Para insan pers bicara tentang jurnalisme damai.
Di tengah derasnya arus pemberitaan
yang ingar-bingar dengan berbagai dimensi, pers diingatkan supaya
tetap berpegang teguh pada prinsip kebenaran dan keadilan, serta
menciptakan suasana sejuk dan damai di tengah masyarakat. Dalam
rangka itulah, pers juga wajib menggalakkan jurnalisme damai.
Refleksi kali ini diangkat oleh SH
dalam artikel ini, sekaitan dengan HUT ke-52 Sinar Harapan pada hari
ini, 27 April 2013. Jurnalisme damai atau peace journalism dipilih
sebagai topik karena kedamaian akan menciptakan kesejahteraan hidup.
Maka, karya jurnalistik janganlah membangkitkan permusuhan ataupun
memancing balas dendam dari pihak yang bertikai.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto yang dihubungi SH
mengemukakan jurnalisme damai merupakan pola yang komprehensif. Tugas
media massa seharusnya tidak semata-mata menggambarkan sebuah
peristiwa belaka, melainkan menangkap dan mendalami permasalahannya.
Jadi bukan hanya mengungkit
permukaannya atau sekadar menyampaikan informasi. Untuk itu, mereka
wajib mewawancarai lebih banyak orang, tetapi bukan hanya dari
kalangan elite melainkan juga masyarakat. Diakui pola ini menuntut
kemampuan lebih dari setiap wartawannya untuk mendalami setiap
masalah.
“Jadi bukan sekadar cover both side.
Pola berimbang memang melibatkan dua pihak, tetapi ini tidak cukup
kalau hanya melibatkan kalangan elite yang bertikai. Suara rakyat
juga harus didengarkan, biarpun suara rakyat tidak selalu benar,”
katanya. Ini karena kalau pers hanya menampung suara elite, bisa jadi
itu hanya menampung kepentingan tertentu di balik peristiwa.
Menurut Haryanto, media yang menerapkan
jurnalisme damai akan memiliki keuntungan jangka panjang, karena oleh
masyarakat tidak akan dicap sebagai pembela satu kelompok tertentu.
Akibatnya, dengan sendirinya kredibilitas media tersebut terjaga, dan
akhirnya akan menarik para pengiklan.
Selain itu, secara jangka panjang
setiap orang akan memahami konflik dengan cara yang elegan, bukan
dengan kekerasan. “Sebab konflik tidak perlu dihindari, tetapi
justru perlu didiskusikan,” katanya. Haryanto menambahkan, prinsip
jurnalisme damai sama dengan jurnalisme pada umumnya, yakni akurat,
berimbang, dan independen. Hanya saja jurnalisme damai dijalankan
dengan persfektif yang lebih mendalam.
Di Indonesia, jurnalisme damai mulai
digalakkan awal 2000-an, saat terjadi konflik di Ambon. “Kebetulan
saya membuat manual pertama tentang jurnalisme damai,” ungkapnya.
Memberikan Harapan
Sementara itu Aristides Katoppo, tokoh
pers sekaligus Redaktur Senior Sinar Harapan, memberi masukan bahwa
wartawan sekarang maunya ready meat atau siap saji. Kebanyakan media
mengikuti pola umum, yakni wartawan menyoroti sebuah konflik hanya
dari kacamata kedua belah pihak yang sedang bertikai. Padahal,
konflik terkait banyak hal, termasuk adanya pihak ketiga yang menjadi
korban pertikaian itu.
“Jangan cuma melihat hitam-putihnya. Jangan melaporkan sesuatu yang
ada di permukaan saja. Jadi, carilah sesuatu yang mendalam yang bisa
membuat suasana sejuk, berita yang memihak pada kebenaran dan
keadilan,” ujarnya.
Menurut Tides—panggilan akrab Aristides Katoppo—wartawan
cenderung meminta keterangan dari salah satu pelaku, pengamat,
ataupun saksi. Tapi hanya keterangan verbal dan kurang melakukan
pengamatan di lapangan atau investigasi. Akibatnya, kebanyakan
beritanya talking news atau pernyataan narasumber.
