Sumber : rakyatmerdekaonline.com
Pidato SBY mengenai krisis di Partai Demokrat, utamanya terkait skandal korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Umum Muhammad Nazaruddin, di Puri Cikeas, Bogor, Senin kemarin (11/7) berpotensi mengancam kebebasan pers.
LBH pers (Non Litigasi), Kontras, ICW, YLBHI, LBH Jakarta, AJI Jakarta dan elemen masyarakat sipil lainnya, menyampaikan kegeramannya dengan pernyataan SBY tersebut. Mereka mengecam keras pidato SBY, yang mempertanyakan prosedur kerja jurnalistik dan kredibilitas media yang memuat berita mengenai Nazaruddin, bernada tendensius.
"Pidato Yudhoyono bisa ditafsirkan sebagai ancaman terhadap kebebasan pers," demikian pernyataan sikap mereka yang diterima Redaksi (Rabu, 13/7).
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 telah jelas menerangkan fungsi Pers. Pada Pasal 33 aturan itu disebutkan bahwa pers berfungsi sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, pembentuk opini, media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi.
Disebutkan pula, pada Pasal 6 UU Pers, bahwa pers nasional bertanggungjawab melaksanakan sejumlah peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran itu, antara lain: memenuhi hak masyarakat untuk tahu, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
"Di semua negara demokrasi, pers adalah "anjing penjaga (watchdog)" kekuasaan. Keberadaan pers penting untuk memastikan hak-hak rakyat terlindungi dan pemerintah tidak menyalahgunakan kekuasaan secara sewenang-wenang," lanjut mereka.
"Pemberitaan media mengenai skandal Nazaruddin dan Partai Demokrat ada dalam koridor tersebut. Kali lain, berdasarkan pesan pendek dan BlackBerry messenger, media bisa mengungkap masalah berbeda: mulai soal kelaparan di daerah terpencil di Papua sampai penindasan umat minoritas seperti kaum Ahmadiyah," mereka mencontohkan.
Karena itu, Presiden Yudhoyono seharusnya tidak mengecam media hanya karena kredibilitas keluarga dan partainya terusik oleh pemberitaan. SBY sepatutnya berterimakasih, karena media massa bisa memberitakan apapun dengan leluasa, tanpa sensor dan teror.
"Meski disampaikan dalam kapasitas sebagai Pembina Partai Demokrat, dia seharusnya menyadari bahwa khalayak menilai jabatan Presiden melekat dalam dirinya. Sudah sepatutnya, sebagai kepala negara, Yudhoyono mampu menahan diri," tandasnya. [dem]
Rabu, 13 Juli 2011
Laporan: Ade Mulyana
Komentar