru-paru. Tiga jam sebelum menghembuskan nafas, tekanan darah Amri Yahya sempat diperiksa dan menujukkan angka 130. Tetapi setelah itu, tekanan darah Amri terus melemah.
Sebelum masuh ICU, Amri Yahya sempat bercanda dengan anak-anaknya. Amri berpesan agar anak-anaknya, meneruskan dan melestarikan kesenian yang sudah dijalaninya selama puluhan tahun itu.
Amri Yahya meninggalkan empat orang anak dan empat oang cucu. Jenazah Amri dimakamkan Senin (20/12/2003) pukul 11.00 WIB di makam keluarga Gampingan Yogyakarta. Sebelum dimakamkan, jenazah Amri disemayamkan di kampus UNY, tempat Amri mengabdi sebagai staf pengajar Seni Rupa.
Perjalanan kesenimanan Amri Yahya dimulai semasa masih menjadi mahasiswa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dan lulus 1959. Amri saat itu juga menempuh pendidikan dan lulus dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta tahun 1971. Amri Yahya juga sempat memperdalam seni keramik di Belanda pada 1979.
Semasa kuliah di ASRI, Amri Yahya telah menggelar pameran atas karya-karyanya sejak 1957. tahun 1972, Amri Yahya mendirikan Amri Gallery di Gampingan, Yogyakarta. Saat itu, Indonesia sedang mempersiapkan diri sebagai tuan rumah Konferensi PATA tahun 1974. (*)
Yunita Ayu
Sumeks
menjadikanku
Selebritis
Ketika penulis meminta saya menceritakan tentang suka duka bersama Sumatera Ekspres, perasaan saya campur aduk karena begitu banyak yang harus diceritakan & semuanya bernilai emas. Rasanya ingin saya ungkapkan detik demi detik perjalanan masa-masa suka & sulit ketika berjuang membesarkan nama Sumatera Ekspres, yang kini lebih popular dengan sebutan SUMEKS.
Pertengahan Mei 1995 pertama kali saya menapak karir di Sumatera Ekspres hanyalah sebagai sales iklan karena hanya bagian itu yang dibutuhkan di sebuah surat kabar lama berbaju baru. Saya menerima pekerjaan itu hanya karena kedekatan rumah dan kantor sehingga saya berpikir tak perlu mengeluarkan ongkos. Ketika itu saya bersama keenam rekan wanita lain diminta untuk bekerja mencari iklan apa saja. Dulu saya berpikir bagian ini paling menyenangkan karena yang terbayang hanyalah cepat mendatangkan uang, karena saya bekerja tidak digaji tapi berdasarkan komisi.
Dengan kemampuan yang masih pas-pasan karena saya baru dibidang ini sedangkan latar belakang kesarjanaan saya di bidang keguruan sungguh sangat bertolak belakang bukan? Tapi disitulah letak tantangannya karena itu saya banyak belajar dan bertanya dengan rekan-rekan wartawan senior bagaimana menjual space iklan di koran. Dulu almarhum Alwi Raden Pandita pernah berkata dengan kami berenam, ‘’…berapapun harga yang ditawarkan konsumen sikat bae, kito ni dak pacak tawar menawar,’’ katanya.
Tiga bulan pertama sejak dilaunching koran Sumeks dilecehkan seorang distributor springbed terbesar zaman itu yang sangat mengunggulkan competitor Sumeks. Saya datang berkali-kali dengan membawa koran Sumeks ke tempatnya dan mungkin puncak kekesalan dia terhadap saya adalah ketika dia berkata, ’’… untuk apo kau datang terus, kau enjuk kami gratis bae dak galak aku nak baconyo, berita kamu tuh galak salah dan basi. Mano dak katek pulo di pasar.’’ katanya. Saya hanya mengurut dada saat itu dan tetap tersenyum. Resiko koran baru di antara persaingan koran mapan. Anda tahu hingga saat ini klien itu tetap mengingat saya dan dia angkat jempol dengan kegigihan seorang sales iklan Sumeks.
Karena Sumeks masih ‘berdarah-darah’ untuk menghidupi karyawannya, maka anak sales iklan tidak diberikan fasilitas apapun, benar-benar mengandalkan kocek sendiri. Saya pun harus berhemat dengan uang komisi yang ada. Saya harus berjalan kaki menyisir pusat bisnis dari jalan Veteran terus ke Kol. Atmo demi menjajakan iklan baris yang notabene dijual seharga 1 bulan berlangganan hanya 25 ribu perak. Berjalan kaki ternyata membuat saya hapal jalan tikus di daerah Veteran, Kol. Atmo hingga Pasar Kentut dan Pasar 16.
Semua toko-toko di sepanjang jalan itu yang belum berlangganan iklan Sumeks saya tawari satu persatu. Ada yang cuek, ada yang berupa ejekan dan ada yang hanya mempermainkan saja, begitu banyak lelaku hari itu yang saya temui. Akhirnya saya dapat juga iklan baris sebanyak 12 toko dan langsung bayar dimuka mungkin karena iba melihat saya yang sudah berpeluh atau karena murahnya, saya tak tahu persis. Kalau ingat itu, saya sangat bangga karena Sumeks menjadikan saya setangguh sekarang ini. Rasanya kata-kata bijak “pengalaman adalah guru yang terbaik” melekat di benak saya hingga kini.
Oh ya ada yang terlupa, satu lagi klien yang hingga kini terus bercerita kepada teman-teman saya dan bahkan dengan Pak Suparno. Adalah Sutrisno, pucuk pimpinan PT. Capela Patria Sentosa, (distributor oli, accu mobil & spare part motor) rasanya dia saksi hidup bagaimana saya berjuang untuk mendapatkan iklan darinya. Karena kantornya sangat jauh, dia memaafkan saya karena telat 1 jam dari janji ketemu karena melihat wajah yang mengkilat, berpeluh & kehausan turun dari kendaraan umum. Dia orang yang sabar dan sangat mengerti perjuangan membesarkan Sumeks. Saya terkadang tersipu malu ketika dia selalu mengobral cerita itu kemana-mana. Dia berjasa menambah pundi komisi saya. Mulanya komisi saya peroleh dari 15 ribu hingga 750 ribu per iklan. Suatu angka yang fantastis bagi sales seperti saya. Dari enam rekan saya yang ada satu persatu mulai berguguran, seleksi alam pun berlaku, tetapi Pak Hartono, koordinator iklan saat itu terus memompa semangat kerja kami.
Pada awal bulan tahun pertama itulah awal kerja keras membangun nama Sumeks dan merebut sebagian saja pelanggan-pelanggan kompetitor. Pemasukan iklan sangat sedikit dan berjalan lambat seiring persaingan dengan kompetitor yang sangat mapan. Di awal tahun pertama ini dengan dukungan sumber daya manusia yang sangat terbatas, divisi iklan maju selangkah demi selangkah. Bagian pemasaran iklan yang jumlahnya sangat terbatas terdiri dari 5 orang tenaga pencari iklan harus bekerja ekstra keras. Karena kenyataan dilapangan sulit sekali untuk melepas imej harian ini yang terlanjur “jelek” di mata masyarakat,. Persepsi masyarakat terhadap harian ini umumnya menganggap sebagai koran kelas dua dibandingkan dengan kompetitor.
Pada awal tahun 1996 terdengar santer isu keretakan di tubuh koran lokal yang sangat laris saat itu. Puncaknya pada awal Februari 1996, kompetitor benar-benar tidak beredar alias tutup hingga waktu yang tidak ditentukan. Sumeks seperti mendapat durian masak yang tidak ada durinya. Saya ingat betul, omzet iklan Sumeks dari uang kecil tersebut terkumpulah 17 juta perbulan hingga 45 juta.
Dengan tutupnya kompetitor artinya Sumeks kebagian kue iklan tersebut dengan serta merta tanpa saringan. Tiba-tiba omzet mendadak naik hingga 700%. Koran Sumeks mendadak kondang dan dicari para pemasang iklan. Omzet yang tiba-tiba melejit inipun membuat kita euphoria menerima order dari segala penjuru mata angin. Ketidaksiapan manajemen membuat administrasi iklan agak sedikit kacau. Pak Hartono sebagai koordinator iklan dan satu orang administrasi kewalahan menangani hal tersebut. Atas inisiatif Pak Hartono karena keterbatasan karyawan, saya pun diminta bantuan mengontrol proses produksi iklan di malam hari & menghindari kesalahan penerbitan. Saya ketika itu sudah mulai mencintai Sumeks walaupun bukan karyawan tetap diminta untuk piket setiap malam. Kalau iklan lagi banyak terkadang saya baru pulang pukul 1 dinihari setelah naik cetak. Saya suka melakukan ini karena dengan begitu bisa lebih dekat dengan rekan wartawan dan saya pun mendapatkan info bakal iklan apa keesokan harinya. (Ha…ha.. ternyata saya kemaruk juga).
Suatu pagi di bulan Mei 1996, saya dipanggil Pak Hartono untuk menghadap General Manager, Suparno (sekarang CEO Jawa Pos Sumbagsel). Ketika itu ruangan Pak Parno (panggilan akrab bos Sumeks) menyatu dengan kamar tidurnya walau hanya disekat tripleks sekeping. Ternyata Pak Parno meminta saya untuk menggantikan posisi Pak Hartono sebagai koordinator iklan. Mengapa dia meminta saya? Pak Parno mengatakan …”Saya sengaja mengambil orang dari posisi yang paling bawah untuk memimpin, karena kamu lebih tahu lika-likunya dan bila staff yang berada dibawahmu melakukan hal-hal tercela & tak terpuji saya yakin kamu lebih dulu mengetahuinya..”, kata Pak Parno.
Sambil tertawa Pak Parno mengatakan bahwa saya akan dikontrak dulu selama setahun dan gajinya jauuuuuuuuuuuh di bawah komisi yang saya terima perbulannya. Ketika itu komisi paling sedikit saya terima 500 ribu bersih, sedangkan karyawan saja hanya digaji 175 ribu perak. (Timpang bukan?).
Jawaban saya saat itu, ‘’Ok pak saya siap, tapi komisi bulan terakhir tetap boleh diambil ya pak?’’ sambil tersenyum malu dan saya harus rela memindahkan klien saya menjadi milik kantor. Saya sangat berterima kasih pada Pak Hartono yang sudah merekomendasikan posisi tersebut. Usut punya usut rupanya Pak Hartono tidak mau terikat sebagai karyawan yang datang pagi pulang sore, dia ingin mandiri. Pak Parno mengusulkan kepada Pak Hartono untuk membuka biro iklan khusus Sumeks. Terbukti setelah lepas beliau mendirikan biro iklan bekerjasama dengan MDP, dan menjadi terbesar diantara biro iklan lainnya hingga saat ini. Kecintaan Pak Hartono untuk terus bersama Sumeks sangat luarbiasa, ia ikut mulai dari Sumeks Jl.Merdeka 1 hingga Km 6,5 sekarang ini.
Menjadi koordinator iklan membuat saya banyak menemui kasus kecil dan besar. Berbagai masalah mulai timbul dari buruknya pelayanan iklan, penilepan uang iklan dari orang dalam hingga ancaman pembunuhan dari klien iklan baris. Kasus iklan baris ini terjadi karena lemahnya pengawasan admin di divisi iklan baris. Masalahnya sangat sederhana klien iklan ini saya hentikan penerbitannya karena sudah 3x menunggak. Pemasang iklan baris itu merasa ada “backing” di bagian admin iklan hingga dapat menunggak. Ia datang dengan amarah dan sambil menunjuk muka saya dan berkata “Cukup lima puluh ribu aku suruh orang habisi kamu ni dan aku ini masih keluarga T …..(menyebut nama preman besar).’’ Saya diam saja dan istifar.
Akhirnya melalui wartawan senior, saya minta dipertemukan dengan preman tersebut. Saya ketemu dengan beliau di restoran Hotel Princess tempat preman besar itu sering kongkow. Preman tersebut sangat marah mendengar cerita saya karena klien saya sudah menjual nama besar keluarganya untuk maksud yang tidak baik. Keadaan justru berbalik, setelah sehari pertemuan dengan preman tersebut, saya dikabari bahwa ia lagi bersama si klien iklan dan minta restu untuk “mengerjai” klien iklan tersebut. Cepat sekali preman tersebut mendapatkan klien iklan baris ini padahal saya tidak memberikan data apapun kecuali nama dan jenis bisnisnya. Saya pun berpesan kepada rekan wartawan tersebut bahwa saya sudah memaafkannya, dan tolong biarkan ia hidup karena saya masih takut dengan TUHAN.
Melihat pelik dan banyak hal yang harus saya pelajari maka manajemen Sumeks memandang perlu untuk menambah wawasan saya dalam manajerial periklanan. Setelah belajar manajemen iklan selama 10 hari di Jawa Pos, Surabaya dan Harian Fajar, Ujung Pandang di tahun 1997, omzet iklan meningkat pesat. Manajemen mengabulkan permintaan saya untuk menambah orang di divisi iklan, mulai admin, desain iklan, kolektor & merekrut sendiri sales-sales iklan guna membenahi semua kekurangan di bagian iklan. Alhasil pada tahun ketiga, Sumeks berhasil masuk dalam jajaran 5 besar di group Jawa Pos, bahkan omzet iklan menduduki peringkat 3. Suatu usaha yang luar biasa dengan semua tim, baik redaksi dan pemasaran. Alhamdulillah meski kompetitor sudah terbit kembali di pertengahan ‘ 97, omzet iklan tetap bertahan. Masyarakat Sumatera Selatan benar-benar sudah menemukan sumber bacaan yang terpercaya dan referensi promosi yang paling efektif & laris manis.
Perlahan tapi pasti per April 97 status saya dari koordinator iklan kontrak dinaikkan menjadi Kepala Bagian dan diangkat sebagai karyawan tetap. Suatu berkah yang luar biasa bagi saya. Karena Sumeks luar biasa juga mempertahankan kualitas produk dan omzet iklan tidak turun dari triwulan II tahun 96 hingga medio 97, maka manajemen memberikan reward kepada karyawannya. Tepat pada 27 – 30 Oktober ‘97 pertama kali Sumeks memberangkatkan karyawannya pelesir ke luar negeri.
Hingga kini karyawan dan wartawan diberangkatkan ke luar negeri secara bergiliran sebagai penghargaan atas semua kerja keras dari tahun ke tahun. Suatu kebanggaan tersendiri bagi saya dan teman-teman seperjuangan dari awal dapat pergi ke beberapa provinsi di Indonesia, Asean, Asia hingga daratan Eropa & Amerika. Bukan hanya karyawan saja yang kita berangkatkan ke luar negeri, beberapa biro iklan Jakarta, Palembang, relasi iklan dan sales iklan pun diberangkatkan ke luar negeri.
Keberangkatan ke luar negeri merupakan stimulus yang sangat bagus, karena sebagai karyawan kalaupun ada uang belum tentu mau ke luar negeri. Rasanya saya semakin terpacu harus meningkatkan omzet, siapa tahu diajak lagi. Setiap tahun manajemen selalu menaikkan target omzet, tapi alhamdulillah semuanya bisa dilampaui. Semua ini tak lepas dari kerjasama tim. Setiap laporan pertanggungjawaban akhir tahun dan proyeksi tahun berikutnya selalu saya tekankan saling berkomunikasi dan sharing antar bagian, baik itu redaksi pemasaran dan iklan itu sendiri. Semua divisi saling bahu membahu berdasarkan fungsinya masing-masing bila antar bagian ada kegiatan. Saya hampir tak percaya bahwa kini tim iklan mampu meraih omzet dari hanya puluhan juta hingga kini tembus 9 digit.
Almarhum H.Mahtum Mastoem (Komisaris) selalu berpesan bahwa setiap manajer di sebuah perusahaan penerbitan pekerjaannya bukan hanya menjual space dan memasarkan produk, tetapi bagaimana kita juga memaintenance dan melayani orang-orang yang ada di seputar pekerjaan kita. Pentingnya menjaga keluwesan pertemanan dan membantu relasi kita mensupport produknya agar laku di pasaran adalah kunci kelanggengan bermitra. Ilmu itulah yang terus saya camkan dalam hati. Beliau selalu mengusulkan untuk mengadakan acara-acara out door dengan melibatkan berbagai mitra. Disamping Sumeks mendapat image yang bagus di mata pembaca, juga para mitra terbantu pemasarannya. Tengoklah ketika pameran multi produk selalu diidentikkan hanya gawean pemerintah, Sumeks berani mendobrak sebagai pionir penyelenggaraan pameran multi produk di hotel & pusat perbelanjaan. Semua pekerjaan ini melibatkan relasi dan mitra iklan Sumeks.
Memasuki abad 21, tepatnya tahun 2000, Sumeks semakin berkibar jauh meninggalkan kompetitor yang ternyata semenjak terbit kembali medio 97 sulit kembali meraih pembaca setianya. Awal Pebruari ’00 Sumeks menempati gedung prestige berjuluk Graha Pena. Rasanya puas melihat gedung megah sebagai wujud fisik atas keberhasilan kerja keras selama 5 tahun pertama. Manajemen pun meminta divisi iklan meningkatkan prestasi dengan target omzet GO 1 M per bulan di tahun itu. Sebuah tantangan yang tak mudah diraih jika tak dilakoni. Tim iklan pun putar otak mencari hal-hal baru untuk dijadikan sumber pemasukan baru. Cikal bakal iklan society pun dimulai dengan judul Mitramonial untuk memenuhi kebutuhan relasi liputan pemberitaan yang sifatnya hanya seremoni. Tidak mudah meyakinkan relasi yang selama ini terakomodir liputan kegiatannya secara gratis. Kini mereka pun harus mengeluarkan budget khusus untuk terekspos di media cetak.
Karena banyaknya permintaan pemuatan foto kegiatan di Sumeks, maka bagian iklan mengganti judul Mitramonial menjadi Society Biz dan rubrik khusus berita bergambar yang tadinya merupakan ruprik kompensasi beli koran yang diasuh redaktur T Junaidi ini laris manis dan dicontoh semua media cetak, baik di Palembang maupun beberapa koran-koran Jawa Pos Group daerah lain. Omzetnya pun lumayan kencang. Setelah itu bagian iklan meluncurkan Mitra Bisnis yang membantu beberapa relasi yang punya budget kecil dapat terekspos juga di Sumeks. Iklan ini pun laris manis karena berbagai kemudahan dan tampilannya dibuat semenarik mungkin.
Kini memasuki usia lima belas tahun, Sumeks merajai persuratkabaran di Sumatera Selatan. Sumeks terus melakukan investasi dengan membuka koran-koran pendamping di kota Palembang, dan semua kabupaten di Sumatera Selatan. Tak mau didahului oleh raksasa media nasional, Sumeks pun meluncurkan PalTV, televisi lokal pertama di Palembang. Sumeks ingin selalu jadi pelopor bukan pengekor. Rasanya belum cukup Sumeks group membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja selain mencerdaskan masyarakatnya sendiri. Sebuah tugas yang sangat mulia dan ini harus tetap dilanjutkan, sebelum titik jenuh berada di ambang mata kita.
--------------------------kata mutiara-----------------------------
Tak ada kerja besar, keringatku sudah kering, sudah kupunguti bercampur debu dan deru, aku merindukan cahaya dalam gelap, yang mampu menembus fajar kadzib-nya, sebab bersama sehelai sisa harapan, belum pupus mengukir esok diatas belanga, kini tertanak sudah untuk aku hidangkan, bahwa perjalanan butuh pengertian….
(teje)
Bersambung ke Sejarah Sumeks decade 1960-1990 (bersama Surya Persindo Group)……
MEREKA
BICARA
Ajmal Rokian
Wartawan SCTV, mantan Wartawan/Redaktur Sumeks 1990-1992
v:shapes="BLOGGER_PHOTO_ID_5313374500909949298">
Mengenang kemajuan Harian Sumatera Ekspress (Sumeks), dari masa ke masa, betul-betul memiliki makna yang sangat berarti bagi yang mau memahaminya. Bak menyimpan harta karun yang amat berharga, gemerlap kemakmuran Sumeks kini mulai menyeruak pada alam faktanya.
Napak tilas perjalanan Sumatera Eksperss awalnya menerawang penuh cobaan. Perjalanan hidupnya jatuh dan bangun. Denyut kehidupannya penuh nuansa cerita, dan akhirnya beginilah hasilnya: Menurut saya, sudah tiba pada maqom kemajuan luar biasa.
Betapa tidak. Sumeks tempo doeloe hidup dalam kesendiriannya dalam kesedihan, yakni koran “lama” yang memerlukan suntikan dana dan manajemen segar. Tapi kini, Sumeks sudah sangat berbeda. Ia sudah didampingi banyak saudara-saudaranya.
Terinspirasi dari kemajuan manajemen Sumeks, sekarang Palembang dan daerah lain semarak menggurita koran baru pasca kemajuan Sumeks sampai ke kabupaten se Sumatera Selatan.
Contohnya Harian Palembang Post, Majalah Monica, Palembang Ekspress, Radar Palembang, hingga bermunculan perusahaan pers-nya di daerah seperti Linggau Post, Prabumulih Pos, Banyuasin Post dll., sampai-sampai terinspirasi pula telivisi lokal yang diberi nama Palembang TV. Ini semua awal mulanya dimanajemen setelah Sumatera Ekpress mengalami kemajuan.
Sebagai mantan wartawan Sumeks di era lama, ketika Sumatera Ekspress akan bangkit di tahun 80-an, saya turut berbangga dengan kemajuan ini. Bagi jajaran Sumatera Ekspres sendiri sepatutnya bersyukur kepada Illahi ya Robbi, atas karunia kemajuan yang dikaruniakan Allah ini.