Ia juga menegaskan jurnalis semestinya mencari narasumber yang
memberikan harapan bagi manusia atau kehidupan. “Jangan cuma
mengutuk kegelapan, tapi carilah titik-titik terang, carilah akarnya.
Ibarat mencari emas di pinggir kali, tidak akan ketemu. Makanya
wartawan harus giat dan tekun mencari,” pesannya.
Aristides
mencontohkan, Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta salah
satunya karena pemilihnya menaruh harapan pada Jokowi mengenai isu
yang sama, yaitu banjir di Ibu Kota, kemacetan lalu lintas,
kesemrawutan pedagang kaki lima (PKL), dan transportasi umum.
Seperti
moto SH "Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran dan
Perdamaian Berdasarkan Kasih", menunjukkan orientasi pada
kepentingan umum. Kepentingan umum menyangkut kepentingan orang
banyak, misalkan orang-orang yang masih hidup di bawah garis
kemiskinan. Bagaimana perjuangan hidup masyarakat kalangan bawah, itu
menarik untuk diungkapkan.
Kalau pers ingin membantu memecahkan suatu masalah, yang utama adalah
mengetahui akar masalahnya. Tetapi yang terjadi, wartawan cenderung
menjadi “jaksa penuntut umum” yang menuding atau mencari kambing
hitam. Seolah-olah semakin nyaring teriakannya akan makin didengar.
Padahal seharusnya tidak hanya berteriak tetapi juga menggunakan
nada, lanjutnya.
“Nada itu penting untuk menggugah
guna memperbaiki sesuatu yang timpang. Nada yang ke arah suasana
damai, sejuk. Untuk apa kita bakar sesuatu yang sudah panas? Itu
tidak akan menyelesaikan masalah. Wartawan perlu menggugah, bukan
menggugat,” imbuh Aristides.
Namun, menurut Aristides, mayoritas wartawan sekarang belum
menyampaikan fakta. Sebetulnya, fakta dan opini dipisahkan. Fakta
harus diuji, diverifikasi, dan dicek. Sementara itu opini berarti
desas-desus yang belum jelas, tidak ada sumbernya. Mungkin
desas-desus itu sebagian benar. Tapi ibarat api yang menyala 1 meter,
asapnya bisa 100 meter.
“Saya mungkin bisa dibilang konvensional, kuno. Sering kali yang
dimunculkan di media adalah opini. Saya tidak pukul rata, tapi
wartawan sekarang makin kurang disiplinnya,” lanjut Aristides. Ia
juga menekankan berita harus bermanfaat bagi orang banyak.
Pendapat agak berbeda dikemukakan
anggota Dewan Pers yang juga mantan Ketua Umum Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Nezar Patria. Ia tidak memungkiri ada beberapa media
yang kerap menyajikan judul berita bernada provokasi. Namun selama
pemberitaannya tidak melanggar kode etik, itu hanyalah gaya penulisan
media tersebut.
Ia meyakini semua wartawan memahami
tugas utamanya adalah memberikan fakta dan kebenaran kepada
masyarakat. Apalagi, hal ini sangat jelas diatur dalam Undang-Undang
Pers.
"Pada pemberitaan di daerah rawan konflik, wartawan
sekarang mulai bisa mengendalikan diri untuk membuat berita yang
tidak sekadar memberikan fakta, tapi juga tidak memprovokasi pembaca.
Wartawan sudah cukup bisa dikontrol sehingga pemberitaan mereka tidak
memperkeruh keadaan," kata Nezar kepada SH.
Ia melihat
jurnalisme damai harus berpedoman pada kode etik jurnalistik. Namun,
ditambah suatu pemahaman tentang konflik yang sedang terjadi. Untuk
itu, wartawan harus melakukan riset supaya memahami peta konflik atau
apa yang menjadi dari akar konflik.
"Dengan demikian ketika menulis
dan mewawancarai narasumber, dia bisa memilah informasi apa yang
kondusif ke arah perdamaian dan dapat menghentikan konflik,”
tuturnya.
