Jakarta
Jurnas.com | TINDAKAN kekerasan masih menjadi ancaman serius bagi wartawan Indonesia. Selama kurun waktu Juli 2010 hingga Juli 2011 Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat 65 tindak kekerasan dalam berbagai bentuk menimpa wartawan Indonesia.
Demikian dikatakan Ketua AJI Nezar Patria dalam sambutannya pada peringatan hari ulang tahun AJI ke-17 dengan tema Ekspresi di Tengah Represi di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Jumat (8/7). Kondisi tersebut kata Nezar sangat ironis saat Indonesia telah mengecap 12 tahun masa reformasi.
Ini membuktikan perlindungan atas kerja wartawan belum sepenuhnya tercapai. “Meningkatnya kasus kekerasan terutama pembunuhan wartawan yang tak terungkap serta aksi penganiayaan, pemukulan, intimidasi dan teror telah menempatkan kebebasan pers di Indonesia terancam bahaya,” kata Nezar.
Beberapa kasus kekerasan terhadap wartawan diantaranya yang menimpa Pemimpin Redaksi Mingguan Pelangi Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Jubi Jayapura Adriansyah Matrais dan wartawan Radar Bali Anak Agung Prabangsa.
Ketiganya ditemukan tewas dalam kurun waktu Februari 2009 hingga Desember 2010. “Mereka terbunuh karena membongkar skandal korupsi. Bekerja ditengah gelombang korupsi yang menjalar ke daerah,” ujar Nezar.
Anak Agung Prabangsa tewas karena hendak membongkar skandal korupsi pembangunan sekolah di Bangli, Bali. Sedangkan Alfret dilaporkan tewas terbunuh setelah mencoba membuat laporan investigasi penyelundupan BBM. Kematian Adriansyah masih belum bisa dikuak sampai saat ini alias masih menjadi misteri meski ada aroma dugaan pembunuhan.
Ditengah ancaman kekerasan terhadap wartawan, tindakan hukum terhadap kekerasan tersebut juga lemah. Sejumlah kasus terancam masuk dalam peti besi dan berakhir pada impunitas yang berarti membebaskan pelaku kekerasan dari tanggung jawab hukum. “Impunitas ancaman yang lebih besar dari kekerasan itu sendiri,” ujar Koordinator Divisi Advokasi AJI Marjono sekaligus menambahkan lebih dari 665 kasus kekerasan selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hanya 13 kasus yang pelakunya dihukum.
Selain ancaman kekerasan, kebebasan pers juga terancam dengan sejumlah regulasi seperti RUU Rahasia Negara dan pasal pencemaran nama baik yang bercokol di KUHP. Menurut Nezar, kondisi yang ada menjadi sinyal merah bagi kebebasan pers.
Apalagi berdasarkan laporan badan internasional pemantau kebebasan pers Reporter Sans Frontier (RSF) yang berbasis di Paris, Indonesia berada di peringkat 117 dari 178 negara. Peringkat itu melorot jauh dibandingkan tahun sebelumnya dimana Indonesia berada di peringkat 101.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini AJI juga menganugerahkan Udin Award dan Tasrif Award. Udin Award dan Tasrif Award masing-masing dianugerahkan kepada kontributor Sun TV Ridwan Salamun dan Tessa Piper, warga negara Inggris yang membantu perjuangan mewujudkan kebebasan pers di Indonesia sejak era Orde Baru.
Ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus Ridwan Salamun dinobatkan sebagai musuh kebebasan pers tahun 2011. “Hakim seperti ini yang membuat pembunuhan terus berulang dan kekerasan tidak berakhir,” kata Mujiono.
Komentar