Ketika Triyono Junaidi (T Junaidi) yang sering disapa rekan-rekan di kantor Mas Teje, meminta kami untuk menanggapi diterbitkannya buku ini, maka pendapat inilah yang pertama harus kami sampaikan. Mudah-mudahan saja penerbitan buku ini adalah satu bentuk rasa syukur jajaran Sumeks kepada Allah karena sudah dikaruniai kemajuan ini.
Hal kedua yang juga penting untuk jadi pengalaman atas kemajuan Sumeks adalah soal kesungguhan dan kegigihan rekan-rekan Sumeks. Dari yang tua hingga yang muda utamanya yang kami lihat dijajaran redaksi Sumeks, kami nilai patut menjadi contoh untuk kemajuan.
Saya tahu betul, teman kami Teje misalnya, ketika bergabung dengan Sumeks lama, Teje awal mulanya bekerja sebagai Editor, Grafis Artistic dan karikaturis bersama Conie C Sema (sekarang wartawan RCTI di Lampung), Haswanda Ferdini, dan Anto Narasoma (sekarang Humas Sumeks). Kemudian Teje ditarik sebagai wartawan muda yang ngebid sebagai wartawan kriminal. Pos liputannya di Poltabes dan Rumah Sakit Umum Palembang (RSUP). Karya jurnalistik pertamanya yang menghebohkan adalah kasus hormon proklatin, yaitu pembesaran payudara seorang ibu yang hampir sebesar bantal guling. Padahal kasus pasien ini sebenarnya sudah lama menginap di RSUP dan tidak diapa-apakan pihak rumah sakit lantaran biaya operasinya cukup mahal, sedangkan si pasien orang miskin.. Karena kejelian Mas Teje melihat dari sisi human interes, maka berita tersebut menjadi perhatian semua pihak, terutama kalangan ibu-ibu PKK, pemerintah dan instansi swasta lainnya. Si pasien akhirnya mendapat sumbangan dana dari masyarakat untuk operasi sampai akhirnya sembuh total.
Kedua karya jurnalistik Mas Teje yang sempat menghebohkan adalah kelaparan warga transmigrasi Airsugihan pada 1991. Berita ini menjadi simpang siur sejumlah media lokal dan Jakarta, terutama mengenai jumlah korban meninggal dunia. Beberapa koran memberitakan 30 warga trans meninggal kelaparan, ada yang menyebutkan tujuh meninggal. Tapi saat itu Teje memberitakan cuma 3 yang meninggal dunia. Tentu saja perbedaan dilapangan ini menjadi perdebatan sampai-sampai Rudini (saat itu Mendagri) mencak-mencak dengan Gubernur Ramli Hasan Basrie. Sementara Teje juga menjadi sumber kemarahan Makmur Hendrik, Redaktur Eksekutif (RE) Sumeks dan Almarhum Alwi Raden Pandita (Pimpinan Umum) serta Helmy Mattury (Pimred). Tapi Teje meski digoblok-goblokan RE dan sejumlah pejabat Sumeks, masih saja ngotot dirinya yang benar. Sampai-sampai Makmur Hendrik menuding wajah Teje dengan ancaman; ‘’Kalau kamu salah, kamu yang aku gantung duluan. Tapi kalau kamu benar, kami semua ikut kamu. Ingat, besok semua unsure muspida akan meninjau ke lokasi,’’ kata Makmur Hendrik. ‘’Saya yang benar, Pak,’’ ujar Teje tanpa ragu.
Esoknya setelah unsure muspida meninjau ke lokasi trans Airsugihan, semua orang yang diberitakan meninggal dunia oleh sejumlah koran kompetitor Sumeks saat itu, melakukan aksi unjuk rasa bahwa dirinya masih hidup. Melihat kenyataan itu, Makmur langsung menyalami Teje setelah sebelumnya hormat dulu seperti tentara. ‘’Kamu hebat. Kamu yang benar!’’ kata Makmur Hendrik. Teje tersenyum-senyum sembari menyodorkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) kepada Makmur Hendrik. Setelah dilihat, betapa terkejutnya Makmur Hendrik, ternyata Teje juga warga trans Airsugihan. Wajar semua sumber berita bisa ditulisnya secara akurat dan benar.
Sebagai karyawan yang serba bisa, Teje benar-benar tidak merasa asing menggeluti dunia koran, mulai Grafis Artistik, Karikaturis, kemudian menjadi petugas setting koran yang saat itu pencetakan Sumeks menggunakan flat. Namun karena kegigihan dan keuletannya, Teje kemudian menjadi wartawan seni dan budaya, berkembang terus menjadi wartawan cukup diandalkan di Sumeks.
Demikian pula di jajaran wartawan tuanya. Pak Haji Dulmukti Djaja (HDD) yang sering dipanggil rekan-rekan kakek misalnya. Jujur saya akui banyak teladan yang kami timba dari dirinya. Sebagai wartawan, saya banyak menimba makna sosok wartawan fotografer Sumeks ini.
Figur fotografer HDD adalah sosok insan pers yang tidak mau berhenti kerja. Meski usianya sudah tua, selalu turun ke lapangan disaat apapun. Tak pandang waktu, tak pandang jauh dekat tujuan, selagi dapat dicapai takkan mundur barang selangkahpun. Padahal HDD sudah selalu disarankan supaya digantikan fotografer muda, namun ia selalu ingin memberikan karyanya berupa foto terbaik kepada pembaca meskipun usianya sudah senja.
Indikator sumber daya manusia (SDM) seperti inilah yang mendukung kemajuan Sumeks. Ada kalangan mudanya yang gigih terus menimba ilmu dan ulet menambah wawasan kewartawanannya dari waktu ke waktu, juga ditopang ketauladanan wartawan senior dari generasi tua idealis seperti forografer HDD.
Variabel ketiga yang menjadikan Sumeks sukses menurut kami manajemen moderen yang diterapkan perusahaan pers yang ditangani saudara kami Suparno Wonokromo. Bidang keredaksiannya berkembang dengan memberikan informasi cepat, lengkap dan yang lebih penting menyejukkan. Selain itu keredaksian gaya socity (yang kali pertama diasuh Mas Teje), yang kemudian banyak ditiru koran lain menjadi paradigma baru bagi dunia keredaksian di Sumsel.
Semangat kemajuan ini semoga menjadi contoh terutama bagi jajaran Sumeks sendiri, yang belum tahu latarbelakang sejarah kemajuan Sumeks hingga sekarang. Kemajuan, yang didasari mau bersyukur pada Allah, ditambah dengan kesadaran ingin maju didukung SDM handal dan manajemen maju itulah diharap menjadi warna baru bagi kemajuan insane pers Sumsel termasuk diri kami, sebagai wartawan yang masih ingin memberikan berita-berita menarik bagi khalayak banyak.
Ahmad Rapanie Igama
Mantan wartawan/redaktur Sumeks 1990-1991.
Sumeks, Sumatera Express, SE, sekarang Sumatera Ekspres (Sumeks) adalah rangkaian huruf yang pernah menandai perjalanan koran ini. Sekalipun perubahan banyak terjadi pada kepemilikan, manajemen, pengelola, kantor, jumlah halaman, warna, dan sebagainya, ada identitas yang tidak berubah darinya. Dia tetaplah sebuah koran terbitan Palembang yang setiap hari memberikan berita terbaru, dinanti pembacanya, berkunjung pagi hari. Porsi berita terbanyak tetaplah kabar dari daerah. Namun, teknologi komunikasi yang canggih dewasa ini menyebabkan dia mampu lebih cepat dan mendalam dalam menyajikan berita; berbeda belasan tahun lalu, kala teknologi informasi tercanggih masih modem, foto-foto masih direpro via Antara yang datang setiap sore hari. Setting ala machintos, dan lay out manual yang melelahkan mata karena sinar lampunya yang mencorong dari balik kaca meja layout. Tapi, kurasa semangat itu sama: menyajikan yang terbaik untuk pembaca dan koran laku karena dibaca orang.
Sumeks berjalan di atas rel mencerdaskan bangsa, mengantar imajinasi orang pada realitas sosial, meniupkan sinyal control sosial, dan memuaskan nafsu orang yang dahaga akan informasi. Lewat tulisan, gambar atau foto. Teknologi pula yang mengubah visualnya menjadi makin menarik. Dahulu, 18 tahun lalu, warna dalam koran masih sangat langka dan mahal. Untung saja hanya 12 halaman sehingga tidak perlu menggerutu karena seluruh halamannya hitam-putih.
Sumeks makin membanggakan. Mungkin juga membanggakan kompetitornya sesama koran karena bersanding dan bersaing dengan koran sebesar Sumeks. Bagiku, koran ini juga makin kuat menjalankan fungsi dan perannya. Dan, para pengelolanya tentu ikut menikmati kebesarannya. Kulihat, teman-teman wartawan makin baik kehidupan ekonominya. Alhamdulillah.
Koran terbesar, sayang, porsi budayanya sangat sedikit. Itupun kebanyakan hanya persoalan seni dan sastra. Sorry, barangkali ini egoku saja. Tapi tolong, kalau bisa “loyang” kebudayaannya agak besar lagi, sehingga pantas meletakkan “kue” yang besar pula. Koran terbesar di Sumsel, honor bagi penulis dari luar juga terbesar kan? Kalau belum, tolong juga diperhatikan, agar penulis-penulis lokal tumbuh dan berkembang. Bagaimanapun di era penetrasi kapitalisme yang luar biasa ini, “doku” dapat menjadi pemicu persaingan intelektual.
Terakhir ini harapanku. Karena terlalu panjang jika lewat narasi prosa, aku tulis puisi saja. Semoga semakin jelas.
Perahu berlayar. Dermaga. Dermaga lagi.
Meniupkan kabar lewat angin. Memasuki celah hati.
Seperti cahaya menyusup hijau daun. Rumput-rumput
mencengkeramkan lagi akar-akarnya.
Kau tahu, panah itu mesiu. Melepaskan humus-humus tanah.
Mencerabut akar-akarnya. Rootness.
Perahu itu hilir mudik. Tolong hantar kami ke huluan.
Mencari bibit rumput. Menghijaukan halaman rumah,
Kantor, lapangan bola, hingga hati dan pikiran kami.
Tolong hantar kami pada muara. Agar luas menatap matahari.
Dahsyat terombang ambing ombak malam.
Lalu bersyukur berjumpa pagi.
Tolong hantar pada dermaga kasih dan martabat.
Hingga damai tanpa lewat kebencian
Bertahta tanpa harus menginjak-injak
Dan duduk tanpa harus merebut kursi.
Terima kasih.
Selamat Ulang Tahun Sumeksku.
Semoga jaya bersamamu.
Drs Ismail Djalili
Tanpa Pejuang, Sumeks
Tidak Ada Apa-apanya
Harian Sumatera Ekspres (Sumeks), memang luar biasa. Keberhasilan Sumeks menembus ruang dan waktu, patut dijadikan tauladan. Ada beberapa sisi yang bisa kita cermati, terutama detik-detik membangun Sumeks hingga besar seperti sekarang ini. Memang tidak sederhana seperti ditulis saudara kita Triyono Junaidi (Teje), yang merupakan wartawan paling muda era Sumeks bersama Surya Persindo dan salah satu perintis dalam era Jawa Pos Group bersama Anto Narasoma.
Ketika saya menghadiri pelantikan pengurus PWI di Griya Agung Maret 2009 lalu, Penulis buku ini langsung menemui saya dan bercerita mengenai perkembangan pers dulu dan sekarang. Penulis lantas meminta saya memberi tanggapan mengenai buku Sejarah Sumeks.
Seperti saya bilang tadi, Sumeks memang luar biasa. Kemajuannya sangat cepat, bahkan terus berkembang membangun jaringan koran-koran di daerah tingkat II kota Kabupaten. Ini sebuah era baru yang menghendaki informasi datang lebih cepat. Selain membuat koran sesuai dengan karakter daerah di Sumsel ini, juga merupakan gebrakan yang sangat cerdas dan mampu memosisikan sebagai sebuah koran dengan pendekatan emosional pembaca.
Sejak 1 Juni 1995, saya ingat betul, manajemen Sumeks benar-benar serius membenahi manajemen keredaksian dan lain-lain. Calon wartawan serta karyawan diberikan pelatihan dalam bidang redaksi dan manajemen, agar mereka mengenal bisnis dan jurnalistik di kantor Jawa Pos Surabaya dalam 15 hari.
Kesejahteraanpun meningkat baik bagi dirinya dan wartawannya. Tahun 2000 Saat Sumeks melancong ke Malaysia, saya menemui Alwi R Pandita (almarhum) beserta keluarga dan rombongannya di hotel Intiana Kuala Lumpur. Beliau berkata “ Kau masih di sini kapan tamat, sekolah terus, dan dimano tempat kuliah itu?’’ saya jawab tolong do’a mungkin sebentar lagi, kampusnya agak jauh dari hotel ini.
Sumeks setelah terbit kembali jadi harian, Wak Alwi (saya selalu menyebut) merasa senang dan berharap tetap terbit. Kini Kelompok Sumatera Ekspres bukan hanya suratkabar, tapi perusahaan multi bisnis. Secara tidak langsung koran ini mengajarkan masyarakat Sumsel mengenal lebih dekat Sumsel, dunia periklanan, menumbuhkan minat baca, minat beli, dan menjadikan Sumeks sebagai media komunikasi antara masyarakat Sumsel dan luar Sumsel. Disisi lain Sumekspun telah memberikan pelayanan masyarakat yang cukup baik. Masyarakat memilikinya.
Saya setiap tahun mengajak mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi berkunjung ke koran ini dan diterima langsung beliau dengan pintu terbuka. Salah seorang tokoh penerbitan harian untuk Palembang dialah orangnya, saya kenalkan kepada mahasiswa. Dengan majunya Sumeks secara tidak langsung membawa manfaat bagi diri saya pribadi dan lembaga tempat saya mengajar. Mahasiswa dapat melihat langsung kerja jurnalistik, proses pencetakan koran, alat cetak, teknologi komputer, dan cara pelayanan personil Sumeks yang kekeluargaan. Semuanya berkat wak Alwi yang dengan ikhlas menyerahkan manajemennya kepada Jawa Pos. Tanpa tuntutan ini dan itu. perjuangannya menjadi nyata.
Alwi selalu ingin memajukan wartawannya, dia berpesan urusi wartawan Sumeks yang kuliah tempat kau. ( maksudnya di Stisipol Candradimuka Palembang). Dia juga selalu mengontrol wartawannya untuk menjadi anggota PWI dan membayarkan iurannya. Tahun 2002 saat saya tamat S3, sayapun mengucapkan terima kasih kepada keluarga Sumeks. Dengan bergurau saya mau melamar kerja di Sumeks, dan dengan tegas dia menolak dan berkata “Aku dak sanggup bayar kau yang tamatan sekolah itu. Aku ini dak makan sekolah,” ujar Wak Alwi saat itu.
Terakhir, 12 Desember 2004 saya ketemu beliau beserta istrinya di pesta pernikahan anak wartawan H. Asdit Abdullah, dan hanya bilang, Hei…kau, ketika menyalaminya. Rencana Libur Natal akan bezuk di RK Charitas, tapi 24 Desember beliau (68 th) telah berpulang kepangkuan Illahi. Inalillahi Wa Ina Illaihi Rojiun.
Kita tidak bisa lupa, Sumeks ada karena berkat perjuangan beliau dan teman-temannya yang lain. Tanpa mereka, Sumeks tidak ada apa-apanya. Bahkan tidak ada sebutan koran terbesar di Sumbagsel atau raksasa koran daerah…
http://bukuteje.blogspot.com/2009_02_01_archive.html
PENULIS:
T Junaidi
Sejarah Harian Sumatera Ekspres &
15 Tahun Bersama Jawa Pos Group
Detik-Detik
Menegangkan
di Ruang Redaksi
----------------------------
Lay out & Artistik : T Junaidi dan Hellendri
Fotografer : H Dulmukti Djaja
Penerbit : PT Citra Bumi Sumatera
Percetakan : JP Book
----------------------------------------------------------------------------
I. Kata Pengantar H Suparno Wonokromo (CEO Jawa Pos Indonesia Timur)
II. Pengantar (Penulis, T Junaidi)
III. DAFTAR ISI
1. Negosiasi Buntu, Hanya Ada Satu Kata MOGOK!
2. Ya Wartawan, Ya Sirkulasi, Ya Advertising
3. ’Hoki’ Era Reformasi
4. Kantor Terburuk di ’Dunia’, Kini Gedung Graha Pena
5. ’Embrio’ Sumeks Menjelma Gurita
6. Sumeks Juara I Perwajahan Jawa Pos Group
7. Wajah Media Cermin Manajemen Redaksi
IV. CATATAN HARIAN - Dari Titik Nol
8. Muntako BM, Jual Kursi untuk Selamatkan SIUPP Sumatera Express
9. Fotografer Gaek H Dulmukti Jaya, Tak Mau Diangkat Jadi Karyawan
10. Mahmud, Bangkit dari Kehancuran Masa Lalu
11.Yunita Ayu, Menghitung Tepat, Angka Peruntungan
V. SEJARAH Sumatera Ekspres
12. Hanya Modal Nekad
13. Rapat Terakhir Surya Persindo Group
’Sumeks Tidak Bisa Diselematkan’
VI. MEREKA DIBALIK SUKSES SUMEKS GROUP (Jawa Pos)
14. Sang Inovator itu, Suparno Wonokromo
15. Helmy Mattury, Bertahan Sampai ke ’Pulau Harapan’
16. Alwi Raden Pandita, Sekali Berjuang Setelah itu...
VII. CATATAN TERCECER (Pengalaman Tak Terlupakan)
17. Terbang Seperti Burung, Bebas Ambil Foto Udara
18. Terjebak Wawancara Ekslusif
19. Memasuki Pulau Mayat
20. Ditelanjangi di Bandara Capital International Beijing
VIII. LENSA PERISTIWA
PERJALANAN KARYAWAN DAN WARTAWAN SUMATERA EKSPRES GROUP
22. MALAYSIA
23. SINGAPURA
24. THAILAND
25. CHINA
26. EROPA
IX. MEREKA BICARA:
28. Ketua PWI Sumsel H Oktaf Riyadi
29. Tokoh PERS Sumsel H Ismail Djalili
30 Wartawan Senior Ajmal Rokian
31. Wartawan Senior Sumsel Rapanie Igama
31. Wartawan Senior Tarech Rasyid
32. Sastrawan Budayawan Anwar Putra Bayu
33. Pengamat Hukum dan Politik Prof Amzulian Rivai
34. Praktisi Akademisi.............
35. Mahasiswa.........................
36. Pelajar ..............................
37. Tokoh Pendidikan .............
------------------------------------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Sumeks Tidak (akan pernah) Mati--Membaca kalimat ini, memaksa kita untuk mengerutkan kening, karena agak sedikit membingungkan. Harian Sumatera Ekspres (Sumeks) merupakan bagian dari obyek yang sedang kami angkat ke tengah-tengah pembaca. Sumeks memang tidak akan perna
h mati meskipun berkali-kali mengalami nasib buruk, jatuh bangun dan sempat ‘mati suri’. Termasuk awak redaksinya yang sempoyongan memanggul beban psikologis yang sangat berat, terutama misi penyelamatan Sumeks yang saat itu terbit senin-kamis (baca; menderita) pada dekade 1960 hingga 1990 an.
Kami merasa perlu mengupas sejarah Sumeks secara umum agar pembaca lebih memahami bagaimana sepak terjang Sumeks menggapai kesuksesan seperti sekarang ini. Kami bukan bermaksud membanggakan sebuah primordial atau masa lalu Sumeks, sebab masa lalu hanyalah sebuah proses, dan tidak perlu disetting mundur untuk diratapi, tetapi kami ungkap sebagai bagian dari sebuah sejarah agar generasi sekarang dan mendatang lebih memahami sebuah era yang berbeda. Yang pada gilirannya dapat dijadikan acuan untuk menata masa depan lebih baik bagi wartawan generasi baru di dunia persuratkabaran.
Mungkin, beberapa tahun silam, kematian Sumeks dipicu oleh situasi yang sangat kompleks, yaitu negeri yang baru membangun, situasi yang mendukung untuk mati, serta dipicu oleh kemiskinan penerbitnya. Ongkos mencetak koran bukanlah perkara sepele, tapi perkara yang sangat serius, termasuk didalamnya upaya mensejahterakan karyawan dan wartawannya. Bisa dipahami di era 60 hingga 90an, daya beli masyarakat masih sangat rendah. Tingkat pendidikan masyarakat juga mempengaruhi keberadaan koran lokal saat itu. Orientasi bisnis mungkin bisa dikesampingkan, karena pers saat itu berorientasi pada pers perjuangan, menjunjung semangat idealisme dan sebagai obor masyarakat, meski dirinya terbakar oleh api semangatnya sendiri.
Bagaimana sebuah penerbitan pers bisa untung kalau daya beli masyarakat sangat minim, begitu juga periklanan. Tentu ini akan berpengaruh pada keberlangsungan dan eksistensi koran itu sendiri.
Memasuki era teknologi internet, media online, facebook dan blogger, eksistensi koran juga diramalkan bakal menemui ajalnya. Kami mengedepankan Sumeks sebagai barometer, karena mewakili sebuah sejarah koran lokal Sumsel yang berhasil keluar dari lembah derita, masuk ke lembah teknologi dan industri seperti sekarang ini. Tapi ternyata kematian koran Sumeks itu tampaknya di-cancel (batal) terjadi, karena bisnis surat kabar tiba-tiba bangkit kembali di hampir seluruh kawasan di dunia ini.
