Mengeluh dan Kebebasan Pers
Penulis : Editorial Sinar Harapan [ 2 Komentar ]
Hari-hari ini kita menyaksikan “perang terbuka” antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan pers. Kita katakan “perang terbuka” dalam tanda kutip karena ini bukanlah perang sesungguhnya. Hal tersebut sebenarnya adalah gayung bersambut antara keluhan Presiden yang merasakan perlakuan tidak adil media terhadap dirinya dan Partai Demokrat (Senin, 11/7) yang disambut Ketua Dewan Pers, Prof. Bagir Manan. Bagir mengatakan bahwa pers telah melaksanakan tugasnya dengan benar. Menurut Bagir, kalau SBY merasa dirugikan, dia bisa mengajukan keberatan melalui Dewan Pers.
Adapun keluhan SBY itu—yang bukan sekali ini saja dilontarkan olehnya—karena pers mendasarkan pemberitaan dari pesan-pesan SMS atau Blackberry Messenger yang merugikan Partai Demokrat. Juga, berbagai pemberitaan seputar Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat yang menjadi tersangka sejumlah kasus korupsi, disebutnya sebagai tendensius dan bagian dari permainan politik tidak sehat.
Menurut hemat kita, janganlah SBY (entah dalam kapasitasnya sebagai presiden atau sebagai ketua dewan pembina Partai Demokrat) mengeluh seperti itu. Hal itu tidak patut dipertontonkan oleh seorang pemimpin negara sebesar Indonesia. Seharusnya, kalau SBY ingin menghentikan berbagai ketidakpastian akibat ulah Nazaruddin, dia bisa mengerahkan segala daya yang ada sebagai seorang Presiden Republik Indonesia untuk menangkap Nazaruddin. Namun nyatanya sampai kini hal itu tidak terjadi.
Kasus Nazaruddin itu pun makin memperlihatkan dia tidak mampu mengendalikan sepak terjang para kadernya. Secara kasatmata kita menyaksikan perpecahan dan faksionalisme di tubuh partai itu. Jadi, sangat wajar kalau orang bertanya: kalau partainya sendiri pun tidak mampu dikendalikannya, bagaimana pemerintahan dan negara dikendalikan? Untuk itu, pesan kita kepada SBY adalah: berhentilah mengeluh ke rakyat, sebaliknya, tampilkan sifat seorang panglima perang yang tangguh.
Pada kesempatan ini pula kita juga ingin mengingatkan pada mereka yang punya kekuasaan bahwa dalam Deklarasi Windhoek, 3 Mei 1991, dinyatakan bahwa kebebasan pers merupakan sebuah fondasi penting bagi masyarakat yang demokratis. PBB meneguhkan deklarasi itu dalam Sidang Majelis Umum pada 20 Desember 1993, yang kemudian menjadikan tanggal 3 Mei itu sebagai World Press Freedom Day. Jangan sampai keluhan SBY itu kemudian dijadikan alasan bagi para aparat yang ingin menjilat untuk kembali memberangus kebebasan pers di Indonesia dengan berbagai cara.
Karena langkah-langkah represif terhadap kemerdekaan pers itu dapat mengambil bentuk penyensoran terhadap produk publikasi, denda gila-gilaan, pelecehan dan kekerasan, bahkan pembunuhan terhadap wartawan ketika mereka menjalankan tugas jurnalistik. Jadi, bila SBY tidak puas terhadap pers, janganlah dia melampiaskannya dalam bentuk tindakan-tindakan represif itu. Tanggapan Dewan Pers terhadap keluhan SBY itu menegaskan kembali bahwa dalam pemberitaan seputar kemelut yang melanda Partai Demokrat dan Nazaruddin itu, pers Indonesia sudah bekerja sesuai kode etik wartawan dan profesional.
Haruslah disadari kalau pers begitu gencar menyoroti Partai Demokrat tak lain karena partai itu adalah pemenang pemilu, presiden yang memimpin juga dari partai itu, sehingga bila partai ini brengsek, maka kebrengsekan pula yang akan dituai bangsa ini. Jadi pers sudah menjalankan peran kontrol sosialnya dengan baik, supaya kebrengsekan itu tidak terjadi. Peliputan juga dilakukan untuk menagih janji para tokoh Partai Demokrat yang pernah mengampanyekan “Katakan 'tidak' pada korupsi”. Ternyata, makin hari makin terkuak kelakuan koruptif sejumlah kadernya.
Seharusnya SBY menilai hal-hal yang dilakukan media itu dalam rangka menegakkan good governance, di mana dalam dua kata itu termaktub makna: akuntabilitas dan transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan berbagai kebijakan publik. Jadi, tak mungkin good governance dapat tercapai tanpa partisipasi media dan kebebasan masyarakat mendapatkan akses informasi.
Jadi, upaya media menguak dugaan-dugaan korupsi para oknum kader Partai Demokrat melalui pengakuan-pengakuan Nazaruddin adalah juga demi mewujudkan good governance itu. Ini sekaligus juga mengingatkan SBY pada janjinya sendiri: “saya akan memimpin sendiri upaya pemberantasan korupsi”. Bayangkan kalau saja dahulu presiden pertama RI Soekarno, yang keluar masuk penjara dan diasingkan Belanda, kerjanya mengeluh, tentu proklamasi kemerdekaan kita bisa-bisa tidak berumur panjang karena rakyatnya jadi ikut loyo.
Komentar