Menurut Nezar, kebanyakan wartawan tidak berniat buruk
dalam membuat sebuah berita. Hanya saja kurangnya pemahaman mengenai
konflik terkadang membuat publikasinya justru memperparah keadaan.
"Jadi, yang pertama harus memahami persoalan. Kedua, tajamkan
perspektif jurnalisme damai di tengah konflik. Lalu yang ketiga,
selalu memberi porsi yang besar terhadap unsur-unsur yang dapat
meredam konflik," imbuhnya.
Nezar memberi contoh tentang
sebuah kampung yang diserang hingga menewaskan 100 korban jiwa.
Seorang wartawan yang tidak menanamkan perspektif jurnalisme damai
tentu akan mengangkat data “100 korban jiwa” sebagai pokok
pembahasannya. Hal ini berbeda dengan wartawan yang punya perspektif
jurnalisme damai.
"Seratus tewas itu memang fakta,
tetap diberitakan. Tapi mungkin angle-nya berbeda. Misalnya tentang
bagaimana upaya tokoh-tokoh masyarakat meredam agar peristiwa itu
tidak membangkitkan permusuhan ataupun memancing balas dendam. Nah,
pemberitaan kayak gitu yang harus dikedepankan," papar Nezar.
Iming-iming
Pada praktiknya, wartawan selalu berhadapan dengan “iming-iming”
dari narasumber. Oleh sebab itu, Aristides menegaskan jurnalis juga
harus menggunakan hati nuraninya. Diakui bahwa arus komersial memang
sangat kuat, termasuk merasuki dunia pers sehingga melupakan sebagian
masyarakat yang membutuhkan.
“Tapi itu pilihan. Sejak awal Sinar Harapan menyajikan berita
berdasarkan kasih. Saya bangga masih ada wartawan SH yang meskipun
penghasilannya pas-pasan, tetapi waktu mau dibayar oleh sumber berita
ia menolak. Ia diminta memuat perkara yang menyangkut jaksa agung di
mana ada pihak yang mau beritanya dibelokkan. Tetapi yang dilakukan
penulisannya berdasarkan fakta dan didalami. Ini adalah kebanggaan,
masih ada wartawan muda menolak suap,” ungkapnya.
Nezar berpendapat pihak media harus
menyadari tidak akan bisa bertahan jika tidak ada pembaca/pemirsa
yang "menghidupinya". Karena itu pembaca atau pemirsa
memiliki "saham" di media apa pun. "Mereka termasuk
yang membangun (eksistensi) media itu. Jadi kalau pemilik tidak
memerhatikan kepentingan publik, media itu akan ditinggalkan,”
katanya.
Prinsipnya adalah bagaimana menjalankan
akurasi setepat mungkin, dan dampaknya ialah kredibilitas. Semakin
akurat, kredibilitas media tersebut akan semakin tinggi. “Nah,
kredibilitas itulah yang menjadi aset bagi media. Aset termahal yang
nggak bisa dikuantifikasi," imbuhnya.
Sayangnya, saat ini
jurnalisme dikotori oleh banyaknya wartawan yang "tidak jelas"
atau kerap disebut “bodrex”, yang medianya juga tidak memiliki
kredibilitas. Praktik wartawan bodrex merusak citra wartawan karena
mereka kerap bekerja berdasarkan pemberian "amplop" dari
narasumber. Persoalan inilah yang sedang diperangi oleh Dewan Pers.
"Masalah wartawan bodrex ini kompleks. Medianya tidak
profesional, jadi nggak bayar cukup atau di bawah upah minimum
regional (UMP). Kadang wartawannya cuma dibekali kartu pers dan
disuruh cari uang sendiri. Nah, itu yang jadi problem," ungkap
Nezar.
Maka menjadi tugas dari media untuk menertibkan
wartawan-wartawannya agar stigma "wartawan amplop" bisa
dihilangkan. Mereka harus membuat aturan yang ketat yang berpegang
pada kode etik jurnalistik. Sementara itu organisasi pers yang lebih
besar berperan untuk menertibkan wartawan bodrex.(Jessica
Rezamonda/Yuliana Lantipo)
Sumber : Sinar Harapan
Komentar