Secara umum, koran masih bernapas panjang. Itulah setidaknya hasil satu studi yang disampaikan pada konferensi ke-60 Asosiasi Suratkabar Dunia (WAN) dan sidang ke-14 Forum Editor Dunia (WEF) di Cape Town Maret 2008 lalu. Konferensi yang dihadiri sedikitnya 1.600 editor dan eksekutif media dari seluruh dunia itu, malah melahirkan semangat baru, yakni seperti diyakini, Rohman Budijanto, Pemimpin Redaksi koran Jawa Pos (Induk Sumeks Group), ketika rapat koordinasi seluruh Redaktur Pelaksana (Redpel) se-Jawa Pos Group di Batam awal tahun 2008 lalu.
Menurut Rohman, selagi industri surat kabar mampu menyiasati persoalan dimuka bumi ini dan menarik minat pembaca, selama itu pula surat kabar akan bernafas panjang.
Dan Sumeks berada di bawah payung Jawa Pos telah melakukan itu sejak terbit 1 Juni 1995. Memang, isu tentang kematian surat kabar di era digital ini sempat membuat Pimred jaringan Jawa Pos harus merapatkan barisan untuk menyatukan persepsi. Faktanya justru bertolak belakang, hampir seluruh koran jaringan Jawa Pos Group tetap solid bahkan tumbuh subur dalam hal penjualan ataupun langganan. Optimisme akan tetap tumbuhnya bisnis surat kabar ditunjukkan oleh banyaknya penerbitan pers, baik secara nasional maupun internasional, bahkan didaerah-daerah tingkat II juga menunjukkan optimisme yang tinggi.
Group Sumeks sendiri di wilayah Sumel berjumlah 16 koran, mulai wilayah Palembang maupun daerah tingkat II-- semuanya memiliki segmentasi pasar tersendiri.
Semakin menguatnya media digital malah mendorong media cetak yang bagi mayoritas pembaca dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari sumber informasi mereka.
Timothy Balding, CEO Asosiasi Surat Kabar Dunia, punya pandangan yang sama, di beberapa negara sedang berkembang, pasar surat kabar bahkan meningkat dengan mantap. Balding mengemukakan berbagai fakta bahwa bisnis surat kabar kini menjadi lebih bergairah, termasuk di negeri maju yang masih menunjukkan pertumbuhan sirkulasi. Balding tentu tidak melakukan suatu pembelaan sekaligus pembenaran terhadap kenyataan industri media cetak. Tapi itulah gambaran yang nyata bahwa surat kabar di Indonesia menunjukkan kebangkitan kembali.
Pada 2004, dalam konferensi Asosiasi Surat Kabar Dunia di Istambul, Turki, kekhawatiran serupa juga mencuat ketika booming kedua bisnis online mendera berbagai wilayah di muka Bumi. Ketika itu, logika berpikir kita lebih simple bahwa orang akan lebih gampang memelototi komputer lalu klik situs internet yang diinginkan. Artinya, dalam berpikir praktis, koran mati saat itu juga.
Karenanya, menurut Pimred Jawa Pos, koran tetap memiliki kekuatan dan peran di masyarakat. Agar koran tetap menjadi bagian media informasi paling simple di masyarakat, harus punya beberapa terobosan, antara lain melakukan re-design dan restrukturisasi total terhadap koran yang dikelola. Isu itulah yang membuat semua perusahaan media cetak-termasuk di Indonesia dan daerah ramai-ramai melakukan pembenahan termasuk ukuran halaman broadsheet (halaman kecil ala Amerika) dan lebih praktis. Group Jawa Pos jauh lebih dulu memikirkan itu sebelum orang ramai mengganti perwajahan dan dominasi foto. Ini merupakan siasat zaman televisi, internet, blogger, facebook dan system online lainnya.
Media cetak akan tetap eksis melalui penyajian reportase yang lebih mendalam, lebih banyak informasi yang berhubungan langsung dengan kehidupan para pembaca, lebih menarik penampilannya dan mengedepankan proximity berita (kedekatan dengan pembaca).
Perubahan dalam industri media bukanlah alamat menuju lembah hitam surat kabar, melainkan perubahan peran media itu sendiri menuju ruang dan waktu. Tidak ada media yang ’membelenggu’ media lainnya, karena memiliki pangsa pasar yang berbeda. Anggapan bahwa Internet, online serta blogger menghancurkan surat kabar ternyata tidak terbukti. Keduanya memiliki segmentasi dan dinding pembatas yang berbeda.
Jadi, inilah saatnya bagi pengelola surat kabar untuk memutuskan ingin hidup seribu tahun (meminjam istilah sastrawan Khairil Anwar) atau menuju lembah kematian. Sumeks telah memiliki itu semua, baik cetak maupun online. Dan tidak ada salahnya berkomparasi pada suatu sejarah, bahwa kesuksesan Sumeks sempat tertunda. Saat ini adalah pijakan menuju masa depan dan membangun masa depan dengan menatap lebih jauh ke depan, bukan bangga dengan romantisme masa lalu.
Selamat membaca!
Penulis, T Junaidi
---------------------------------------------
PENGANTAR DAHLAN ISKAN
Ketika saya menyetujui pemikiran beberapa teman di Jawa Pos Group untuk “masuk” ke Palembang, saya tidak menaruh banyak harapan. Di Palembang saat itu sudah ada Koran harian yang sangat dominan: Sriwijaya Post. Tidak mungkin lagi bersaing dengan Koran itu. Dia sudah 10 langkah di depan. Terlalu berat untuk mengejarnya. Modal besar saja tidak cukup untuk membuat sebuah koran itu maju. Modal besar sering hanya sia-sia. Hanya buang-buang uang.
Karena itu ketika saya menyetujui untuk “masuk” Palembang, saya sudah menyatakan tidak akan mau menanamkan modal besar. Modal terbesar yang saya sediakan adalah network, system manajemen dan semangat. Kalau teman-teman menyetujui syarat dari saya itu silakan saja.
Saya masih menambahkan satu syarat lagi: tidak boleh punya ambisi untuk cepat besar. Ambisi yang kelewat besar hanya akan bikin frustrasi. Harus disadari sepenuhnya bahwa Sriwijaya Post tidak mungkin disaingi lagi. Saya kemukakan kepada tim manajemen yang ke Palembang agar siap-siap tidak sejahtera selama 20 tahun! Rasanya teman-teman generasi pertama Sumatera Ekspres di bawah manajemen Jawa Pos masih ingat penegasan saya itu. Saya juga sudah tegaskan bahwa Sumatera Ekspres akan terus mengalami kerugian kira-kira sampai 20 tahun. Karena itu jangan membuat rugi yang besar setiap tahun. Ruginya kecil-kecil saja agar masih bisa ditanggung oleh grup.
Akibat kebijaksanaan agar “ruginya kecil” saja itu, maka manajemen tidak bisa membuat banyak program. Biaya harus kecil. Cetak koran harus sedikit saja. Agar tidak perlu membeli kertas banyak-banyak. Pemasaran juga tidak perlu agresif. Kantonra juga sederhana saja. Jangan memerlukan investasi yang besar.Yang diperlukan adalah kerja keras: membuat produk yang bagus, memasarkan koran dengan militant dan mencari iklan yang gigih. Itulah sebabnya semua karyawan juga menjadi tenaga marketing. Termasuk karyawan redaksi.
Kami merencanakan agar Sumatera Ekspres biarpun koran kecil tapi bermutu. Juga harus dijaga agar terbit teratur dan selalu harus lebih pagi. Ibarat lomba lari saya ingin menciptakan suasana lomba marathon. Bukan sprint 100 meter. Untuk lomba marathon yang diperlukan bukan lari dengan cepat, namun lari dengan konstan, stabil dan dengan nafas yang panjang. Sumatera Ekspres, dengan posisinya sebagai Koran yang jauh di bawah Sriwijaya Post, harus menyiapkan diri untuk lomba marathon itu.
Maka dalam perjalanannya Sumatera Ekspres tidak pernah memeprhitungkan Sriwijaya Post. Maksus saya: tidak pernah memperhatikan Sriwijaya Post melakukan apa saja. Kami hanya sibuk dengan diri sendiri dan harus hanya memperhatikan kondisi tubuh sendiri. Kalau kami terlalu memperhatikan pelari yang sudah jauh di depan, bisa-bisa mental kami jatuh. Lalu putus asa. Kami tidak mau teman-teman di Sumatera Ekspres terjebak dalam situasi itu.
Jangankan memperhatikan pihak lain. Diri kami sendiri saja masih amburadul. Bahkan akhirnya manajemen kami yang pertama harus berganti dengan yang baru: Suparno Wonokromo. Dia adalah wartawan Jawa Pos di Jakarta. Dia ini orangnya kecil, tapi hatinya besar. Langkahnya pendek tapi pikirannya panjang. Apalagi hatinya: mulia.
Suparno memimpin manajemen Sumatera Ekspres dengan hati yang lapang, pikiran yang positif dan kerja dengan amat keras. Sejak dipegang Suparno suasana kerja menjadi amat kondusif. Lalu mesin-mesin perusahaan berputar sesuai dengan fungsinya. Putaran mesin kian lama kian cepat. Suparno, anak desa pelosok Ngawi itu, bisa menjadi oli yang baik bagi mesin Sumatera Ekspres yang bergerak cepat.
Di tangannyalah Sumatera Ekspres memperlihatkan eksistensinya. Meski masih tetap kecil, tapi Sumatera Ekspres sudah bisa disebut Koran yang baik. Bahwa saat itu belum bisa besar, benar-benar karena menunggu waktu saja. Dengan pengelolaan yang baik itu saya pun kian optimistis. Gambaran yang semula baru akan baik dalam 20 tahun, mungkin akan bisa lebih cepat.
Suparno rupanya bukan hanya mampu, tapi juga diberkahi Tuhan. Tanpa disangka-sangka harian Sriwijaya Post berhenti terbit. Kabarnya ada masalah intern yang tidak bisa diselesaikan. Tentu Sumatera Ekspres tiba-tiba menjadi besar. Saya tidak bisa memungkiri bahwa kebesaran Sumatera Ekspres antara lain karena mendapatkan “durian runtuh” itu. Tapi kalau saja saat itu sumatera Ekspres belum menjadi Koran yang baik, “durian” itu tidak akan runtuh ke sini. Maka harus diakui bahwa durian itu memang runtuh, tapi juga harus dicatat bahwa Suparnolah yang membuat Sumatera Ekspres layak mendapat durian runtuh itu.
Apakah kami menyambut durian runtuh itu dengan suka cita? Mungkin anggapan orang seperti itu. Tapi kami sendiri tidak. Kami selalu percaya bahwa berhenti terbitnya Sriwijaya Post hanyalah dalam hitungan hari. Kalau masalah sudah selesai pasti akan terbit lagi. Karena itu kami tetap mendoktrinkan agar tidak usah menyambut lowongan pasar itu dengan gegap gempita. Nanti bisa celaka. Kalau tiba-tiba Sriwijaya Post terbit lagi, bisa-bisa justru akan jadi boomerang.
Sikap kami waktu itu adalah tetap saja memikirkan diri sendiri. Bahwa agen-agen minta tambahan jatah, kami hanya melayaninya dengan batasan yang ketat. Tidak obral atau memanfaatkan aji mumpung. Namun memang sungguh di luar dugaan kami. Beberapa hari kemudian Sriwijaya Post tetap belum terbit. Bahkan beberapa minggu berikutnya. Beberapa bulan dan bahkan tahun. Baru … tahun kemudian, ketika Sumeks sudah sangat eksis, dia terbit lagi.
Saya sangat bangga pada teman-teman di Palembang. Bahkan ketika propinsi sumsel meraih kemajuan pesat, Sumeks juga berlari kencang. Dalam grup Jawa Pos yang sudah memiliki lebih 120 koran harian, kelompok Sumeks adalah salah satu yang terbesar. Sumeks, dari segi skala usaha, sudah mengalah banyak koran Jakarta. Saya bisa tegaskan di sini bahwa Sumeks ini di tahun 2009, sudah jauh lebih besar dari TEMPO Group di Jakarta. Mungkin sudah tiga kali lipatnya.
Saya memang punya kebijaksanaan agar segala kemajuan di daerah harus untuk mengembangkan daerah itu. Sistem keuangan kami tidak tersentralisasi. Uang di Sumeks tidak ditarik ke pusat sama sekali. Dia harus dipakai untuk mengembangkan diri sekuat-kuatnya di Sumsel. Siapa pun orang Sumeks yang ingin maju harus didorong untuk maju. Yang muda-muda harus tampil. Kemampuan yang muda-muda itu harus ditingkatkan dengan cara memberikan kepercayaan untuk mencoba posisi yang lebih tinggi.
Karena itu tidak heran bila Sumeks kini sudah membawahkan….koran di seluruh Sumbagsel: Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung dan bahkan meloncat ke beberapa kota di Jawa Barat. Semua diperbolehkan. Tidak ada kemajuan yang ditahan-tahan. Kuncinya harus mampu dan bisa dipercaya. Begitu menyelewengkan kepercayaan itu hilanglah kesempatan baginya. Saya bangga semua teman di palembang bisa sangat amanah atas kepercayaan tersebut.
Saya –tidak pura-pura—sebenarnya sudah tidak banyak tahu lagi perkembangan Sumkes. Saya hanya tahu garis besarnya saja. Bahwa Sumeks sudah punya stasiun TV –bahkan sampai di jambi dan Lampung—saya baru tahu ketika TV itu sudah mulai siaran. Saya bukan direksi atau komisaris di Sumeks. Saya hanya dianggap sebagai yang dituakan. Saya tidak berhak lagi mengangkat siapa menjadi apa. Saya hanya mendapat satu posisi saja di sini: berhak memberhentikan siapa saja yang dianggap tidak amanah.
Saya senang saudara Teje menulis buku ini. Dialah yang menjadi saksi apa yang terjadi di Sumeks bahkan sejak sebelum era Jawa Pos. Saya tidak memberikan arahan atau koreksi terhadap buku ini. Apa pun yang Teje tulis itulah yang dia lihat dan dia rasakan.
Saya juga memuji buku ini dari caranya menulis dan caranya mengatur aliran cerita. Teje memang termasuk wartawan yang seniman, atau seniman yang wartawan.
Dahlan Iskan
CEO Jawapos Group
PENGANTAR H SUPARNO WONOKROMO
Asli Perjalanan Sumeks
Saya menyambut gembira dengan terbitnya buku tentang perjalanan Harian Sumatera Ekspres (Sumeks) pada peringatan HUT Sumeks yang ke-15 pada 2010. Buku ini ditulis oleh wartawan Sumatera Ekspres, Triyono Junaidi, Anto Narasoma, dan dibantu dengan teman-teman wartawan lainnya. Tentu saja dibantu M Azhari (korektor), Helendri (Layouter) Sirojudin sebagai grafis Sumeks dan Dukmukti Djaja sebagai fotografer Sumeks. Tulisan ini tentu saja berdasarkan pengalaman mereka sebagai wartawan Sumeks yang merasakan sejak era jatuh bangun, era perjuangan, dan era kemajuan seperti sekarang ini.
Supaya tulisan di buku ini asli, saya memang sengaja tidak ingin intervensi masalah isinya. Dengan demikian bagaimana peran saya di Sumeks seperti yang ditulis dalam buku ini murni penilaian teman-teman wartawan dan karyawan. Dan saya juga ingin tahu seperti apa teman-teman melihat peran saya di Sumeks yang sesungguhnya. Karena kalau saya intervensi tentu nanti isi buku ini akan melebih-lebihkan peran saya dan ini tidak baik karena buku ini bukan otobiografi saya. Dan kalau saya ingin peran yang utuh versi saya tentu saya nanti akan menulis buku tersendiri.
Untuk menulis buku ini apa adanya salah seorang penulis memberitahu saya kalau ketika saya marah-marah kepada wartawan atau karyawan di era perjuangan dulu akan ditulis apa adanya. Saya persilakan menulis apa adanya dan saya tidak akan tersinggung. Bahkan misalnya dalam tulisan buku ini menyebut tentang saya yang jelek-jelek di saat saya mulai memimpin Sumeks sejak Juli 1995 saya pun tidak keberatan. Bahkan saya minta keadaan kantor Sumeks yang lama, kantor redaksi yang ada waktu itu agar bisa dimuat sebagai bagian dari perjalanan sejarah Sumeks.
Saya setuju buku tentang Sumeks ini ditulis utuh apa adanya karena di Sumeks sekarang ini sudah banyak generasi baru yang pemahamannya tentang Sumeks belum tentu mereka tahu. Oleh karena itu, buku ini sangat bermanfaat untuk teman-teman generasi baru Sumeks, relasi iklan atau mitra kerja Sumatera Ekspres. Yang utama tujuan diterbitkannya buku tentang Sumeks tersebut untuk kepentingan keluarga besar dan mitra kerja baik yang di Palembang maupun di luar Palembang.
Tetapi kalau ada masyarakat umum yang menginginkan buku tentang Sumeks ini kalau cuma sedikit bisa diberikan cuma-cuma. Tetapi kalau peminatnya banyak kami akan mencetakkannya tetapi dengan catatan harus mengganti ongkos cetak. Sekali lagi kami tidak punya keinginan menjual buku tentang Sumeks tetapi kalau di luar keluarga besar dan mitra kerja ada yang menginginkan dalam jumlah agak banyak terpaksa kami minta ganti ongkos cetak.
Demikian pengantar saya tentang buku ini dan selamat membaca.
Palembang, Juli 2009
Suparno Wonokromo
CEO Jawa Pos Sumbagsel
Negosiasi Buntu
Hanya Ada Satu Kata
MOGOK!
Menembus ruang batin pembaca Harian Sumatera Ekspres (Sumeks), bukanlah perkara ‘bim salabim’ membuka telapak tangan dengan mudah, tetapi melalui proses panjang dan menegangkan. Pada dekade 1995, tepatnya sejak Harian ini terbit pada 1 Juni 1995 hingga hampir setahun dibawah payung Jawa Pos Group, pembaca Sumeks masih sulit diprediksi, lantaran segmen pembacanya juga belum jelas. Selain itu, kompetitor Sumeks sudah lebih dulu mengakar dihati pembacanya. Praktis Sumeks berjalan limbung seperti tubuh tak bertulang, keropos, tanpa kekuatan apa-apa.
Waktu terus merangkak. Biaya produksi terus digenjot. Sementara pemasukan dari sektor advertorial / iklan sangat minim. Kondisi seperti ini sangat berpengaruh pada keberlangsungan koran Sumeks untuk men-sejajarkan diri dipasaran koran lokal dan nasional.
Merumuskan jurus-jurus jitu menembus ruang batin pembaca, hampir selalu mengalami jalan buntu. Dari segi persentase dan segmentasi pembaca, rubrikasi berita dan kepercayaan, koran Sumeks ibarat ‘jauh panggang dari api’. Selalu hadir tanpa sasaran jelas. Jangankan disuruh beli, dikasih gratis saja, koran sumeks tidak dibaca orang. Apa yang salah dari koran Sumeks? Pertanyaan seperti ini selalu membayangi para redaktur dan wartawan ketika melakukan rapat proyeksi dan rapat budgetting berita.
Para pejuang Sumeks tak mengenal kata lelah melakukan gereliya menanamkan kepercayaan dan membangun image, meski harus dibayar dengan perasaan hancur dan menangis dalam hati. Bahkan hampir semua jajaran, baik redaksi, pemasaran dan iklan sudah all out melakukan terobosan ke agen-agen, namun para agen dengan enteng mengatakan ‘’Maaf pak, Sumeks gak laku. Bawa sepuluh eksemplar masih tetap utuh,’’ kata si agen.
Kami para devisi pemasaran dan redaksi terpaksa kembali ke kantor dengan sejuta perasaan gundah dan berlinang air mata. Esok harinya giliran para komandan dan para pejabat Sumeks ‘turun gunung’ dan menjual langsung koran Sumeks eceran di perempatan jalan. Bagaimana hasilnya? Masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Betapa sulitnya kami meyakinkan pembaca untuk sekedar membuka-buka halaman, lalu membacanya. Kami sadar, ternyata kami masih seperti berjalan tanpa menginjak bumi, artinya kami belum sepenuhnya mampu memahami taste dan selera pembaca di wilayah Sumsel. Dan Sumeks (1995) belum bisa memosisikan sebagai bacaan pilihan masyarakat Sumsel.
Sebagai koran nomor dua setelah kompetitor yang saat itu diposisi aman dengan tiras 40.000 eksemplar, sudah pasti Sumeks hanya mendapat sisanya. Kami dengan susah payah mengumpulkan sisa-sisa pembaca dari perempatan jalan Simpang Polda, Simpang Charitas, Simpang Patal, pasar-pasar tradisional dan daerah-daerah kota pinggiran. Kami merasa sulit bertahan dengan oplah sekitar 2.500 eksemplar.
Melihat kondisi oplah Sumeks yang tidak pernah merangkak naik, membuat kru Sumeks, baik redaksi, pemasarann, dan iklan, merasa empot-empotan. Stres berat selalu mengiringi lembaran dari hari ke hari. Rasa ketidakpercayaan diri mulai menjangkiti awak redaksi. Sumeks mau diteruskan atau bunuh diri dengan beban biaya produksi yang sangat tinggi? Sementara oplah juga sulit bergerak menuju angka 3.000 eksemplar pada edisi satu tahun 1995-1996.
Hampir memasuki tahun pertama, Sumeks masih sulit merebut hati pembaca dan pemasang iklan, hingga kru kita benar-benar putus asa dan frustasi. Mahmud (pimred sekarang) dulu sempat ditugaskan ke Lubuk linggau sebagai wartawan daerah dengan fasilitas dan akomodasi yang benar-benar sangat kurang. Biaya hidup juga terasa cekak, lantaran gaji masih sangat kecil. Dan itupun hampir dirasakan setiap wartawan kita di daerah. Tak lama kemudian Mahmud harus meninggalkan tempat tugas (Linggau) dengan perasaan 'putus asa' dan akhirnya memilih hengkang dari ruang redaksi ke percetakan.
