14/03/2003 13:01 - Kasus Penipuan
Wartawan Bohongan Memeras Pejabat Sumsel Ratusan Juta
Liputan6.com, Palembang: Kartu pers memang ampuh sebagai akses untuk menemui narasumber. Tapi, bukan senjata untuk memeras seperti yang dilakukan mereka yang dicap bodreks alias jurnalis tanpa media massa. Apalagi bagi wartawan yang mencatut nama media besar untuk memalak sumber, seperti yang dilakukan Ali Sugro. Untunglah aksi pria ini berakhir setelah pengusaha yang dipaksa, melaporkan masalah ini ke kepolisian. Dalam sejurus, wartawan gadungan itu dibekuk polisi di Palembang, Sumatra Selatan, baru-baru ini.
Ali memang licin bak belut. Lihat saja, berbekal kartu pers dari Pemerintah Kota Palembang yang ditempeli logo Kompas dia menemui Kepala Dinas Koperasi Sumsel yang sedang bermasalah. Tak mau perkara ini diekspos besar-besaran, sang pejabat memberikan duit Rp 120 juta. Berhasil menipu, aksi ini diteruskan dengan memalak Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumsel, Kepala PT Kereta Api Indonesia Sumsel dan anggota DPRD setempat. Dari mereka dia mendulang fulus puluhan juta.
Modus penipuan di daerah lain lagi, di sana, dia mengaku koresponden televisi. Dengan kamera video tua yang tak pernah dipakai stasiun tv, dia memeras pejabat daerah. Lucunya, dia menempelkan logo Indosiar di badan kamera dan lambang RCTI di alat pendengarnya. Kombinasi yang tak lazim memang. Tapi, tetap saja bagi orang di daerah itu cukup meyakinkan bahwa Ali adalah wartawan betulan. Dia juga sering mengaku sebagai koresponden SCTV.
Namun, dia kena batunya ketika memeras seorang pengusaha. Tak sudi memberikan duit, pengusaha ini menghubungi perwakilan harian Kompas--media massa yang dicatut Ali-- untuk mendapat kepastian. Ternyata, jawaban dari Kompas menguatkan kecurigaannya bahwa pemerasnya adalah wartawan bohongan.
Ketika polisi membuka data Ali, ketahuan bahwa pria yang juga berpura-pura sebagai wartawan majalah mingguan Tempo ini adalah residivis dalam kasus serupa. Bahkan, gara-gara menipu dengan mengaku sebagai wartawan tersebut, dia dipenjara di Pangkal Pinang dan Batam. Pria bertato itu mengaku tak jera melakukan kejahatan sejenis karena harus menghidupi dua istri dan enam orang anak.
Ulah Ali persis seperti yang dilakukan Budi Sugito, Supriyanto, Yadi Suwarno, dan Tri Haryanto yang dilaporkan memeras sejumlah pabrik dengan mengaku sebagai wartawan. Untuk memuluskan aksinya, mereka menggunakan beberapa kartu pers antara lain Gema Patria, Purna Yudha, Media Karya, harian Solo Pos, tabloid Poros serta kartu anggota Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia.
Akhirnya, kedok mereka terbongkar setelah pimpinan PT Indo Dekor Tugu yang mendapat proposal pengajuan bantuan dana dari pengurus anak cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tugu sebesar Rp 4,5 juta. Setelah mereka mengecek, pengurus PDI-P setempat membantah mengajukan proposal itu. Buntutnya, kawanan ini diserahkan satuan tugas PDI Perjuangan ke Markas Kepolisian Kota Besar Semarang, Jawa Tengah [baca: Empat Wartawan Gadungan Ditangkap].(TNA/Ajmal Rokian)
http://www.liputan6.com/news/?id=51216
Wartawan Bohongan Memeras Pejabat Sumsel Ratusan Juta
Liputan6.com, Palembang: Kartu pers memang ampuh sebagai akses untuk menemui narasumber. Tapi, bukan senjata untuk memeras seperti yang dilakukan mereka yang dicap bodreks alias jurnalis tanpa media massa. Apalagi bagi wartawan yang mencatut nama media besar untuk memalak sumber, seperti yang dilakukan Ali Sugro. Untunglah aksi pria ini berakhir setelah pengusaha yang dipaksa, melaporkan masalah ini ke kepolisian. Dalam sejurus, wartawan gadungan itu dibekuk polisi di Palembang, Sumatra Selatan, baru-baru ini.
Ali memang licin bak belut. Lihat saja, berbekal kartu pers dari Pemerintah Kota Palembang yang ditempeli logo Kompas dia menemui Kepala Dinas Koperasi Sumsel yang sedang bermasalah. Tak mau perkara ini diekspos besar-besaran, sang pejabat memberikan duit Rp 120 juta. Berhasil menipu, aksi ini diteruskan dengan memalak Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumsel, Kepala PT Kereta Api Indonesia Sumsel dan anggota DPRD setempat. Dari mereka dia mendulang fulus puluhan juta.
Modus penipuan di daerah lain lagi, di sana, dia mengaku koresponden televisi. Dengan kamera video tua yang tak pernah dipakai stasiun tv, dia memeras pejabat daerah. Lucunya, dia menempelkan logo Indosiar di badan kamera dan lambang RCTI di alat pendengarnya. Kombinasi yang tak lazim memang. Tapi, tetap saja bagi orang di daerah itu cukup meyakinkan bahwa Ali adalah wartawan betulan. Dia juga sering mengaku sebagai koresponden SCTV.
Namun, dia kena batunya ketika memeras seorang pengusaha. Tak sudi memberikan duit, pengusaha ini menghubungi perwakilan harian Kompas--media massa yang dicatut Ali-- untuk mendapat kepastian. Ternyata, jawaban dari Kompas menguatkan kecurigaannya bahwa pemerasnya adalah wartawan bohongan.
Ketika polisi membuka data Ali, ketahuan bahwa pria yang juga berpura-pura sebagai wartawan majalah mingguan Tempo ini adalah residivis dalam kasus serupa. Bahkan, gara-gara menipu dengan mengaku sebagai wartawan tersebut, dia dipenjara di Pangkal Pinang dan Batam. Pria bertato itu mengaku tak jera melakukan kejahatan sejenis karena harus menghidupi dua istri dan enam orang anak.
Ulah Ali persis seperti yang dilakukan Budi Sugito, Supriyanto, Yadi Suwarno, dan Tri Haryanto yang dilaporkan memeras sejumlah pabrik dengan mengaku sebagai wartawan. Untuk memuluskan aksinya, mereka menggunakan beberapa kartu pers antara lain Gema Patria, Purna Yudha, Media Karya, harian Solo Pos, tabloid Poros serta kartu anggota Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia.
Akhirnya, kedok mereka terbongkar setelah pimpinan PT Indo Dekor Tugu yang mendapat proposal pengajuan bantuan dana dari pengurus anak cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tugu sebesar Rp 4,5 juta. Setelah mereka mengecek, pengurus PDI-P setempat membantah mengajukan proposal itu. Buntutnya, kawanan ini diserahkan satuan tugas PDI Perjuangan ke Markas Kepolisian Kota Besar Semarang, Jawa Tengah [baca: Empat Wartawan Gadungan Ditangkap].(TNA/Ajmal Rokian)
http://www.liputan6.com/news/?id=51216
Komentar
Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Sungguh ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung dibawah 'dokumen dan rahasia negara'. Lihat saja statemen KAI bahwa hukum negara ini berdiri diatas pondasi suap. Sayangnya sebagian hakim negara ini sudah jauh terpuruk sesat dalam kebejatan moral suap. Quo vadis Hukum Indonesia?
David