Ruang redaksi bak tungku yang membara, yang membuat orang kegerahan. Tapi apakah kita harus mundur sebelum benar-benar kalah di medan perang? Sementara redaksi masih kekurangan personil untuk tugas-tugas liputan. Tak ada jalan lain, sejumlah wartawan daerah akhirnya ditarik untuk memperkuat staff redaksi di Palembang (kantor pusat). Anwar SY Rasuan (sekarang Manager Umum dan Personalia), dulu ditugaskan ke Lahat, terpaksa ditarik ke pusat untuk memperkuat staff redaksi. Sedangkan Muntako BM (sekarang mengelola koran baru Ogan Ekspres) dan Abdul Aziz (sekarang di Radar Palembang) terpaksa tugas rangkap di devisi pemasaran sekaligus memperkuat redaksi. Sedangkan Toni Emelson dan Rosidi tetap sebagai pioner pemasaran. Sejumlah wartawan daerah lainnya juga menunggu giliran untuk ditarik ke pusat, meskipun pada akhirnya mereka banyak yang tidak tahan dan berguguran satu per satu (keluar dari redaksi). Semuanya lelah dan sempat kehilangan semangat juang.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, tampuk pimpinan pun goyah setelah hampir empat bulan berjalan tertatih-tatih antara hidup dan mati. Darul Farokhi, sang komandan redaksi sekaligus General Manager (GM) Sumeks 1995, terpaksa harus ‘balik kanan’ menuju markas besar (Mabes) Graha Pena Surabaya (kantor pusat Jawa Pos Group) dan digantikan Suparno Wonokromo, sekaligus merangkap pemimpin Harian Semarak Bengkulu.
Masa-masa transisi inilah yang membuat suasana redaksi seperti kehilangan arah. Isu mosi tidak percaya terhadap pemimpin redaksi baru (Suparno Wonokromo) semakin panas. Bahkan sebagian awak redaksi melakukan penggalangan aksi mogok kerja bila Pak Alwi Raden Pandita (almarhum, yang saat itu sebagai pemimpin umum) mengijinkan Suparno ‘mengobrak-abrik’ ruang keredaksian.
Malam Minggu, 15 Agustus 1995 (menjelang perayaan HUT RI), salah seorang staf redaksi, Dahri Maulana yang ditunjuk Dahrul Faroki sebagai Ketua Presidium (pemimpin rapat redaksi), secara tersirat mempertanyakan hadirnya Suparno Wonokromo yang belum dikenal itu. ‘Sang presidium’ kawatir dengan ikut campurnya orang lain yang belum mengenal situasi Sumsel, bisa membuat Sumeks semakin sulit berkembang. Bukan tanpa alasan dia mempertanyakan jati diri Suparno yang mau tampil sebagai ‘juru selamat’ Sumeks itu, karena Dahri lebih mencintai Sumeks sebagai bagian dari hidupnya. Kabar pergantian pemimpin baru tidak langsung dipercayainya dan bukan berarti lantas membencinya. Hanya cara mencintai Sumeks yang berbeda dengan teman-teman lainnya, terkesan agak over memang.
‘’Siapa Suparno itu. Dia kan pemimpin redaksi Semarak, yang korannya tak jauh beda dengan Sumeks?’’ ujarnya di depan sebagian awak redaksi. ‘Sang presidium’ pun menyatakan akan mundur bila Suparno benar-benar bergabung di Sumeks. Dan ternyata benar, ‘Sang presidium’ secara ‘gentelman’ harus membayar mahal pernyataannya itu dengan hengkang secara ‘terhormat’ dari ruang redaksi. Penulis memahami betapa beratnya perasaan sang Presidium memanggul beban psikologis terhadap Sumeks yang sudah dicintainya itu. Karena Presidium ini juga bagian dari staff redaksi yang dikirim oleh almarhum Alwi R Pandita ke Jawa Pos untuk belajar manajemen keredaksian. Dahri merupakan staf susulan setelah sebelumnya beberapa staf redaksi, yaitu Anto Narasoma, T Junaidi (Teje), Hilda Safitri (Mbak Ipit), Dwitri Kartini (Mbak Wiwik), Trismiati, Anwar Bangsawan, dan Sardinan Delisep sudah lebih dulu berada di Graha Pena Surabaya.
Rasa cinta dan sayang ini membuat sang presidium dihadapkan pada dua pilihan berat, tetap bergabung dengan prinsip dan pandangan yang berbeda atau mundur secara terhormat. Dan keputusan yang terakhir ini, mungkin sebuah keputusan bijak dan bermartabat dibanding dipecat secara tidak hormat.
Sementara kru redaksi lainya tidak mengikuti langkahnya. Mereka merasa tidak punya ambisi apa-apa di kantor. Boro-boro ingin jabatan pemimpin ini itu dan lain-lain, memajukan koran Sumeks ke tengah-tengah pembaca saja sangat berat. Lupakan ambisius jabatan!
Tak diduga, langkah ‘Sang Presidium’ ini justru diikuti oleh sebagian besar kru pra cetak. Ini merupakan langkah ekstrim yang ditempuh awak pracetak yang notabene bekerja sesuai dengan order redaksi. Detik-detik yang sangat sulit bagi redaksi untuk melakukan negosiasi dengan pracetak. Devisi pracetak mogok, sama saja redaksi berjalan tanpa kaki. Sebab pracetak merupakan bagian dari devisi redaksi yang sangat vital sebelum koran Sumeks dicetak. Anwar SY Rasuan dengan cepat mengambil langkah penyelamatan dan mengangkat dirinya sendiri sebagai redaktur pelaksana (Redpel) sementara yang dibantu Muntako BM sembari menunggu komando Suparno yang saat itu berada di Batam.
Melihat situasi darurat seperti itu, hanya ada dua pilihan—besok Sumeks bisa terbit atau mengulangi kegagalan seperti ketika kerjasama dengan Surya Persindo Group (1990-1992)? ‘’Besok Sumeks tetap terbit! Kalau kalian semua mau mogok kerja silahkan saja. Kalian keluar semua juga gak apa-apa. Tak ada yang perlu saya kawatirkan,’’ kata Suparno Wonokromo dengan nada penuh kemarahan sepulang dari Batam. Suparno benar-benar kaget melihat kenyataan ekstrim awak pracetak. Tanpa basa-basi, Suparno langsung memimpin redaksi Sumeks tanpa ada acara serah terima jabatan lama dan baru.
‘’Ingat, Sumeks dengan dua orang saja besok masih bisa terbit,’’ kata Suparno lagi dengan air muka merah padam. Style bicaranya meledak-ledak dan terkesan grusa-grusu. Suparno langsung melototi komputer dan mengedit berita-berita Jawa Pos News Network (JPNN : sekarang Jawa Pos National Network) untuk diterbitkan. Tapi sejumlah kru redaksi sempat mengerutkan kening, apa maunya Pak Parno ngotot Sumeks besok tetap terbit. Apakah Pak Parno tidak menyadari kalau devisi pra cetak mogok semua kecuali tinggal seorang yang bernama Hamka? Sementara ruang pracetak juga dikunci oleh kru pracetak yang mogok. ‘’Siapa yang bawa kunci. Cari tahu dan ambil segera!’’ kata Suparno di depan awak redaksi dengan berkacak pinggang setinggi (maaf) ketiak. Nadanya tak berubah, benar-benar marah. Hilda Safitri (Mbak Ipit), cepat melakukan koordinasi bersama Anwar SY Rasuan mengambil kunci ruang pracetak yang dipegang para pemogok itu.
Tak ada keraguan sama sekali, Suparno benar-benar nekad menerbitkan Sumeks dengan jumlah tenaga yang sangat minim. Tapi gerak-gerik Suparno yang agak ‘gelisah’ itu, membuat kru redaksi dengan terpaksa bekerja meskipun dalam keadaan tidak tenang. Konsentrasi kacau karena Suparno marah tanpa pandang bulu. Yang tidak salahpun kena sasaran. Bagaimana mau terbit, pracetak tinggal Hamka sendiri. Jelas ini sangat sulit. ‘’Mau tidak mau harus dilakukan!’’ tegas Suparno.
Nah, bisa dibayangkan, Hamka pun bekerja seperti robot bernyawa tanpa henti yang dibantu kru redaksi (penulis), yang saat itu sebagai wartawan kriminal yang ngepos di RSUP dan Poltabes Palembang. Kebetulan program Darul Faroki saat itu mencetak redaktur bisa melayout sendiri halamannya. Khusus hari Minggu, Hamka off (libur) digantikan penulis melay out halaman I sampai 12, sekaligus merangkap grafis artistic dan karikaturis.
‘’Saya nggak mungkin ikut mogok. Saya ini dulu dari Harian Fajar MMakasar, trus disekolahkan ke Jawa Pos. Oleh Pak Alwi Hamu saya disuruh milih diantara tiga koran group Jawa Pos yang saat itu terbitnya serentak, yaitu Sumeks Palembang, Independen Jambi, dan Kendari Pos Sulawesi Tenggara. Saya pilih Sumeks,’’ ujar Hamka. Disadarinya, meskipun tinggal sendirian, Hamka nurut apa kata Pak Parno bahwa besok terbit.
‘’Makanya meski tinggal saya sendiri, saya tetap kerja meskipun hasilnya tidak memuaskan,’’ kata Hamka lagi.
Pada penerbitan perdana pasca mogok pracetak akhir tahun 1995, Sumeks dicetak pada pukul 07.00 WIB hingga 09.00 WIB. Diawal pergantian pimpinan ini, redaksi Sumeks masih kacau dan terbitnya selalu kesiangan. Nah, bagaimana para agen dan pengecer bisa mendistribusikan Sumeks sampai ke tangan pembaca? Jawabnya tentu tidak mungkin bisa dijual. Tidak perlu lagi dibaca karena basi. Harus diakui memang, Sumek pada penerbitan perdana pasca mogok kerja pracetak, tak hanya carut-marut isinya, tetapi juga amburadul perwajahannya. Pembagian rubrikasi dan proximity berita juga lebih mengacu berita-berita dari JPNN, yang merupakan berita dari luar Palembang dan Sumsel, sehingga tidak ada kedekatan secara emosional dengan pembaca di Sumsel.
Dewan redaksi pada awal penerbitan (bersama Jawa Pos Group 1995) hingga pergantian pemimpin baru Suparno Wonokromo, terdiri dari Anwar Rasuhan, Triyono Junaidi, Anto Narasoma, Safik Gani, Mahmud, Muhtar, Muntako BM, Trismiati, Hilda Safitri, Dwitri Kartini, Oktaf Riady, Tri Hartono, Asriel Chaniago, Abdul Aziz dan bagian pra cetak Hamka Abdullah. Para kru redaksi ini, ya wartawan ya redaktur. Jadi wartawan merangkap redaktur. Para awak redaksi ini bahkan selama tiga bulan tidak menerima gaji dari perusahaan. Baru pada awal bulan keempat (1995), redaksi baru menerima gaji sebesar Rp 75 ribu dan bulan berikutnya naik menjadi Rp 125 ribu.
Diawal-awal kepemimpinan Suparno, persaingan dengan kompetitor mulai terasa dahsyat. Semua awak redaksi benar-benar merasakan suhu ‘peperangan’ itu begitu panas. Mulai dari segi materi berita maupun pemasaran dan tingkat pengecer. Enam bulan kemudian Sumeks terasa memiliki ruh dan mulai ditakuti kompetitor. Setiap kejadian dan kasus besar, Sumeks mulai memimpin pemberitaan, termasuk jatuhnya pesawat Silk Air di perairan Sungsang pada 19 Desember 1997. Dan ditahun yang sama, tepatnya 27 Agustus 1997 ada berita heboh pembantaian di Sungsang dan berita-berita kriminal lainnya, Sumeks mulai memperlihatkan ‘gigi’nya.
Untuk meng-cover kejadian itu, para wartawan bekerja keras untuk melacak sumber-sumber berita di tempat kejadian perkara (TKP). Bahkan Suparno sendiri terjun langsung sampai ke wilayah Sungsang untuk meliput berita kriminal. Hasilnya, Sumeks benar-benar hebat, lantaran Suparno ini merupakan jago penulis boks, wartawan kriminal Jawa Pos yang ngendon di Polda Metro Jaya. Berita dan data-data dari Koran Sumeks akhirnya menjadi rujukan aparat kepolisian, wartawan nasional maupun internasional, terutama saat jatuhnya pesawat Boing 737 Silk Air dari perusahaan penerbangan Singapura. Para wartawan luar negeri tak henti-henti mengontak keredaksian Sumek, mereka adalah wartawan dari Jepang, Malaysia, Singapura dan Australia.
Disinilah kru redaksi mengakui kehebatan Suparno sebagai komandan Sumeks. Apa yang saat itu dikawatirkan kru redaksi tak terbukti. Bahkan kita telah lupa, bukankah Jawa Pos memiliki jaringan pemberitaan yang super kuat sampai ke pelosok desa lewat JPNN? Jadi tantangan Suparno di depan awak redaksi sangatlah beralasan, meski redaksi hanya ada dua orang pun Sumeks masih bisa terbit.
Ya Wartawan
Ya Sirkulasi
Ya Advertising
Pada 1996-1997 oplah Harian Sumeks sudah mulai bergerak dari 3000 eksemplar menjadi 4000 eksemplar. Ini merupakan prestasi tersendiri menyodok pasar koran lokal yang saat itu terasa berat untuk menggoyahkan kompetitor. Lewat tangan dingin Suparno, Sumeks berangsur-angsur menemukan ‘ruh’ sebagai koran nasional terbitan lokal yang dibutuhkan pembaca.
Gaya penulisan Sumeks pun sederhana, tidak terlalu njelimet, namun menganut gaya penulisan bertutur, informative dan jelas. Gaya penulisan Sumeks ini, ya gaya penulisan Dahlan Iskan (Big Boss Jawa Pos Group). Gaya bertutur dan informative ini merupakan jurus jitu menembus dinding hati pembaca.
Satu langkah aman dengan mengantongi oplah 4.000 eksemplar pada 1996. Dengan oplah yang terbilang bagus untuk ukuran koran seumur jagung, sumber-sumber keuangan Sumeks mulai berdenyut. Tapi meski oplah merangkak naik, pemasang iklan belum sepenuhnya yakin koran Sumeks sampai kepada pembaca. Apa benar Sumeks oplahnya 4.000 eksemplar? Apa benar Sumeks sudah menemukan pembacanya?
Tak ada yang bisa dilakukan devisi iklan untuk merebut kue iklan ditengah gempuran persaingan media massa lainnya, empat radio lokal Palembang dan 2 koran lokal. Iklan paket besar sudah menjadi plenning koran besar, sedangkan iklan menengah jatahnya 4 radio, sementara iklan baris dan barter adalah jatahnya Sumeks. Kondisi seperti ini mau tidak mau menjadi masalah bagi redaksi, yang merupakan ‘jantungnya’ koran. Kendatipun redaksi sudah mampu menyelematkan segi oplah, namun pemasang iklan masih sulit ditembus teman-teman bagian iklan, kecuali iklan baris dan iklan paket yang harganya super murah.
Suparno kembali memutar otak, devisi redaksi, terutama wartawan dijadikan bemper pencari berita sekaligus iklan. Bahkan dalam rapat umum, Pak Parno menjanjikan bagi wartawan 20 persen bila mendapatkan iklan. Cara seperti ini ternyata cukup ampuh, karena wartawan lebih dekat secara emosional dengan nara sumber dibanding devisi iklan itu sendiri.
Beban berat yang dipikul redaksi dari kanan kiri justru membuat redaksi semakin kuat dan tangguh. Kerjasama seluruh jajaran juga semakin kokoh dan penuh suka duka. Pemasang iklan berangsur-angsur menghiasi halaman per halaman. Sedangkan 20 persen yang dijanjikan manajemen itu hampir tak pernah diharapan kru redaksi. Lupakan itu, yang penting Sumeks bisa hidup dan terbit secara berkesinambungan.
Disinilah nilai-nilai dan semangat juang keluarga besar Sumeks begitu kompak mesra. Karyawan benar-benar memikirkan eksistensi perusahaan. Berani bersaing keras terhadap kompetitor dari segala bidang.
Strategi gerilya tetap dilakukan. Untuk meyakinkan pembaca dan pemasang iklan, seluruh kru redaksi, pemasaram dan iklan, selalu ‘jemput bola’. Meyakinkan kepada pembaca bahwa Sumeks memang bukan yang pertama dan terbesar, tetapi lebih baik, dan terpercaya.
Pelan tapi pasti, para wartawan mulai bergerak sesuai bidangnya masing-masing. Wartawan ekonomi menggenjot berita-berita ekonomi sekaligus menagih kue iklan ke narasumber, wartawan otomotif juga mencari iklan otomotif sesuai dengan beritanya. Tak kalah bersaing, wartawan hiburan yang akrab dengan konser musik juga melakukan kemitraan bersama seluruh perusahaan rokok terbesar Indonesia selaku Even Organizer (EO). Hasilnya cukup lumayan meskipun belum sepenuhnya aman. Karena perusahaan-perusahaan besar pemasang iklan itu belum percaya sepenuhnya dengan Sumeks, melainkan hanya pertemanan saja.
Justru lewat pertemanan inilah pada akhirnya menjadi sebuah kekuatan. Dan seluruh jajaran redaksi Sumeks pun berangsur-angsur menemukan formulasi dan ruang gerak. Tetapi redaksi berkeyakinan, dengan cara jemput bola mencari iklan, bukanlah tugas pokok redaksi. Tetapi bagaimana memperbaiki system berjalan dengan baik. Tugas pokok redaksi tetap menjaga kualitas berita dan pemilihan rubrikasi halaman yang disukai pembaca. Pemasang iklan secara otomatis akan datang sendiri bila koran sudah dipercaya pembaca. Alasan itu ternyata benar, begitu Sumeks oplahnya bertambah, pemasang iklan mulai memadati hampir setiap halaman.
Peluang emas ini tidak disia-siakan devisi iklan untuk membina kemitraan. Yunita Ayu atau akrab disapa Mbak Ayu, juga ‘jatuh bangun’ membina anak buahnya. Keprcayaan pembaca sudah berpihak ke Sumeks, ini artinya kesuksesan sudah di depan mata. Jurus jitu menebar jaring periklanan disebar ke beberapa agen-agen iklan di kota Palembang, mulai jalan Kol Atmo, Sekanak, Merdeka, Rawasari, Pasar Lemah Abang dan lain-lain. Bahkan biro-biro iklan dibuka di Jakarta untuk memudahkan pemasangan iklan display atau iklan berukuran besar yang berkantor pusat di Jakarta .
Harus diakui, semangat juang devisi iklan ini menjadi barometer kesejahteraan Sumeks secara umum. Sebab biaya produksi yang begitu besar, bisa dengan mudah ditutupi dari sektor periklanan. Tak hanya itu, keuntungan Sumeks juga bisa dirasakan seluruh karyawan minimal setahun dua kali pembagian bonus diluar gaji bulanan.
Sumekas tidak dapat dipisahkan dari dua devisi yang saling terkait serta tidak dapat dipisahkan keduanya, yaitu Bagian Redaksi dan Bagian Usaha/Iklan. Jika redaksi dalam kegiatannya selalu berdasarkan hatinurani atau sering disebut idealisme, maka lain halnya dengan bagian usaha yang selalu berorientasi kepada mencari keuntungan. Kedua bagian inilah setiap harinya bahu membahu mewujudkan visi yaitu menjadikan koran Sumatera Ekspres sebagai koran terbaik yang menyuarakan keadilan maupun misi untuk bertekad menjadi koran yang mencerdaskan (smart paper) masyarakat.
Sebagai media massa cetak yang independen, Sumeks selalu menyuarakan kebenaran dan keadilan. Karena itu pula visi yang diemban Sumeks ini, selain menjadi penyebar informasi objektif, menyalurkan aspirasi masyarakat dan kontrol sosial yang konstruktif, juga diharapkan sebagai hiburan dan pendidikan. Dengan visi tersebut, maka misi Harian Sumatera Ekspres tiada lain untuk mencerdaskan bangsa]
Makin ’Hoki’
Era Reformasi
Melesat Bak Meteor Jatuh dari Langit
Dua tahun kemudian setelah Sumeks berhasil menembus dinding hati pembaca (1996), kompetitor Sumeks goyah dan akhirnya tidak terbit sementara. Inilah peluang emas Sumeks yang tidak boleh disia-siakan. Sumeks terbit tunggal yang tidak perlu bersaing dengan siapapun. Pembaca yang tadinya sudah mulai condong ke Sumeks, tak ada pilihan lain dan Sumeks menjadi pilihannya. Oplah yang tadinya kisaran 3000-4000 eksemplar, berubah menjadi 10.000 eksemplar di hari kedua Sumeks terbit tunggal. Bulan berikutnya oplah milik kompetitor berbalik menjadi milik Sumeks, yaitu 40.000 eksemplar.
Era yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Reformasi memiliki arti yang sangat penting bagi Sumeks. Tidak hanya perubahan kebijakan pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi, tetapi juga membawa zaman yang ‘terbelenggu’ menjadi merdeka. Tak ada lagi penghinaan koran Sumeks dibuang ke kolong meja kerja kaum birokrat seperti pada zaman orde baru. Nara sumber juga tidak lagi mengejek Sumeks sebagai koran sampah. Tapi sebaliknya, nara sumber tidak memiliki pilihan koran lain, kecuali Sumeks, koran nasional dengan ‘rasa’ lokal.
Menginjak tahun 1997-1998, Sumeks semakin melejit bak meteor jatuh dari langit. Masa kebangkitan Sumeks ini ditandai dengan huru hara besar-besaran di Seluruh Indonesia. Palembang pun tak kalah mencekam. Seputar bundaran air mancur Masjid Agung, Pasar 16 Ilir, Kolonel Atmo dan perempatan International Plaza (IP) lumpuh total. Ribuan demonstran merangsak pertokoan dan menjarah barang-barang berharga secara bebas. Pasar 16 Ilir pun tak luput dari amukan massa yang menyemut menuju gang-gang pasar. Sejumlah petak pertokoan pun jadi sasaran lalu dibakar.
Peristiwa besar-besaran itu berhasil diabadikan Sumeks, yang merupakan koran lokal satu-satunya setelah kompetitor tidak terbit.. Para agen koran pun cukup jeli melihat moment tersebut. Mereka langsung order koran Sumeks dalam jumlah yang tidak seperti biasanya (cukup besar). Oplah Sumeks yang awalnya 3000, 4000, 10.000, dan 40.000 eksemplar, langsung meledak hingga mencapai 60.000 eksemplar. Sebuah prestasi luar biasa bagi Sumeks di jajaran anak perusahaan Jawa Pos Group. Tak hanya itu, Sumeks bahkan berhasil menyodok prestasi nomor empat di jajaran Jawa Pos Grup setelah Jawa Pos, Fajar, dan Rakyat Merdeka. Padahal Sumeks merupakan group paling muda (bayi kemarin sore).
Disatu sisi, era reformasi ini juga merupakan era yang berbahaya bagi penerbitan pers, sebab bila media salah memberitakan atau tidak berimbang bisa berakibat fatal. Rakyat akan dengan mudah merangsak kantor redaksi tanpa pikir panjang. Untuk itulah Suparno mewanti-wanti agar Sumeks tetap independent, tidak berpihak pada salah satu partai politik dan tidak mengijinkan wartawan, atau staf lainnya masuk sebagai anggota partai politik. Bila wartawan berani bermain ke wilayah partai politik, hanya dua pilihan; berhenti jadi wartawan atau tetap jadi wartawan. Mengapa? Sebab bila wartawan sudah berpolitik, akan mengganggu independensi pemberitaan.
‘’Sumeks bukan korannya pemerintah atau corong partai politik, tetapi sumeks adalah independent,’’ ujar Suparno. Dengan sikap independent itulah Sumeks menjadi bagian media informasi yang terpercaya sebagai penyambung lidah rakyat.
‘’Mulai reformasi ini sampai ke depan, rakyat makin pintar. Mereka sudah bisa memilah-milah mana koran yang terbaik. Rakyat sudah kenyang dibohongi ala orde baru. Sekarang ini rakyat butuh informasi yang benar, akurat dan terpercaya,’’ jelas Suparno lagi. Tidak cukup dengan hanya oplah besar dan menjadi koran lokal tunggal, tetapi terbit awal juga harus menjadi prioritas agar pendistribusian Sumeks ke berbagai daerah berjalan lancar.
Rupanya meski oplah besar, Sumeks masih terganjal bermacam-macam halangan, mulai mesin percetakan yang sering ngadat, tenaga ahli informasi teknologi belum menguasai, listrik dari saluran PLN juga sering mati mendadak. Ini membuat awak redaksi sering dijangkiti stress tinggi. Cetak sering kesiangan gara-gara PLN mati mendadak, sementara pembangkit listrik cadangan (gangset) belum dimiliki Sumeks, ditambah komputer kalau mati mendadak langsung eror dan rusak. Ini menjadi masalah serius awak redaksi mengejar deadline. Dan disinilah penyakit stress benar-benar menjadi momok yang menakutkan.
Trouble di kantor biasanya berimbas pada pendistribusian koran Sumeks ke daerah tingkat II atau kota kabupaten. Masalah ini meskipun bukan ancaman serius, namun berpengaruh terhadap kepercayaan pembaca. Semua permasalahan harus diruntun satu persatu. Ada beberapa system managemen keredaksian yang harus dibenahi, mulai dari fasilitas penerbitan dan pembangkit listrik, sampai kepada tanggung jawab halaman. Siapapun tidak boleh pulang (terutama redaksi) sebelum halaman benar-benar selesai. Hal ini dimaksudkan bila terjadi trouble mendadak, penanggung jawab halaman dengan cepat bisa mengatasinya.
Sementara kendala di lapangan terkadang juga lebih besar. Selain terlampat pengiriman karena mesin trouble, juga risiko terburuk bagian ekspedisi ngantuk di jalanan. Sumeks pun akhirnya melakukan cetak jarak jauh seperti yang dilakukan induk Sumeks Jawa Pos Group. Ini merupakan kebijakan paling aman membawa Sumeks ke sejumlah daerah tingkat II. Dan ternyata memang cara aman dan sukses.
Kantor
Terburuk
di ’Dunia’
Kini Gedung Graha Pena
Sumeks benar-benar jadi bayi raksasa di jajaran Jawa Pos Group dan langsung mengakar kuat di Bumi Sriwijaya. Dua tahun kepemimpinan Suparno Wonokromo, Sumeks yang tadinya memiliki kantor terburuk di dunia (Istilah Dahlan Iskan, Bos Jawa Pos Group) langsung membangun gedung mewah Graha Pena lantai 5 di jalan Kol H Barlian 773 Palembang. Gedung ini dibangun pada 27 Maret 1999 dan memakan waktu pembangunan selama satu tahun.
’Kantor Terburuk di Dunia’ umpatan yang terdengar sangat pedas itu bukan tanpa alasan bagi bos Jawa Pos Group. Dengan lecutan kata-kata sarkasme, membuat kita termotivasi untuk membangun. Buruk. Memang begitulah faktanya. Tidak hanya buruk dari segi fisik bangunannya yang compang-camping, tetapi dari segi tata ruang kerja dan panel kabel komputer terlihat semrawut.
Jangankan orang lain, kita sendiri sebagai awak Sumeks, rasanya pusing memasuki ruangan kerja, baik redaksi, pracetak, sirkulasi maupun periklanan. Penulis memahami kata-kata Dahlan yang sebenarnya sangat bijak. Dengan ruangan yang teratur, bersih dan indah, akan mempengaruhi situasi kerja. Bila pikiran senang, kerja nyaman dan hasilnya akan memuaskan. Itulah alasannya!
Untuk apa oplah besar dan membangun image koran besar bila kantornya ternyata kecil dan berantakan? Praktis tidak ada yang bisa dibanggakan. Pada awal tahun 2000, tepatnya 19 September 2000, Gedung Graha Pena pun diresmikan penggunaannya sebagai kantor Sumeks oleh Gubernur Sumsel H Rosihan Arsyad. Di kantor yang baru ini, teman-teman mulai menemukan kenyamanan dalam menjalankan tugas sehari-hari. Tidak lagi merasa minder dengan suasana kantor yang berantakan dan kumuh. Sumeks mulai memperlihatkan eksklusifisme dalam pemberitaan maupun penampilan.
Semuanya langsung berubah. Kita yang tadinya tidak ’nyambung’ apa yang dikatakan Dahlan Iskan, baru setelah lima tahun kedepan baru terpikirkan dan mengakuinya. Inilah kebiasaan kita untuk berpikir lambat dan tidak mau menatap jauh ke depan. Dan setelah Gedung Graha Pena berdiri gagah di pinggir jalan, semua orang terkesima. Gedung apa itu? Maklum, saat itu gedung tinggi di Palembang bisa dihitung dengan jari tangan, lebih-lebih gedung yang didominasi kaca.
Manajemen Sumeks lantas menancapkan dirinya sebagai harian daerah yang lebih terpercaya, maka motto Sumeks selanjutnya adalah koran terbesar dan kebanggaan masyarakat Sumsel. Keinginan menjadi koran daerah yang makin dipercaya masyarakat, maka Sumeks lebih memfokuskan liputan-liputan spesifik tetang daerah di Provinsi Sumatera Selatan tanpa meninggalkan berita-berita aktual nusantara dan mancanegara. Begitupun ruburik halaman, semakin beragam dan intens pada persoalan masyarakat.
Beberapa tahun kemudian, Gedung Graha Pena mulai menjadi sebuah gedung sebagai tujuan wisata ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan swasta, ibu-ibu PKK, bahkan para pejabat baru di provinsi ini. Mereka berkunjung selain bersilaturahmi, juga ingin menyaksikan bagaimana mekanisme keredaksian harian terbesar di Sumsel ini. Begitu juga menginventarisir berita-berita dari lapangan, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Tak hanya memperhatikan segi isi berita, Sumeks juga memperhatikan segi kualitas cetak, yang kebetulan dicetak oleh percetakan milik Sumeks sendiri, yaitu PT Sumex Intermedia. Percetakan ini berlokasi di sebelah Gedung Graha Pena (bekas kantor Sumeks lama). Untuk meningkatkan kualitas cetakan, PT Sumex Intermedia pada 2001 lalu, membeli mesin cetak berkecepatan tinggi buatan Amerika yang ketinggian dasar mesin hingga ke puncak tertinggi berkisar 9-10 meter dengan harga berkisar Rp 4,2 miliar.
Dari sini terlihat, PT Citra Bumi Sumatera selaku penerbit Harian Sumeks beserta anak perusahaannya selalu mencari yang terbaik, sebagai wujud memenuhi kebutuhan pembacanya. Bagaimana dengan layanan iklan, pemasara maupun redaksional? Sebagai gambaran bahwa pada 1 April 2000, pola manajemen yang selama ini belum seperti yang diharapkan, sejak saat itu mulai berangsur baik. Khusus redaksional, mulai edisi 1 Agustus 2000 jumlah halamannya meningkat dan semakin tebal menjadi 24 halaman broadsheet muda (ukuran koran Amerika). Hal ini sebagai dampak globalisasi yang menghendaki percepatan-percepatan kemajuan pers di tanah air. Lebih dari itu, upaya memanjakan pembacanya terus dilakukan. Tepatnya pada awal Maret 2003 Manajemena Harian Pagi Sumatera Ekspres memberikan yang terbaik bagi pembacanya melalui penambahan halaman, yang semula 24 halaman setiap hari ditingkatkan menjadi 28 halaman setiap terbit.
’Embrio’ Sumeks
Menjelma Gurita
Sumeks tidak berhenti sampai pada oplah besar, tetapi juga mengembangkan koran-koran group, baik di wilayah kota Palembang maupun daerah tingkat II atau kota Kabupaten. Ini selain turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa lewat informasi berita, juga memberikan lapangan pekerjaan yang merata bagi warga kota dan daerah.
Perkembangan selanjutnya, secara bertahap Sumeks mencoba memberikan layanan informasi kepada masyarakat menengah ke bawah dengan melahirkan koran kriminal dengan nama Palembang Pos. Kemudian, dilanjutkan dengan menerbitkan Tablod Monica, yang keduanya berkantor di Graha Pena, tepatnya di Lantai IV gedung Graha Pena, Jalan Kol H Barlian No 773 Palembang. Setelah sukses dengan dua media itu, langkah selanjutnya Harian ini kembali mengukir keberhasilannya melalui pengembangan anak perusahaan di sejumlah daerah.
Sebut saja, di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Ekspres melahirkan Harian Linggau Pos. Dan pada awal Oktober 2001, di Provinsi Bangka Belitung, Sumeks kembali menerbitkan koran untuk pembaca di provinsi termuda di Indonesia ini dengan nama Harian Bangka Belitung Pos. Dan pada 2 Juni 2003, ketika Sumatera Ekspres merayakan Hari jadinya yang ke-8-2003, Harian ini kembali melahirkan Koran baru bernama: Radar Palembang.
Di balik itu, berkat dukungan dan bantuan masyarakat di Sumsel khususnya dan para pembaca yang tersebar di Sumbagsel, kini pembaca Sumeks: pelajar, mahasiswa, pemuka/tokoh masyarakat dan para penentu kebijakan yang nota bene menengah ke atas. Tokoh-tokoh pers profesional yang kini terlibat langsung dalam manajemen Harian Pagi Sumatera Ekspres, diantaranya Lukman Setiawan (Komisaris Utama), Dahlan Iskan sebagai Direktur Utama, yang dibantu oleh Mahtum Mastoem, Alwi Hamu. Dan Suparno Wonokromo sebagai Direktur Pelaksana.
Berikut nama-nama koran yang bernaung dibawah Sumeks Group:
(Foto2 Wajah Koran Sumeks Group)
SUMEKS GROUP WILAYAH KOTA PALEMBANG
1. Harian Sumatera Ekspres
2. Harian Palembang Pos
3. Radar Palembang
4. Tabloid Monica
5. Pal TV
6. Palembang Ekspres
SUMEKS GROUP DI DAERAH
1.Bangka Belitung Pos
2. Prabumulih Pos
3. Linggau Pos
4. Mura Pos
5. Oku Timur Pos
6. Pagar Alam Pos
7. Lahat Pos
8. Enim Ekspres
SUMEKS GROUP DI DAERAH (Dibawah Palembang Pos)
1. Banyuasin Pos
2. Muba Pos
3. Ogan Ekspres
* Mereka dibalik Sukses Sumeks
Sang Inovator itu
Suparno Wonokromo
Semula kurang populer di Palembang, terutama kalangan wartawan senior dan pejabat pemerintahan. Nama Suparno Wonokromo, saat itu lebih ngetop di Bengkulu, ketimbang di Palembang, lantaran Suparno ini pernah menjabat sebagai Pemimpin Harian Semarak Bengkulu. Wajar kali pertama datang di Palembang Agustus 1995, nama Suparno tidak begitu dikenal. Namun setelah Harian Sumatera Ekspres-- si bayi ragil-- jajaran Jawa Pos Group berubah menjadi raksasa koran Sumsel, semua orang terperanjat kaget dengan sosok Suparno itu.
Tidaklah berlebihan bila penulis mengatakan lahirnya raksasa koran di Sumsel (Sumeks) adalah era Suparno Wonokromo, seorang wartawan biasa yang ngebid sebagai wartawan kriminal Jawa Pos. Semua orang terbelalak, bahkan jajaran Harian group Jawa Pos seluruh Indonesia juga mengakui Suparno menuju sukses luar biasa.
Ketika penulis mengikuti rapat redaktur pelaksana (Redpel) seluruh group Jawa Pos di Batam Januari 2008, selalu ditanya ‘’Mas dari Sumeks? Anak buah Pak Parno, ya?’’ Penulis terkejut, begitu ngetopnya nama Suparno di jajaran Group Jawa Pos. Karena yang disebut itu adalah orang hebat, maka penulis juga memperoleh berkah dari kehebatannya itu dengan dijamu luar biasa oleh teman-teman redaktur di Batam. Diajak jalan-jalan menyusuri pantai Batam bahkan nyeberang sampai ke Singapura. Malamnya kami juga diajak menyaksikan pulau Batam diwaktu malam sembari ngopi bersama. Hemm… inilah berkahnya orang hebat yang secara tidak langsung menjadi berkahnya orang lain. Penulis ‘merasa’ menjadi raja kecil gara-gara nama besar Suparno.
Kami tidak bermaksud melebih-lebihkan sosok Suparno. Bagaimanapun juga Suparno adalah manusia biasa. Terkadang ada sisi buruk yang tidak disadarinya, yaitu tidak suka berpenampilan formil dan perlente. Kadang-kadang dia juga kurang memperhatikan keserasihan cara berpakaian. Suatu hari ketika membuka pertandingan basket ball, dia mengenakan jas, tapi dikombinasi sepatu sport. Suparno cuek saja, dan orang lain juga tidak menilai detail seperti itu. Hal yang sama ketika mau tampil mendalang di TVRI bersama sinden bule Amerika, Pak Parno mengenakan baju dalang ketika acara baru dimulai. Dan ketika usai mendalang, Pak Parno juga cuek melepas baju dalangnya, yang tinggal hanya kaos oblong. Itulah Suparno yang tak bisa menutupi gaya spontanitasnya. Tapi masyarakat Palembang, terutama komunitas Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) sudah sangat memahami Suparno.
Ada beberapa hal yang terkadang juga membuat otak kita berputar kencang ketika harus menerjemahkan pemikiran dan keinginan Suparno. Tidak semua orang dengan mudah mengerti. Butuh waktu untuk menerjemahkannya, termasuk membuat gebrakan koran baru, mulai Palembang Pos, Tabloid Monica, Radar Palembang, Pal Tv dan beberapa koran daerah lainnya. Gaya Suparno ini memang tak jauh beda dengan gaya ‘suhunya’ yaitu Dahlan Iskan, cara berpikirnya jauh ke depan dan kita terkadang sulit mengejarnya.
Membuat koran itu gampang, atau istilah Arswendo Atmowiloto, menulis itu gampang. Gampang bagi yang sudah menguasai dan tahu teorinya. Tapi Suparno tidak mau ribet dengan hal-hal yang berbau teoritis. Yang terpenting bagaimana mewujudkan konsep yang sudah ada di kepala itu menjadi kenyataan. Rahasianya adalah kerja keras tanpa mengeluh. Melakukan inovasi dan pembaruan. Menyuguhkan rubrikasi yang dibutuhkan pembaca, serta evaluasi hasil kerja. Itulah kunci sukses yang sebenarnya.
Pernah suatu hari penulis diajak makan malam di warung kaki lima, tepatnya di depan Gedung Graha Pena. Sembari makan ayam goreng pecel, Suparno bilang, ‘’Dik kayaknya kita perlu bikin koran baru lagi,’’ kata Suparno dengan nada yang sangat ringan. Penulis sempat berpikir, koran baru apalagi? Group Sumeks wilayah kota Palembang sudah cukup banyak. Di daerah juga banyak. Lantas segmentasinya ke mana?’’ pikir penulis.
‘’Sekarang banyak partai politik bikin koran. Pejabat pemerintah juga bikin koran,’’ katanya lagi. Logikanya kalau di wilayah Palembang sudah cukup banyak koran bermunculan, tentu kita akan kesulitan pemasarannya. Tapi Suparno berpikir lain. Justru dengan memunculkan koran baru yang memiliki visi dan misi sama dengan induknya, yaitu Sumeks, pilihan pembaca tidak akan berubah, akan memilih koran baru tapi independent. Tidak punya muatan politis dan pesan-pesan sponsor pejabat tertentu. Koran independent tetap memiliki kekuatan di pihak rakyat (pembaca).
‘’Lantas apa namanya, Pak?’’ tanya penulis.
‘’Musi Ekspres, gimana?’’
‘’Nama Musi dulu pernah dipakai sebagai media pemprov Sumsel, yaitu Gelora Musi. Sebaiknya lupakan nama Musi, ganti yang lain saja, Pak,’’ usul penulis.
Satu potong ayam goreng habis dan segelas es jeruk pun tuntas. Pembicaraan masalah koran baru dilanjutkan dan yang intinya optimis bisa terbit. Tidak lama kemudian, hanya butuh waktu kurang sebulan, Harian Palembang Ekspres beredar di pasaran. Itulah tangan dingin Suparno ‘menyulap’ penerbitan pers dengan sangat gampang.
Meski perawakannya kecil, ternyata cara berpikir Suparno tidak dapat diprediksi dengan ukuran dirinya yang kecil. Obsesinya untuk mengembangkan Sumeks sebagai sebuah koran besar yang disegani, benar-benar hebat dan patut diacungi jempol. Sebagai penulis, secara pribadi, kami merasakan sikap tegasnya untuk mewujudkan obsesinya yang begitu besar dan hebat.
Dalam sistem kerja yang ia terapkan di redaksi begitu tegas dan keras. Satu sama lain harus menggalang kekuatan. Baik dalam spirit kerja, maupun membangun rasa kebersamaan diantara sesama rekan kerja. Jika tidak mengikuti sistem kerja begitu, mohon maaf, silakan menyingkir sebelum disingkirkan manajemen.
‘’Itulah kunci keberhasilan Jawa Pos membangun keberhasilannya seperti sekarang. Dengan menumbuhkan spirit kerja dan konteks kebersamaan, akan muncul rasa tanggung jawab secara bersama-sama. Dengan kata lain, kita tidak boleh terpecah-pecah satu dengan lainnya. Ini inti kekuatan sebuah manajemen kerja,’’ kata Suparno memberi spirit ke semua awak redaksi.
Awalnya, pro-kontra sikap kepemimpinan seorang Suparno sempat muncul ketika itu. Bahkan, sikapnya yang keras dan tegas pada dekade awal kepemimpinanya, memunculkan perasaan tidak suka dari beberapa kalangan redaksi. Mengapa begitu? Ya, karena teman-teman di redaksi umumnya belum mengenal figur Suparno secara pribadi. Bahkan, banyak diantara awak redaksi yang belum terbiasa dengan kemarahan yang sampai menyinggung perasaan. Wajar obsesi sang pemimpin dianggap sebagai ‘’arogansi kekuasaan’’.
Tiga bulan dengan sikap tegas dan nyaris kaku dari seorang Suparno, ternyata membawa iklim lain di redaksi. Lambat laun, kesadaran untuk menjadi pekerja koran (wartawan) yang profesional pun muncul. ‘’Suka atau tidak, keberhasilan sebuah industri surat kabar, kuncinya ada di redaksi,’’ tegas Suparno.
Karena itu dengan tegasnya Suparno mengajak rekan-rekan redaksi untuk bangkit memberdayakan diri sendiri. ‘’Untuk siapa saja, jika tidak bisa mengikuti pola kerja secara profesional, lebih baik minggir,’’ begitu kata Suparno.
Menghadapi pernyataan tegas seperti itu, seluruh awak redaksi menjadi serba salah. Apalagi kemampuan jurnalistik rekan-rekan di redaksi ketika itu sangat pas-pasan. Ternyata, di balik kepahitan yang dirasa, sedikit demi sedikit, pola pikir rekan-rekan di redaksi mengalami banyak kemajuan.
Daya juang untuk membuat koran yang laku dijual ke pembaca mulai muncul. Bahkan, rasa memiliki terhadap koran sendiri tumbuh begitu dahsyat. Secara bahu membahu mereka bangkit membangun kebersamaan untuk menghidupi koran ini.
Bekerja secara kekeluargaan seperti itu mampu meringankan beban psikis seluruh anak redaksi. Bahkan, ketika oplah koran ini masih berkisar 1.500 eksemplar, banyak pernyataan minor yang menyakitkan hati. Ada seseorang tokoh pers di sini yang mengatakan, Sumeks itu adalah koran sebeca. Artinya, koran dengan oplah yang dapat diangkut dengan beca saja lagaknya bukan main.
Bagi Suparno, cemoohan yang sangat menyakitkan hati itu tak perlu digubris. Biarkan saja. Yang penting, seluruh armada Sumeks harus berkonsentrasi untuk bangkit dan membesarkan koran ini. Sedetik pun, tak ada waktu untuk menanggapi persepsi minor seperti itu. Tekad bulat kami hanya satu, semua awak Sumeks harus bekerja keras, bekerja keras, dan bekerja cerdas sesuai bidang tugasnya masing-masing.
Untuk mengejar langkah kompetitor (pesaing) yang sudah lebih dulu eksis, harus ada upaya serius. Pokoknya, tugas utama kami mengamati eksistensi pesaing yang begitu merajai pasar Sumatera Selatan. Setiap hari, selain berusaha memperbaiki pola penyajian berita dan bahasa yang disampaikan ke pembaca, kami pun wajib mengintai celah kelebihan dan kelemahan kompetitor. Dengan begitu kami berusaha untuk mampu menempatkan posisi Sumeks sebagai koran yang mampu bersaing dengan kompetitor.
Helmy Mattury
Bertahan Sampai
ke Pulau Harapan
Menjelang Sumeks terbit bersama Jawa Pos Group 30 Mei 1995 pukul 11.30 WIB, wajah Helmy Mattury (Pimred perintis Sumeks) benar-benar kelihatan gembira. Padahal saat itu ia ‘minggat’ dari Rumah Sakit Charitas, lalu mendapat peringatan dokter untuk istirahat. Helmy berusaha melupakan penyakitnya. Hari itu ia gagah. Ia bersama Dahlan Iskan (Bos Jawa Pos Group) sempat ngontrol ruang percetakan yang bakal terbit pada keesokan harinya 1 Juni 1995. Meski mesin cetaknya ini merupakan bekas dari Jawa Pos, namun hati Helmy benar-benar puas.
‘’Baru sekarang Sumeks memiliki mesin cetak sendiri. Tidak seperti dulu ketika berkantor di Jalan Merdeka 1, terbit harus kejar-kejaran dengan koran lain, siapa yang duluan terbit,’’ ujar Helmy yang saat itu juga didampingi para awak redaksi menyaksikan uji coba mesin percetakan. Kepuasaan hati Helmy Mattury serta air muka yang gembira, seolah-olah lepas setelah tahu bahwa Sumeks benar-benar bakal selamat dan menjadi sebuah koran besar di Sumsel.
Begitu Sumeks terbit pada 1 Juni 1995, Helmy Mattury sempat menyaksikan wajah perdana Sumeks yang indah dengan cover depan keindahan Sungai Musi mengalir tenang --hasil jepretan fotografer gaek Sumeks H Dulmukti Jaya. Tapi penulis yakin, hati Helmi lebih indah dan tenang dari wajah perdana Sumeks itu. Ibarat mengarungi samudera, Helmy berhasil berpirau menembus ombak dan membawa ratusan karyawannya kedalam perahu sampai ke pulau harapan. Pada penerbitan berikutnya sampai pada edisi keenam, baru Helmy meninggalkan kami semua.
Dalam kesadaran itulah kami mengenang ia adalah sosok pemimpin yang tangguh dalam menghadapi segala cobaan yang kerap berganti menerpanya. Disamping kemampuan membagi rasa hingga sering kali kita terhanyut dalam irama pengalamannya yang begitu luas dan dalam.
Itulah sekilas yang kami kenang tentang Helmy Mattury, pemimpin redaksi Sumatera Ekspres. Kami teringat ketika itu memperlihatkan secarik kertas berisikan ‘perintah’ untuknya agar segera beristirahat. Dari surat itu pula bahwa ia tengah berperang melawan penyakit yang terus bergayut dalam dirinya.
Melihat mimik mukanya saat itu, tampak ada sesuatu motivasi yang kuat dalam dirinya untuk terus berperang melawan penyakit yang dideritanya. Perintah dokter itupun akhirnya ia taklukkan untuk beberapa hari. Hari kesepuluh, seingat kami, ia kalah dan mengharuskannya menjadi pasien Rumah Sakit Charitas Palembang. Batinnya memang kuat, kembali ia taklukkan semua rasa yang ada dalam dirinya dengan semangat yang menggelora, akhirnya dia nyatakan sehat, dan minta keluar dari rumah sakit. Berhasil.
Sekilas keyakinan itu terbukti. Sedikit demi sedikit kesehatannya tampak pulih ketika kami melihat ia datang ke kantor baru Jalan Kol H Burlian 773 Palembang. Dengan wajah gembira mendamping Pak Dahlan Iskan meninjau percetakan, pada saat itu pula Helmy sebenarnya ingin memberikan salam terakhir sekaligus motivasi pada kami semua.
Terpaksa kembali dia harus memenuhi panggilan rumah sakit yang baru beberapa hari ia tinggalkan. Sejak saat itu langkah kami yang ingin menerbitkan koran ini sesuai semangat awalnya, terasa tak berkurang. Tapi disatu sisi sebenarnya kami seperti kurang lengkap. Dan itu terasa benar, manakala kami membutuhkan suasana kantor yang gembira meski sebenarnya segudang masalah sedang kami hadapi.
Karena api semangat itu pula, kami mencoba tetap berjalan meski dengan wajah percobaan (terbit perdana). Ternyata dia juga senang ketika tanggal 1 Juni 1995 Sumeks hadir di hadapannya.
Sebenarnya kami sendiri tak perlu lagi dia memikirkan Sumeks. Kami tanamkan pada dirinya agar semua kekuatannya dimanfaatkan untuk melawan penyakit. Kami ingin Helmy Mattury tetap bersama kami. Kami ingin Helmy turut serta dalam suka duka dalam lingkungan Sumeks dibawah komando Jawa Pos Group.
Tapi sekali lagi apa daya. Setelah sempat beberapa kali melihat hasil kerja anak buahnya di redaksi, Allah menghendaki lain. Perjuangan Helmy sampai di situ. Sudah banyak jasa yang ia tanamkan. Sangat banyak kiat yang ia luncurkan. Kami semua tak mampu menghitungnya.
Kami semua tetap melanjutkan perjuangan dengan kesadaran penuh bahwa membangun kesuksesan itu tak lepas dari onak dan duri serta ombak dan badai. Dan itu semua telah kami lalui bersama Helmy. Kini redaksi Sumeks menuju era baru teknologi digital. Sebuah era yang menghendaki informasi hadir lebih cepat dan akurat. Seandainya Helmy masih hidup, dia pasti akan berkata; Jangan menjadi wartawan cengeng. Jadilah wartawan yang professional dan tangguh. Mampu melihat situasi dengan mata hati dan pikiran. Jangan mudah menyerah!
Begitulah kira-kira imajiner kami ketika berhadapan dengan Helmy. Sebab ketika kali pertama babat alas (merintis) berdirinya Sumeks bersama Jawa Pos Group, Helmy selalu menasihati kami dengan kata-kata yang keras tapi sangat bijak. ‘’Tidak boleh lekas menyerah meskipun dalam keadaan darurat’’. Penulis tahu kata-kata itu sebenarnya merupakan spirit untuk dirinya sendiri. Dia diminta secepatnya oleh Jawa Pos mengirimkan karyawan dan wartawan ke Graha Pena Surabaya (kantor Jawa Pos) untuk dididik. Tapi pengiriman awak redaksi dan pemasaran ini terganjal masalah biaya transportasi dan akomodasi.
‘’Kami nak ngirim kamu ke Jawa Pos. Kami katek biaya. Makmano caro kamu berangkat, ya berangkatlah,’’ ujar Helmi dengan logat Palembang. Agak salah tingkah dan kedua matanya sedikit berkaca-kaca.
Kami sangat paham, dan menyadari kondisi sulit seperti itu, akhirnya kami dengan sisa simpanan uang pesangon dari Surya Persindo Group cukup untuk sekali jalan. Kami tidak berpikir bagaimana nanti pulangnya dari Surabaya. ‘’Itu masalah nanti. Yang penting kamu bisa sampai dulu ke Jawa Pos, itu sudah aman,’’ lanjut Helmy.
Manajemen Jawa Pos ternyata sangat memahami kondisi sulit Sumeks, dan akhirnya biaya pulang dari Surabaya ditanggung Jawa Pos termasuk mengganti ongkos yang sudah kami keluarkan sebelumnya. Helmy tersenyum gembira sepulang kami dari Surabaya. ‘’Kalo kamu la pinter galo, kerjalah yang bagus. Sumeks ini akan menjadi lebih baik. Percayolah kamu,’’ kata Helmy meyakinkan kami.
Namun tak seorangpun tahu, bagaimana misteri Allah saat itu. Kami semua tak tahu. Kami semua menganggapnya dia sehat, yang tampak memang demikian. Rupanya hanya Allah dan dirinya sendiri yang tahu, bahwa saat itu dia menggunakan semua kekuatannya demi Sumeks. Demi kami semua para karyawan, baik redaksi, pemasaran, iklan dan karyawan di jajaran lainnya. Dan demi kejayaan Sumeks untuk menggapai masa depan gemilang.
Selamat Jalan Pak Helmy! Engkau telah berjasa menyelamatkan Perahu (Sumeks) sampai ke pulau harapan!
****
*Fotografer Gaek H Dulmukti Djaja
Tak Mau Diangkat
Jadi Karyawan
Satu dari beberapa orang yang ikut membesarkan nama Sumatera Ekspress (Sumeks) seperti sekarang adalah H Dulmukti Djaja atau akrab di sapa Kakek, karena paling dituakan di jajaran redaksi. Pria berumur 77 tahun ini mulai bergabung dengan Sumeks pada tahun 1991.
Saat itu, Sumeks hingga tahun 1992 masih dibawah naungan Surya Persindo Group. Sejak awal bergabungnya kakek bersama Sumeks, sudah terpatri dalam hatinya, bukan materi yang ia cari, melainkan kepuasan diri saat melihat hasil karya fotografinya dimuat di koran atau majalah.
“Tidak pernah terpikir berapa banyak saya akan digaji. Yang penting, hobi fotografi saya bisa tersalurkan. Senang rasanya jika foto hasil jepretan saya bisa dimuat di koran,” ujarnya. Ya, begitulah sosok seorang kakek yang telah mengenyam banyak asam garam dunia perkoranan. Banyak suka dan duka yang telah dilaluinya.
Seperti diakui kakek, hobi fotografi dikenal ‘mahal’. Namun, karena hobi, Dulmukti kala itu nekat menggunakan kamera manual milik pribadinya. Tahun 1992 sampai 1995, setelah Sumeks kerjasama dengan Surya Persindo Group tutup, ia terus berkiprah dalam bidang fotografi. Antara lain membantu berbagai penerbitan buku dan majalah / tabloid, seperti buku Sumsel Membangun, majalah Gending Sriwijaya, Buku tentang Polda Sumsel, majalah Wirabhakti, dan majalah Gelora Musi.
Pada 1 Juni 1995, ia diajak dua pendiri Sumeks, (alm) Alwi Raden Pandita dan (alm) Helmy Mattury untuk membantu penerbitan kembali surat kabar harian Sumeks dibawah naungan Jawa Pos Group. Pak Alwi dan Pak Helmy sangat paham dengan kakek. Meski kerja tidak digaji, kakek selalu menunjukkan tanggungjawabnya yang luar biasa. Kakek memang sudah ’terlanjur’ cinta dengan pekerjaannya sebagai wartawan foto. Banyak pengalaman suka dan duka yang ia jalani, terutama saat-saat membangun Sumeks yang masih belum populer itu.
Naluri wartawannya begitu tajam. Kakek terkadang tidak mempedulikan dirinya sebagai apa. Lebih-lebih ketika Sumeks jauh tertinggal dengan koran lokal Palembang saat itu. Dengan segala fasilitas yang masih begitu sederhana, kakek bertahan, bahu membahu dengan beberapa ‘orang lama’ membangun Sumeks dengan menggunakan kamera manual pribadinya.
Seperti penulis katakan tadi. Kakek terkadang tidak mempedulikan dirinya sebagai apa. Karena suatu hari kakek bahkan keluar dari jalurnya sebagai fotografer dengan melobi sejumlah pihak agar berlangganan Sumeks. Sebut saja yang dilobinya saat itu PT Pusri. “Semua demi Sumeks, agar Sumeks dikenal masyarakat. Dengan kerja keras, Pusri akhirnya mau berlangganan Sumeks sama seperti kompetitor saat itu,” beber kakek.
Barulah kemudian secara bertahap kamera manual miliknya digantikan kamera digital yang dibelikan perusahaan. Di usia senjanya, kakek masih menyimpan kekaguman terhadap (alm) Alwi Raden Pandita dan (alm) Helmy Matury yang selama hidupnya begitu gigih mempertahankan Sumeks tetap terbit agar SIUP-nya tidak dicabut oleh pemerintah (sebelum Reformasi).
Ia juga menyampaikan ribuan terima kasih kepada H Suparno Wonokromo selaku CEO Sumeks Group saat ini. Tak lain karena meskipun kakek bukan karyawan tetap Sumeks, namun kerja kerasnya tidak diragukan lagi. Bahkan diusianya yang sangat sepuh, ia berani bersaing--siapa yang punya nyali mengambil foto udara? Tak ada satupun fotografer di Sumsel menerima tantangan itu. Dan Kakekpun dengan keberaniannya berhasil mengabadikan foto Palembang dari udara dengan Trike Aquilla 582 (Baca Terbang Seperti Burung, Bebas Ambil Foto Udara).
---------------------------------
CATATAN TERCECER
Pengalaman Tak Terlupakan
Terbang seperti Burung,
Bebas Ambil Foto Udara
Tak setiap orang berkesempatan melihat topografi daratan dari udara dan tidak semua wartawan punya nyali melakukan pemotretan udara. Tantangan mendebarkan ini berkali-kali dialami fotografer senior Sumatera Ekspres, H Dulmukti Djaja. Terakhir, pada September 2008, ia berhasil mengudara dengan pesawat Trike jenis Aquilla Tipe 582.
-------------------
Terbang dengan Trike Aquilla Tipe 582 ternyata lebih nyaman dibanding beberapa jenis pesawat seperti pesawat capung, Dakota, Deraya, Puma, Falcon, Hercules, maupun helikopter. Penilaian ini dari segi kemudahan untuk mengabadikan bentuk bumi melalui foto udara seperti yang dilakoni Dulmukti.
“Hasilnya lebih cerah karena bebas dari halangan jendela kaca atau rintangan lain,” ungkapnya.
Kesempatan bagus itu diperolehnya usai pembukaan International Aeromodelling Flying Event (IAFE) 2008 di runway Stadion Jakabaring, 22 November lalu. Hanya ada dua orang yang mendapatkan kesempatan terbang dengan Trike Aquilla 582. Yang pertama, Gubernur Sumsel Ir H Alex Noerdin SH dan yang kedua peraih juara I Nasional Lomba Foto Telkomsel ini.
Selama waktu singkat yang hanya 10 menit, Dulmukti dan kameranya terbang mengitari Palembang. Saat itu, pesawat Trike Aquilla 582 yang mampu terbang empat jam tanpa henti itu dipiloti penerbang Renny Widodo asal Lido Club Jakarta. “Bikin foto yang bagus ya,” pesan Gubernur kala itu.
Dari pesawat seharga Rp400-700 juta itu, Dulmukti yang diujung masa pensionnya dari Sumeks itu, berhasil mengabadikan topografi Stadion Jakabaring dan kawasan sekitarnya. Trike Aquilla 582 juga melintasi Ampera, kantor Wali Kota Palembang, Pusri dan sejumlah tempat lainnya. “Berbagai posisi objek foto udara bisa diambil dengan bebas karena tidak terhalang dinding seperti kita naik pesawat terbang atau helikopter,” katanya.
Sebelum ini, Dulmukti pernah melakukan beberapa kali pemotretan udara. Seperti tahun 1950-an, terbang bersama Dr Ibnu Sutowo (alm) memotret lahan pembangunan RSMH Palembang. Kemudian memotret lokasi pabrik pupuk ASEAN di Lhokseumawe, Aceh Utara. Pemotretan kota Pagaralam dengan pesawat Trike Aquilla. Lalu mengabadikan pemadaman kebakaran hutan di OKI oleh tenaga ahli dari Rusia. Pemotretan udara kompleks PT Pusri, kawasan hutan lindung bersama mantan gubernur Sumsel H Rosihan Arsyad.
Lalu pemotretan udara di atas kawasan Kabupaten Muara Enim bersama mantan gubernur Sumsel Ir H Syahrial Oesman MM, pemotretan lokasi Penas XII KTNA Sembawa, Kabupaten Banyuasin yang diresmikan Presiden SBY, Juli 2007 lalu. Hobi fotografi ini telah diminatinya sejak usia 17 tahun. Berkat hobinya, selama hampir 50 tahun, Dulmukti berkesempatan keliling Indonesia bahkan ke mancanegara mulai dari Australia, Filipina, Singapura, Malaysia hingga Belanda.
Sejumlah penghargaan pun pernah diterimanya. Mulai dari juara harapan I Lomba Foto HUT RCTI yang ketiga dan HUT SCTV keempat, juara III Foto Pariwisata pada Festival Sriwijaya IV Tahun 1994, juara I Lomba Foto Wisata Festival Sriwijaya V Tahun 1995, dan juara I Nasional Lomba Foto Telkomsel.
Ada dua pengalaman berharga yang menjadi kenangan tak terlupakan selama ini. Pertama, saat terbang dengan helikopter dalam sesi pemotretan udara Kompleks Pusri. Saat itu, baling-baling belakang helikopter menyentuh air Sungai Musi. ”Untunglah, helikopternya berhasil mendarat darurat,” tukas Dulmukti.
Yang kedua, saat meliput tenggelamnya kapal Doyang Opal di perairan selat Bangka. Speedboat yang ditumpanginya bersama Wakil GM Sumatera Ekspres Group saat ini, H Subki Sarnawi, nyaris tenggelam. Banyak lagi liputan dengan medan menantang yang tidak pernah menyurutkan langkah untuk terus berkarya. (*)
Terjebak
Wawancara
Ekslusif
Pelukis Terkenal Amri Yahya
Kami bangga menjadi wartawan muda. Ketika kami mendapat tugas liputan ekslusif ke Jakarta untuk mewawancarai pelukis terkenal asal Sumsel Amri Yahya 1996, yang ada dibenak kami adalah karya jurnalistik kami pasti beda dengan koran lain. Dan itulah yang selalu ditanamkan redaktur kami setiap ada kejadian luar biasa atau tokoh luar biasa. Kami tidak mungkin melakukan wawancara secara berjamaah (ramai-ramai) dalam suatu acara jumpa pers.
Bila ketahuan bahwa esok harinya berita kami sama dengan koran lain, baik nasional maupun lokal, kami pasti digoblok-goblokkan para redaktur kami, terutama Pak Anwar SY Rasuan selaku Redaktur Pelaksana saat itu.. Apa artinya tugas liputan esklusif yang dibiayai mahal. Untuk apa jauh-jauh ke Jakarta bila hasilnya tidak memuaskan dari sisi karya jurnalistik.
Untu itulah kami mewanti-wanti agar rencana wawancara kami tidak diketahui para wartawan lainnya. Kami menahan diri untuk tidak ikut nimbrung bersama sejumlah wartawan nasional maupun lokal ketika mengerubuti si pelukis terkenal Amri Yahya itu, tapi mata kami tetap mengawasi gerak-gerik Amri, siapa tahu habis diwawancarai para wartawan, Amri langsung kabur atau menghilang dari pandangan kami.
Butir-butir pertanyaan yang bakal kami ajukan sudah kami susun rapih. Pada saat para wartawan selesai wawancara, giliran kami ‘menyandera’ Amri Yahya ke suatu ruangan yang jauh dari kerubutan para wartawan. Kamipun memulai sebuah wawancara eksklusif.
Apa yang bapak harapkan dari sebuah pameran tunggal ini?
Kami tidak mengharapkan apa-apa. Tetapi inilah seni, yang kami tampilkan agar semua orang tahu tentang seni.
Kalo boleh tahu, lukisan yang dipamerkan ini menganut aliran apa?
Pada dasarnya kami hanya menyuguhkan sebuah media pameran, biar penikmat seni yang menterjemahkan karya ini menganut aliran apa. Banyak kalangan kurator mengatakan ini aliran naturalis, ada juga yang mengatakan lukisan batik dan lain-lain, itu terserah yang menikmati.
Sudah berapa lama melakukan pameran tunggal seperti ini?
Wah sudah sering kita lakukan. Tidak hanya dalam negeri tetapi juga pernah ke luar negeri misalnya di Belanda dan lain-lain.
Mengenai proses melukis itu sendiri, sebenarnya Pak Amri menganut aliran pelukis dari mana?M
Proses melukis setiap orang atau pelukis bisa bermacam-macam, bisa dari pengaruh sang guru, atau pengalaman otodidak dan lain-lain. Kami berpikir setiap karya yang kami pamerkan selalu mendapat perhatian penikmat seni. Dan merekalah yang lebih tahu sebuah karya lukis lahir dari mana.
Ada beberapa obyek lukisan Amri yang mengangkat mengenai Lebak Lebung yang ada di Sumatera Selatan, pesan moral yang dimaksud dalam lukisan itu apa?
Ya Lebak Lebung itu adanya di Sumatera Selatan, ditempat lain tak ada. Mungkin kalau saja ada, mungkin namanya beda. Ada pesan moral dalam hal Lebak Lebung, karena itulah sebuah kebudayaan dan sosial masyarakat Sumsel. Selain daerahnya memang berawa-rawa, sungai-sungai, juga kehidupan di sana banyak sebagai pencari ikan, terutama yang berada di kawasan lebak.
Pak Amri menjadi pelukis terkenal setelah keluar dari wilayah Palembang atau Sumsel pada umumnya. Apa iklim berkesnian di Palembang kurang mendukung?
Sebenarnya seniman bisa hidup dimana saja. Kebetulan di luar Palembang iklimnya sangat mendukung, terutama di Jogjakarta atau Jakarta. Para penikmat seni juga datang dari mana saja. Dari situlah bisa kita ambil kesimpulan bahwa untuk menghargai seni butuh orang-orang yang mengerti tentang seni, minimal mampu menikmati seni. Sebab orang yang beli lukisan, belum tentu mengerti seni, tetapi mereka sangat menikmati seni. Itulah sebuah penghargaan karya seni yang sesungguhnya.
Bagaimana dengan Palembang, apa iklimnya kurang mendukung eksistensi seniman?
Saya tidak mengatakan iklim di Palembang kurang mendukung seniman, tetapi Palembang kota kecil. Untuk melakukan sesuatu yang besar, kita harus melakukannya di kota besar atau yang selama ini menjadi basisnya seniman, yaitu Jogjakarta dan Jakarta. Suatu saat nanti kami akan menggelar pameran di Palembang agar seniman lukis lainnya termotivasi melakukan gebrakan yang sama.
Apa harapan bapak mengenai perkembangan seni budaya di Palembang?
Secara pribadi kami berharap iklim berkesenian bisa menjadi lebih baik, bahkan akan muncul seniman-seniman besar dari Palembang.
Trima kasih atas kesediaan waktunya Pak.
Sama-sama, Dik. Nanti kirim korannya ya.
Ya, Pak.
Habis wawancara ekslusif, kami mengeluarkan kamera dan minta orang lain mengambil foto kami bersama Amri Yahya itu. Foto bersama tokoh penting seperti ini sering kami lakukan sebagai bukti bahwa kami telah berhasil melakukan tugas-tugas jurnalistik dengan baik dari redaktur kami.
Tapi betapa malunya kami setelah tahu bahwa yang kami wawancarai sampai berbuih-buih itu ternyata bukan Amri Yahya, melainkan tim sukses pameran lukis Amri Yahya alias panitia yang kebetulan masih saudara Amri. Kami semakin malu luar biasa ketika teman-teman wartawan lainnya menertawai kami, termasuk tim dari pemerintah provinsi (pemprov) Sumsel yang saat itu memfasilitasi kami ikut bersama rombongan Gubernur Rosihan Arsyad ke Jakarta.
Kami tak bisa berbuat apa-apa lagi dengan foto bersama tokoh pelukis besar Amri Yahya, yang ternyata bukan Amri Yahya. Kami pulang dalam keadaan membawa beban malu luar biasa. Betapa ‘gobloknya’ kami melakukan sebuah kesalahan besar untuk hasil yang besar. Cara eksklusif itu perlu dan penting, tapi bertanya tentang jati diri orang yang kita tanyai, itu jauh lebih penting. Seperti pepatah; malu bertanya sesat dijalan. Ingat itu wartawan muda!
---------------------------------------------
PROYEKSI LIPUTAN
Wartawan peliput : T Junaidi
Nara Sumber : Pelukis Amri Yahya
Hari penugasan : Mei 1996
Tempat : Gedung World Trade Center (WTC), Jakarta Pusat
Redaktur Pelaksana : Anwar SY Rasuan
Seniman Lukis Amri Yahya
Meninggalkan Kita
Perlu diketahui, seniman lukis yang juga guru besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof Dr (HC) Amri Yahya, 65 tahun itu, meninggal dunia, Minggu (19/12/2004) pukul 11.30 WIB. Pelukis batik kelahiran Palembang 29 September 1939, meninggal dunia setelah dirawat di RSUP Dr Sardjito Yogyakata karena mengidap penyakit diabetes militus, jantung dan pau-paru.
Amri Yahya dikenal sebagai pelukis senior dan pecinta seni lukis batik. Dia juga dikenal sebagai guru besar seni rupa di UNY. Meski kelahiran Palembang, Amri lebih dikenal sebagai seniman kota Gudeg sebab telah 45 tahun menetap di Yogyakarta.
Perjalanan menjelang akhir hayatnya, dimulai pada 16 September 2004. Saat itu galeri seni miliknya tempat menyimpan ribuan koleksi lukis dan batik serta buku-buku, terbakar musnah. Amri Yahya yang sudah menderita diabetes sejak 2003, sempat teluka pada bagian tumit kaki kirinya.
Luka kecil itu tak juga mengering. Saat itu, kadar gula Amri Yahya mencapai 390. Karena tak juga mengering, Amri Yahya membawanya ke SUP Sardjito. Sempat dirawat dua minggu di RS tersebut, tim dokter memvonis kaki kiri Amri haus diamputasi.
Menolak keputusan tim dokter, Amri kemudian memilih berobat ke RS Elisabeth Singapura. Di Singapura, Amri sempat dirawat selama enam hari namun kondisinya tetap tak mengalami kemajuan. Karena tidak ada perubahan, akhirnya Amri dibawa pulang lagi ke Indonesia ke RS Sardjito.
Kondisi Amri semakin melemah sejak Jumat (18/12/2003). Amri sempat dirawat di ICU karena ada gejala komplikasi paru-paru. Tiga jam sebelum menghembuskan nafas, tekanan darah Amri Yahya sempat diperiksa dan menujukkan angka 130. Tetapi setelah itu, tekanan darah Amri terus melemah.
Sebelum masuh ICU, Amri Yahya sempat bercanda dengan anak-anaknya. Amri berpesan agar anak-anaknya, meneruskan dan melestarikan kesenian yang sudah dijalaninya selama puluhan tahun itu.
Amri Yahya meninggalkan empat orang anak dan empat oang cucu. Jenazah Amri dimakamkan Senin (20/12/2003) pukul 11.00 WIB di makam keluarga Gampingan Yogyakarta. Sebelum dimakamkan, jenazah Amri disemayamkan di kampus UNY, tempat Amri mengabdi sebagai staf pengajar Seni Rupa.
Perjalanan kesenimanan Amri Yahya dimulai semasa masih menjadi mahasiswa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dan lulus 1959. Amri saat itu juga menempuh pendidikan dan lulus dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta tahun 1971. Amri Yahya juga sempat memperdalam seni keramik di Belanda pada 1979.
Semasa kuliah di ASRI, Amri Yahya telah menggelar pameran atas karya-karyanya sejak 1957. tahun 1972, Amri Yahya mendirikan Amri Gallery di Gampingan, Yogyakarta. Saat itu, Indonesia sedang mempersiapkan diri sebagai tuan rumah Konferensi PATA tahun 1974. (*)
Yunita Ayu
Sumeks
menjadikanku
Selebritis
Ketika penulis meminta saya menceritakan tentang suka duka bersama Sumatera Ekspres, perasaan saya campur aduk karena begitu banyak yang harus diceritakan & semuanya bernilai emas. Rasanya ingin saya ungkapkan detik demi detik perjalanan masa-masa suka & sulit ketika berjuang membesarkan nama Sumatera Ekspres, yang kini lebih popular dengan sebutan SUMEKS.
Pertengahan Mei 1995 pertama kali saya menapak karir di Sumatera Ekspres hanyalah sebagai sales iklan karena hanya bagian itu yang dibutuhkan di sebuah surat kabar lama berbaju baru. Saya menerima pekerjaan itu hanya karena kedekatan rumah dan kantor sehingga saya berpikir tak perlu mengeluarkan ongkos. Ketika itu saya bersama keenam rekan wanita lain diminta untuk bekerja mencari iklan apa saja. Dulu saya berpikir bagian ini paling menyenangkan karena yang terbayang hanyalah cepat mendatangkan uang, karena saya bekerja tidak digaji tapi berdasarkan komisi.
Dengan kemampuan yang masih pas-pasan karena saya baru dibidang ini sedangkan latar belakang kesarjanaan saya di bidang keguruan sungguh sangat bertolak belakang bukan? Tapi disitulah letak tantangannya karena itu saya banyak belajar dan bertanya dengan rekan-rekan wartawan senior bagaimana menjual space iklan di koran. Dulu almarhum Alwi Raden Pandita pernah berkata dengan kami berenam, ‘’…berapapun harga yang ditawarkan konsumen sikat bae, kito ni dak pacak tawar menawar,’’ katanya.
Tiga bulan pertama sejak dilaunching koran Sumeks dilecehkan seorang distributor springbed terbesar zaman itu yang sangat mengunggulkan competitor Sumeks. Saya datang berkali-kali dengan membawa koran Sumeks ke tempatnya dan mungkin puncak kekesalan dia terhadap saya adalah ketika dia berkata, ’’… untuk apo kau datang terus, kau enjuk kami gratis bae dak galak aku nak baconyo, berita kamu tuh galak salah dan basi. Mano dak katek pulo di pasar.’’ katanya. Saya hanya mengurut dada saat itu dan tetap tersenyum. Resiko koran baru di antara persaingan koran mapan. Anda tahu hingga saat ini klien itu tetap mengingat saya dan dia angkat jempol dengan kegigihan seorang sales iklan Sumeks.
Karena Sumeks masih ‘berdarah-darah’ untuk menghidupi karyawannya, maka anak sales iklan tidak diberikan fasilitas apapun, benar-benar mengandalkan kocek sendiri. Saya pun harus berhemat dengan uang komisi yang ada. Saya harus berjalan kaki menyisir pusat bisnis dari jalan Veteran terus ke Kol. Atmo demi menjajakan iklan baris yang notabene dijual seharga 1 bulan berlangganan hanya 25 ribu perak. Berjalan kaki ternyata membuat saya hapal jalan tikus di daerah Veteran, Kol. Atmo hingga Pasar Kentut dan Pasar 16.
Semua toko-toko di sepanjang jalan itu yang belum berlangganan iklan Sumeks saya tawari satu persatu. Ada yang cuek, ada yang berupa ejekan dan ada yang hanya mempermainkan saja, begitu banyak lelaku hari itu yang saya temui. Akhirnya saya dapat juga iklan baris sebanyak 12 toko dan langsung bayar dimuka mungkin karena iba melihat saya yang sudah berpeluh atau karena murahnya, saya tak tahu persis. Kalau ingat itu, saya sangat bangga karena Sumeks menjadikan saya setangguh sekarang ini. Rasanya kata-kata bijak “pengalaman adalah guru yang terbaik” melekat di benak saya hingga kini.
Oh ya ada yang terlupa, satu lagi klien yang hingga kini terus bercerita kepada teman-teman saya dan bahkan dengan Pak Suparno. Adalah Sutrisno, pucuk pimpinan PT. Capela Patria Sentosa, (distributor oli, accu mobil & spare part motor) rasanya dia saksi hidup bagaimana saya berjuang untuk mendapatkan iklan darinya. Karena kantornya sangat jauh, dia memaafkan saya karena telat 1 jam dari janji ketemu karena melihat wajah yang mengkilat, berpeluh & kehausan turun dari kendaraan umum. Dia orang yang sabar dan sangat mengerti perjuangan membesarkan Sumeks. Saya terkadang tersipu malu ketika dia selalu mengobral cerita itu kemana-mana. Dia berjasa menambah pundi komisi saya. Mulanya komisi saya peroleh dari 15 ribu hingga 750 ribu per iklan. Suatu angka yang fantastis bagi sales seperti saya. Dari enam rekan saya yang ada satu persatu mulai berguguran, seleksi alam pun berlaku, tetapi Pak Hartono, koordinator iklan saat itu terus memompa semangat kerja kami.
Pada awal bulan tahun pertama itulah awal kerja keras membangun nama Sumeks dan merebut sebagian saja pelanggan-pelanggan kompetitor. Pemasukan iklan sangat sedikit dan berjalan lambat seiring persaingan dengan kompetitor yang sangat mapan. Di awal tahun pertama ini dengan dukungan sumber daya manusia yang sangat terbatas, divisi iklan maju selangkah demi selangkah. Bagian pemasaran iklan yang jumlahnya sangat terbatas terdiri dari 5 orang tenaga pencari iklan harus bekerja ekstra keras. Karena kenyataan dilapangan sulit sekali untuk melepas imej harian ini yang terlanjur “jelek” di mata masyarakat,. Persepsi masyarakat terhadap harian ini umumnya menganggap sebagai koran kelas dua dibandingkan dengan kompetitor.
Pada awal tahun 1996 terdengar santer isu keretakan di tubuh koran lokal yang sangat laris saat itu. Puncaknya pada awal Februari 1996, kompetitor benar-benar tidak beredar alias tutup hingga waktu yang tidak ditentukan. Sumeks seperti mendapat durian masak yang tidak ada durinya. Saya ingat betul, omzet iklan Sumeks dari uang kecil tersebut terkumpulah 17 juta perbulan hingga 45 juta.
Dengan tutupnya kompetitor artinya Sumeks kebagian kue iklan tersebut dengan serta merta tanpa saringan. Tiba-tiba omzet mendadak naik hingga 700%. Koran Sumeks mendadak kondang dan dicari para pemasang iklan. Omzet yang tiba-tiba melejit inipun membuat kita euphoria menerima order dari segala penjuru mata angin. Ketidaksiapan manajemen membuat administrasi iklan agak sedikit kacau. Pak Hartono sebagai koordinator iklan dan satu orang administrasi kewalahan menangani hal tersebut. Atas inisiatif Pak Hartono karena keterbatasan karyawan, saya pun diminta bantuan mengontrol proses produksi iklan di malam hari & menghindari kesalahan penerbitan. Saya ketika itu sudah mulai mencintai Sumeks walaupun bukan karyawan tetap diminta untuk piket setiap malam. Kalau iklan lagi banyak terkadang saya baru pulang pukul 1 dinihari setelah naik cetak. Saya suka melakukan ini karena dengan begitu bisa lebih dekat dengan rekan wartawan dan saya pun mendapatkan info bakal iklan apa keesokan harinya. (Ha…ha.. ternyata saya kemaruk juga).
Suatu pagi di bulan Mei 1996, saya dipanggil Pak Hartono untuk menghadap General Manager, Suparno (sekarang CEO Jawa Pos Sumbagsel). Ketika itu ruangan Pak Parno (panggilan akrab bos Sumeks) menyatu dengan kamar tidurnya walau hanya disekat tripleks sekeping. Ternyata Pak Parno meminta saya untuk menggantikan posisi Pak Hartono sebagai koordinator iklan. Mengapa dia meminta saya? Pak Parno mengatakan …”Saya sengaja mengambil orang dari posisi yang paling bawah untuk memimpin, karena kamu lebih tahu lika-likunya dan bila staff yang berada dibawahmu melakukan hal-hal tercela & tak terpuji saya yakin kamu lebih dulu mengetahuinya..”, kata Pak Parno.
Sambil tertawa Pak Parno mengatakan bahwa saya akan dikontrak dulu selama setahun dan gajinya jauuuuuuuuuuuh di bawah komisi yang saya terima perbulannya. Ketika itu komisi paling sedikit saya terima 500 ribu bersih, sedangkan karyawan saja hanya digaji 175 ribu perak. (Timpang bukan?).
Jawaban saya saat itu, ‘’Ok pak saya siap, tapi komisi bulan terakhir tetap boleh diambil ya pak?’’ sambil tersenyum malu dan saya harus rela memindahkan klien saya menjadi milik kantor. Saya sangat berterima kasih pada Pak Hartono yang sudah merekomendasikan posisi tersebut. Usut punya usut rupanya Pak Hartono tidak mau terikat sebagai karyawan yang datang pagi pulang sore, dia ingin mandiri. Pak Parno mengusulkan kepada Pak Hartono untuk membuka biro iklan khusus Sumeks. Terbukti setelah lepas beliau mendirikan biro iklan bekerjasama dengan MDP, dan menjadi terbesar diantara biro iklan lainnya hingga saat ini. Kecintaan Pak Hartono untuk terus bersama Sumeks sangat luarbiasa, ia ikut mulai dari Sumeks Jl.Merdeka 1 hingga Km 6,5 sekarang ini.
Menjadi koordinator iklan membuat saya banyak menemui kasus kecil dan besar. Berbagai masalah mulai timbul dari buruknya pelayanan iklan, penilepan uang iklan dari orang dalam hingga ancaman pembunuhan dari klien iklan baris. Kasus iklan baris ini terjadi karena lemahnya pengawasan admin di divisi iklan baris. Masalahnya sangat sederhana klien iklan ini saya hentikan penerbitannya karena sudah 3x menunggak. Pemasang iklan baris itu merasa ada “backing” di bagian admin iklan hingga dapat menunggak. Ia datang dengan amarah dan sambil menunjuk muka saya dan berkata “Cukup lima puluh ribu aku suruh orang habisi kamu ni dan aku ini masih keluarga T …..(menyebut nama preman besar).’’ Saya diam saja dan istifar.
Akhirnya melalui wartawan senior, saya minta dipertemukan dengan preman tersebut. Saya ketemu dengan beliau di restoran Hotel Princess tempat preman besar itu sering kongkow. Preman tersebut sangat marah mendengar cerita saya karena klien saya sudah menjual nama besar keluarganya untuk maksud yang tidak baik. Keadaan justru berbalik, setelah sehari pertemuan dengan preman tersebut, saya dikabari bahwa ia lagi bersama si klien iklan dan minta restu untuk “mengerjai” klien iklan tersebut. Cepat sekali preman tersebut mendapatkan klien iklan baris ini padahal saya tidak memberikan data apapun kecuali nama dan jenis bisnisnya. Saya pun berpesan kepada rekan wartawan tersebut bahwa saya sudah memaafkannya, dan tolong biarkan ia hidup karena saya masih takut dengan TUHAN.
Melihat pelik dan banyak hal yang harus saya pelajari maka manajemen Sumeks memandang perlu untuk menambah wawasan saya dalam manajerial periklanan. Setelah belajar manajemen iklan selama 10 hari di Jawa Pos, Surabaya dan Harian Fajar, Ujung Pandang di tahun 1997, omzet iklan meningkat pesat. Manajemen mengabulkan permintaan saya untuk menambah orang di divisi iklan, mulai admin, desain iklan, kolektor & merekrut sendiri sales-sales iklan guna membenahi semua kekurangan di bagian iklan. Alhasil pada tahun ketiga, Sumeks berhasil masuk dalam jajaran 5 besar di group Jawa Pos, bahkan omzet iklan menduduki peringkat 3. Suatu usaha yang luar biasa dengan semua tim, baik redaksi dan pemasaran. Alhamdulillah meski kompetitor sudah terbit kembali di pertengahan ‘ 97, omzet iklan tetap bertahan. Masyarakat Sumatera Selatan benar-benar sudah menemukan sumber bacaan yang terpercaya dan referensi promosi yang paling efektif & laris manis.
Perlahan tapi pasti per April 97 status saya dari koordinator iklan kontrak dinaikkan menjadi Kepala Bagian dan diangkat sebagai karyawan tetap. Suatu berkah yang luar biasa bagi saya. Karena Sumeks luar biasa juga mempertahankan kualitas produk dan omzet iklan tidak turun dari triwulan II tahun 96 hingga medio 97, maka manajemen memberikan reward kepada karyawannya. Tepat pada 27 – 30 Oktober ‘97 pertama kali Sumeks memberangkatkan karyawannya pelesir ke luar negeri.
Hingga kini karyawan dan wartawan diberangkatkan ke luar negeri secara bergiliran sebagai penghargaan atas semua kerja keras dari tahun ke tahun. Suatu kebanggaan tersendiri bagi saya dan teman-teman seperjuangan dari awal dapat pergi ke beberapa provinsi di Indonesia, Asean, Asia hingga daratan Eropa & Amerika. Bukan hanya karyawan saja yang kita berangkatkan ke luar negeri, beberapa biro iklan Jakarta, Palembang, relasi iklan dan sales iklan pun diberangkatkan ke luar negeri.
Keberangkatan ke luar negeri merupakan stimulus yang sangat bagus, karena sebagai karyawan kalaupun ada uang belum tentu mau ke luar negeri. Rasanya saya semakin terpacu harus meningkatkan omzet, siapa tahu diajak lagi. Setiap tahun manajemen selalu menaikkan target omzet, tapi alhamdulillah semuanya bisa dilampaui. Semua ini tak lepas dari kerjasama tim. Setiap laporan pertanggungjawaban akhir tahun dan proyeksi tahun berikutnya selalu saya tekankan saling berkomunikasi dan sharing antar bagian, baik itu redaksi pemasaran dan iklan itu sendiri. Semua divisi saling bahu membahu berdasarkan fungsinya masing-masing bila antar bagian ada kegiatan. Saya hampir tak percaya bahwa kini tim iklan mampu meraih omzet dari hanya puluhan juta hingga kini tembus 9 digit.
Almarhum H.Mahtum Mastoem (Komisaris) selalu berpesan bahwa setiap manajer di sebuah perusahaan penerbitan pekerjaannya bukan hanya menjual space dan memasarkan produk, tetapi bagaimana kita juga memaintenance dan melayani orang-orang yang ada di seputar pekerjaan kita. Pentingnya menjaga keluwesan pertemanan dan membantu relasi kita mensupport produknya agar laku di pasaran adalah kunci kelanggengan bermitra. Ilmu itulah yang terus saya camkan dalam hati. Beliau selalu mengusulkan untuk mengadakan acara-acara out door dengan melibatkan berbagai mitra. Disamping Sumeks mendapat image yang bagus di mata pembaca, juga para mitra terbantu pemasarannya. Tengoklah ketika pameran multi produk selalu diidentikkan hanya gawean pemerintah, Sumeks berani mendobrak sebagai pionir penyelenggaraan pameran multi produk di hotel & pusat perbelanjaan. Semua pekerjaan ini melibatkan relasi dan mitra iklan Sumeks.
Memasuki abad 21, tepatnya tahun 2000, Sumeks semakin berkibar jauh meninggalkan kompetitor yang ternyata semenjak terbit kembali medio 97 sulit kembali meraih pembaca setianya. Awal Pebruari ’00 Sumeks menempati gedung prestige berjuluk Graha Pena. Rasanya puas melihat gedung megah sebagai wujud fisik atas keberhasilan kerja keras selama 5 tahun pertama. Manajemen pun meminta divisi iklan meningkatkan prestasi dengan target omzet GO 1 M per bulan di tahun itu. Sebuah tantangan yang tak mudah diraih jika tak dilakoni. Tim iklan pun putar otak mencari hal-hal baru untuk dijadikan sumber pemasukan baru. Cikal bakal iklan society pun dimulai dengan judul Mitramonial untuk memenuhi kebutuhan relasi liputan pemberitaan yang sifatnya hanya seremoni. Tidak mudah meyakinkan relasi yang selama ini terakomodir liputan kegiatannya secara gratis. Kini mereka pun harus mengeluarkan budget khusus untuk terekspos di media cetak.
Karena banyaknya permintaan pemuatan foto kegiatan di Sumeks, maka bagian iklan mengganti judul Mitramonial menjadi Society Biz dan rubrik khusus berita bergambar yang tadinya merupakan ruprik kompensasi beli koran yang diasuh redaktur T Junaidi ini laris manis dan dicontoh semua media cetak, baik di Palembang maupun beberapa koran-koran Jawa Pos Group daerah lain. Omzetnya pun lumayan kencang. Setelah itu bagian iklan meluncurkan Mitra Bisnis yang membantu beberapa relasi yang punya budget kecil dapat terekspos juga di Sumeks. Iklan ini pun laris manis karena berbagai kemudahan dan tampilannya dibuat semenarik mungkin.
Kini memasuki usia lima belas tahun, Sumeks merajai persuratkabaran di Sumatera Selatan. Sumeks terus melakukan investasi dengan membuka koran-koran pendamping di kota Palembang, dan semua kabupaten di Sumatera Selatan. Tak mau didahului oleh raksasa media nasional, Sumeks pun meluncurkan PalTV, televisi lokal pertama di Palembang. Sumeks ingin selalu jadi pelopor bukan pengekor. Rasanya belum cukup Sumeks group membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja selain mencerdaskan masyarakatnya sendiri. Sebuah tugas yang sangat mulia dan ini harus tetap dilanjutkan, sebelum titik jenuh berada di ambang mata kita.
--------------------------kata mutiara-----------------------------
Tak ada kerja besar, keringatku sudah kering, sudah kupunguti bercampur debu dan deru, aku merindukan cahaya dalam gelap, yang mampu menembus fajar kadzib-nya, sebab bersama sehelai sisa harapan, belum pupus mengukir esok diatas belanga, kini tertanak sudah untuk aku hidangkan, bahwa perjalanan butuh pengertian….
(teje)
Bersambung ke Sejarah Sumeks decade 1960-1990 (bersama Surya Persindo Group)……
MEREKA
BICARA
Ajmal Rokian
Wartawan SCTV, mantan Wartawan/Redaktur Sumeks 1990-1992
v:shapes="BLOGGER_PHOTO_ID_5313374500909949298">
Mengenang kemajuan Harian Sumatera Ekspress (Sumeks), dari masa ke masa, betul-betul memiliki makna yang sangat berarti bagi yang mau memahaminya. Bak menyimpan harta karun yang amat berharga, gemerlap kemakmuran Sumeks kini mulai menyeruak pada alam faktanya.
Napak tilas perjalanan Sumatera Eksperss awalnya menerawang penuh cobaan. Perjalanan hidupnya jatuh dan bangun. Denyut kehidupannya penuh nuansa cerita, dan akhirnya beginilah hasilnya: Menurut saya, sudah tiba pada maqom kemajuan luar biasa.
Betapa tidak. Sumeks tempo doeloe hidup dalam kesendiriannya dalam kesedihan, yakni koran “lama” yang memerlukan suntikan dana dan manajemen segar. Tapi kini, Sumeks sudah sangat berbeda. Ia sudah didampingi banyak saudara-saudaranya.
Terinspirasi dari kemajuan manajemen Sumeks, sekarang Palembang dan daerah lain semarak menggurita koran baru pasca kemajuan Sumeks sampai ke kabupaten se Sumatera Selatan.
Contohnya Harian Palembang Post, Majalah Monica, Palembang Ekspress, Radar Palembang, hingga bermunculan perusahaan pers-nya di daerah seperti Linggau Post, Prabumulih Pos, Banyuasin Post dll., sampai-sampai terinspirasi pula telivisi lokal yang diberi nama Palembang TV. Ini semua awal mulanya dimanajemen setelah Sumatera Ekpress mengalami kemajuan.
Sebagai mantan wartawan Sumeks di era lama, ketika Sumatera Ekspress akan bangkit di tahun 80-an, saya turut berbangga dengan kemajuan ini. Bagi jajaran Sumatera Ekspres sendiri sepatutnya bersyukur kepada Illahi ya Robbi, atas karunia kemajuan yang dikaruniakan Allah ini.
Ketika Triyono Junaidi (T Junaidi) yang sering disapa rekan-rekan di kantor Mas Teje, meminta kami untuk menanggapi diterbitkannya buku ini, maka pendapat inilah yang pertama harus kami sampaikan. Mudah-mudahan saja penerbitan buku ini adalah satu bentuk rasa syukur jajaran Sumeks kepada Allah karena sudah dikaruniai kemajuan ini.
Hal kedua yang juga penting untuk jadi pengalaman atas kemajuan Sumeks adalah soal kesungguhan dan kegigihan rekan-rekan Sumeks. Dari yang tua hingga yang muda utamanya yang kami lihat dijajaran redaksi Sumeks, kami nilai patut menjadi contoh untuk kemajuan.
Saya tahu betul, teman kami Teje misalnya, ketika bergabung dengan Sumeks lama, Teje awal mulanya bekerja sebagai Editor, Grafis Artistic dan karikaturis bersama Conie C Sema (sekarang wartawan RCTI di Lampung), Haswanda Ferdini, dan Anto Narasoma (sekarang Humas Sumeks). Kemudian Teje ditarik sebagai wartawan muda yang ngebid sebagai wartawan kriminal. Pos liputannya di Poltabes dan Rumah Sakit Umum Palembang (RSUP). Karya jurnalistik pertamanya yang menghebohkan adalah kasus hormon proklatin, yaitu pembesaran payudara seorang ibu yang hampir sebesar bantal guling. Padahal kasus pasien ini sebenarnya sudah lama menginap di RSUP dan tidak diapa-apakan pihak rumah sakit lantaran biaya operasinya cukup mahal, sedangkan si pasien orang miskin.. Karena kejelian Mas Teje melihat dari sisi human interes, maka berita tersebut menjadi perhatian semua pihak, terutama kalangan ibu-ibu PKK, pemerintah dan instansi swasta lainnya. Si pasien akhirnya mendapat sumbangan dana dari masyarakat untuk operasi sampai akhirnya sembuh total.
Kedua karya jurnalistik Mas Teje yang sempat menghebohkan adalah kelaparan warga transmigrasi Airsugihan pada 1991. Berita ini menjadi simpang siur sejumlah media lokal dan Jakarta, terutama mengenai jumlah korban meninggal dunia. Beberapa koran memberitakan 30 warga trans meninggal kelaparan, ada yang menyebutkan tujuh meninggal. Tapi saat itu Teje memberitakan cuma 3 yang meninggal dunia. Tentu saja perbedaan dilapangan ini menjadi perdebatan sampai-sampai Rudini (saat itu Mendagri) mencak-mencak dengan Gubernur Ramli Hasan Basrie. Sementara Teje juga menjadi sumber kemarahan Makmur Hendrik, Redaktur Eksekutif (RE) Sumeks dan Almarhum Alwi Raden Pandita (Pimpinan Umum) serta Helmy Mattury (Pimred). Tapi Teje meski digoblok-goblokan RE dan sejumlah pejabat Sumeks, masih saja ngotot dirinya yang benar. Sampai-sampai Makmur Hendrik menuding wajah Teje dengan ancaman; ‘’Kalau kamu salah, kamu yang aku gantung duluan. Tapi kalau kamu benar, kami semua ikut kamu. Ingat, besok semua unsure muspida akan meninjau ke lokasi,’’ kata Makmur Hendrik. ‘’Saya yang benar, Pak,’’ ujar Teje tanpa ragu.
Esoknya setelah unsure muspida meninjau ke lokasi trans Airsugihan, semua orang yang diberitakan meninggal dunia oleh sejumlah koran kompetitor Sumeks saat itu, melakukan aksi unjuk rasa bahwa dirinya masih hidup. Melihat kenyataan itu, Makmur langsung menyalami Teje setelah sebelumnya hormat dulu seperti tentara. ‘’Kamu hebat. Kamu yang benar!’’ kata Makmur Hendrik. Teje tersenyum-senyum sembari menyodorkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) kepada Makmur Hendrik. Setelah dilihat, betapa terkejutnya Makmur Hendrik, ternyata Teje juga warga trans Airsugihan. Wajar semua sumber berita bisa ditulisnya secara akurat dan benar.
Sebagai karyawan yang serba bisa, Teje benar-benar tidak merasa asing menggeluti dunia koran, mulai Grafis Artistik, Karikaturis, kemudian menjadi petugas setting koran yang saat itu pencetakan Sumeks menggunakan flat. Namun karena kegigihan dan keuletannya, Teje kemudian menjadi wartawan seni dan budaya, berkembang terus menjadi wartawan cukup diandalkan di Sumeks.
Demikian pula di jajaran wartawan tuanya. Pak Haji Dulmukti Djaja (HDD) yang sering dipanggil rekan-rekan kakek misalnya. Jujur saya akui banyak teladan yang kami timba dari dirinya. Sebagai wartawan, saya banyak menimba makna sosok wartawan fotografer Sumeks ini.
Figur fotografer HDD adalah sosok insan pers yang tidak mau berhenti kerja. Meski usianya sudah tua, selalu turun ke lapangan disaat apapun. Tak pandang waktu, tak pandang jauh dekat tujuan, selagi dapat dicapai takkan mundur barang selangkahpun. Padahal HDD sudah selalu disarankan supaya digantikan fotografer muda, namun ia selalu ingin memberikan karyanya berupa foto terbaik kepada pembaca meskipun usianya sudah senja.
Indikator sumber daya manusia (SDM) seperti inilah yang mendukung kemajuan Sumeks. Ada kalangan mudanya yang gigih terus menimba ilmu dan ulet menambah wawasan kewartawanannya dari waktu ke waktu, juga ditopang ketauladanan wartawan senior dari generasi tua idealis seperti forografer HDD.
Variabel ketiga yang menjadikan Sumeks sukses menurut kami manajemen moderen yang diterapkan perusahaan pers yang ditangani saudara kami Suparno Wonokromo. Bidang keredaksiannya berkembang dengan memberikan informasi cepat, lengkap dan yang lebih penting menyejukkan. Selain itu keredaksian gaya socity (yang kali pertama diasuh Mas Teje), yang kemudian banyak ditiru koran lain menjadi paradigma baru bagi dunia keredaksian di Sumsel.
Semangat kemajuan ini semoga menjadi contoh terutama bagi jajaran Sumeks sendiri, yang belum tahu latarbelakang sejarah kemajuan Sumeks hingga sekarang. Kemajuan, yang didasari mau bersyukur pada Allah, ditambah dengan kesadaran ingin maju didukung SDM handal dan manajemen maju itulah diharap menjadi warna baru bagi kemajuan insane pers Sumsel termasuk diri kami, sebagai wartawan yang masih ingin memberikan berita-berita menarik bagi khalayak banyak.
Ahmad Rapanie Igama
Mantan wartawan/redaktur Sumeks 1990-1991.
Sumeks, Sumatera Express, SE, sekarang Sumatera Ekspres (Sumeks) adalah rangkaian huruf yang pernah menandai perjalanan koran ini. Sekalipun perubahan banyak terjadi pada kepemilikan, manajemen, pengelola, kantor, jumlah halaman, warna, dan sebagainya, ada identitas yang tidak berubah darinya. Dia tetaplah sebuah koran terbitan Palembang yang setiap hari memberikan berita terbaru, dinanti pembacanya, berkunjung pagi hari. Porsi berita terbanyak tetaplah kabar dari daerah. Namun, teknologi komunikasi yang canggih dewasa ini menyebabkan dia mampu lebih cepat dan mendalam dalam menyajikan berita; berbeda belasan tahun lalu, kala teknologi informasi tercanggih masih modem, foto-foto masih direpro via Antara yang datang setiap sore hari. Setting ala machintos, dan lay out manual yang melelahkan mata karena sinar lampunya yang mencorong dari balik kaca meja layout. Tapi, kurasa semangat itu sama: menyajikan yang terbaik untuk pembaca dan koran laku karena dibaca orang.
Sumeks berjalan di atas rel mencerdaskan bangsa, mengantar imajinasi orang pada realitas sosial, meniupkan sinyal control sosial, dan memuaskan nafsu orang yang dahaga akan informasi. Lewat tulisan, gambar atau foto. Teknologi pula yang mengubah visualnya menjadi makin menarik. Dahulu, 18 tahun lalu, warna dalam koran masih sangat langka dan mahal. Untung saja hanya 12 halaman sehingga tidak perlu menggerutu karena seluruh halamannya hitam-putih.
Sumeks makin membanggakan. Mungkin juga membanggakan kompetitornya sesama koran karena bersanding dan bersaing dengan koran sebesar Sumeks. Bagiku, koran ini juga makin kuat menjalankan fungsi dan perannya. Dan, para pengelolanya tentu ikut menikmati kebesarannya. Kulihat, teman-teman wartawan makin baik kehidupan ekonominya. Alhamdulillah.
Koran terbesar, sayang, porsi budayanya sangat sedikit. Itupun kebanyakan hanya persoalan seni dan sastra. Sorry, barangkali ini egoku saja. Tapi tolong, kalau bisa “loyang” kebudayaannya agak besar lagi, sehingga pantas meletakkan “kue” yang besar pula. Koran terbesar di Sumsel, honor bagi penulis dari luar juga terbesar kan? Kalau belum, tolong juga diperhatikan, agar penulis-penulis lokal tumbuh dan berkembang. Bagaimanapun di era penetrasi kapitalisme yang luar biasa ini, “doku” dapat menjadi pemicu persaingan intelektual.
Terakhir ini harapanku. Karena terlalu panjang jika lewat narasi prosa, aku tulis puisi saja. Semoga semakin jelas.
Perahu berlayar. Dermaga. Dermaga lagi.
Meniupkan kabar lewat angin. Memasuki celah hati.
Seperti cahaya menyusup hijau daun. Rumput-rumput
mencengkeramkan lagi akar-akarnya.
Kau tahu, panah itu mesiu. Melepaskan humus-humus tanah.
Mencerabut akar-akarnya. Rootness.
Perahu itu hilir mudik. Tolong hantar kami ke huluan.
Mencari bibit rumput. Menghijaukan halaman rumah,
Kantor, lapangan bola, hingga hati dan pikiran kami.
Tolong hantar kami pada muara. Agar luas menatap matahari.
Dahsyat terombang ambing ombak malam.
Lalu bersyukur berjumpa pagi.
Tolong hantar pada dermaga kasih dan martabat.
Hingga damai tanpa lewat kebencian
Bertahta tanpa harus menginjak-injak
Dan duduk tanpa harus merebut kursi.
Terima kasih.
Selamat Ulang Tahun Sumeksku.
Semoga jaya bersamamu.
Drs Ismail Djalili
Tanpa Pejuang, Sumeks
Tidak Ada Apa-apanya
Harian Sumatera Ekspres (Sumeks), memang luar biasa. Keberhasilan Sumeks menembus ruang dan waktu, patut dijadikan tauladan. Ada beberapa sisi yang bisa kita cermati, terutama detik-detik membangun Sumeks hingga besar seperti sekarang ini. Memang tidak sederhana seperti ditulis saudara kita Triyono Junaidi (Teje), yang merupakan wartawan paling muda era Sumeks bersama Surya Persindo dan salah satu perintis dalam era Jawa Pos Group bersama Anto Narasoma.
Ketika saya menghadiri pelantikan pengurus PWI di Griya Agung Maret 2009 lalu, Penulis buku ini langsung menemui saya dan bercerita mengenai perkembangan pers dulu dan sekarang. Penulis lantas meminta saya memberi tanggapan mengenai buku Sejarah Sumeks.
Seperti saya bilang tadi, Sumeks memang luar biasa. Kemajuannya sangat cepat, bahkan terus berkembang membangun jaringan koran-koran di daerah tingkat II kota Kabupaten. Ini sebuah era baru yang menghendaki informasi datang lebih cepat. Selain membuat koran sesuai dengan karakter daerah di Sumsel ini, juga merupakan gebrakan yang sangat cerdas dan mampu memosisikan sebagai sebuah koran dengan pendekatan emosional pembaca.
Sejak 1 Juni 1995, saya ingat betul, manajemen Sumeks benar-benar serius membenahi manajemen keredaksian dan lain-lain. Calon wartawan serta karyawan diberikan pelatihan dalam bidang redaksi dan manajemen, agar mereka mengenal bisnis dan jurnalistik di kantor Jawa Pos Surabaya dalam 15 hari.
Kesejahteraanpun meningkat baik bagi dirinya dan wartawannya. Tahun 2000 Saat Sumeks melancong ke Malaysia, saya menemui Alwi R Pandita (almarhum) beserta keluarga dan rombongannya di hotel Intiana Kuala Lumpur. Beliau berkata “ Kau masih di sini kapan tamat, sekolah terus, dan dimano tempat kuliah itu?’’ saya jawab tolong do’a mungkin sebentar lagi, kampusnya agak jauh dari hotel ini.
Sumeks setelah terbit kembali jadi harian, Wak Alwi (saya selalu menyebut) merasa senang dan berharap tetap terbit. Kini Kelompok Sumatera Ekspres bukan hanya suratkabar, tapi perusahaan multi bisnis. Secara tidak langsung koran ini mengajarkan masyarakat Sumsel mengenal lebih dekat Sumsel, dunia periklanan, menumbuhkan minat baca, minat beli, dan menjadikan Sumeks sebagai media komunikasi antara masyarakat Sumsel dan luar Sumsel. Disisi lain Sumekspun telah memberikan pelayanan masyarakat yang cukup baik. Masyarakat memilikinya.
Saya setiap tahun mengajak mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi berkunjung ke koran ini dan diterima langsung beliau dengan pintu terbuka. Salah seorang tokoh penerbitan harian untuk Palembang dialah orangnya, saya kenalkan kepada mahasiswa. Dengan majunya Sumeks secara tidak langsung membawa manfaat bagi diri saya pribadi dan lembaga tempat saya mengajar. Mahasiswa dapat melihat langsung kerja jurnalistik, proses pencetakan koran, alat cetak, teknologi komputer, dan cara pelayanan personil Sumeks yang kekeluargaan. Semuanya berkat wak Alwi yang dengan ikhlas menyerahkan manajemennya kepada Jawa Pos. Tanpa tuntutan ini dan itu. perjuangannya menjadi nyata.
Alwi selalu ingin memajukan wartawannya, dia berpesan urusi wartawan Sumeks yang kuliah tempat kau. ( maksudnya di Stisipol Candradimuka Palembang). Dia juga selalu mengontrol wartawannya untuk menjadi anggota PWI dan membayarkan iurannya. Tahun 2002 saat saya tamat S3, sayapun mengucapkan terima kasih kepada keluarga Sumeks. Dengan bergurau saya mau melamar kerja di Sumeks, dan dengan tegas dia menolak dan berkata “Aku dak sanggup bayar kau yang tamatan sekolah itu. Aku ini dak makan sekolah,” ujar Wak Alwi saat itu.
Terakhir, 12 Desember 2004 saya ketemu beliau beserta istrinya di pesta pernikahan anak wartawan H. Asdit Abdullah, dan hanya bilang, Hei…kau, ketika menyalaminya. Rencana Libur Natal akan bezuk di RK Charitas, tapi 24 Desember beliau (68 th) telah berpulang kepangkuan Illahi. Inalillahi Wa Ina Illaihi Rojiun.
Kita tidak bisa lupa, Sumeks ada karena berkat perjuangan beliau dan teman-temannya yang lain. Tanpa mereka, Sumeks tidak ada apa-apanya. Bahkan tidak ada sebutan koran terbesar di Sumbagsel atau raksasa koran daerah…
Komentar