Langsung ke konten utama

Ketua PWI Sumsel Telah Dimandatkan, Berbagai Intrik Tinggal Cerita

Muhamad Nasir
*Catatan Kecil dari Konferprov PWI Sumse; 2019

Penulis: Muhamad Nasir
Sekretaris DKP PWI Sumsel Periode 2014-2019
Perhelatan suksesi PWI Provinsi Sumsel yang disebut Konferprov PWI Sumsel 2019 telah tuntas. Berbagai agenda usai dilaksanakan, termasuk diantaranya pemilihan Ketua PWI Provinsi periode 2019-2024,, yang menetapkan H Firdaus Komar sebagai ‘jawaranya’. Juga, pemilihan Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Sumsel periode yang sama, telah memutuskan H Kurnati Abdulah sebagai ‘komandannya’.
Usai penghitungan suara yang menentukan kemenangan Firdaus Komar, berbagai seloroh meluncur terkait perolehan suaranya di putaran pertama sebesar 155 dianggap hampir 50 persen diperoleh dari pemilih bermandat. Karenanya, Nurul Falah yang Ketua PWI Pali, melalui status facebooknya mengusulkan agar pasal tentang mandat di PD PRT dihapus saja. Status inipun ramai dikomentari apalagi dicolekkan juga dengan FB Ketua umun PWI pusat H Atal S Depari. Di konferprov Dr sebelum dimulai pemungutan suara untuk menentukan bakal calon sempat diusulkan oleh Jon Heri agar mandat ini dipertegas karena ada kesepakatan antar kandidat untuk membatasi mandat. Namun tidak mendapat respon peserta.
Selama beberapa kali Konferprov PWI Sumsel yang saya ikuti, kali ini merupakan even yang cukup panas. Sedikit panas, tapi terkendali. Berbagai intrik dan situasi yang nyaris berakhir keributan, baik antar kandidat maupun pendukung, membuat suasana di lingkungan organisasi para kuli tinta ini menjadi sedikit berbeda.
Berbagai media komunikasi, baik itu face to face, media sosial, maupun media massa, menjadi ladang tersendiri untuk membangun citra maupun menghimpun pendukung. Berbagai intrik pun mengalir dari tiga bulan terakhir sampai hari H, 26 Januari 2019. Berbagai grup Whatsapp bermunculan di kalangan para tokoh yang berminat mencalon. Termasuk media mainstream, media siber maupun media cetak karena anggota PWI adalah wartawan bahkan pemilik media-media tersebut.
Konferprov ini sendiri, awalnya berdasarkan pleno ditetapkan 5 Januari 2019. Pleno itu sendiri memutuskan juga bahwa Ketua PWI periode sebelumnya, H Octaf Riyadi, yang kini menduduki jabatan sebagai Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI pusat harus menyelesaikan tugasnya sampai tuntas di Konfenrov. Permohonannya untuk menyerahkan kepada carateker karena tidak boleh rangkap jabatan, ditolak pleno ketika itu.
Namun usai Panpel yang diketuai H Anwar Rasuan beraudiensi dengan gubernur Sumsel H Herman Deru, pelaksanaan Konferprov diubah menjadi 26 Januari 2019 dengan berbagai pertimbangan.
Gubernur H Herman Deru berhalangan hadir saat pembukaan, dan menjadwalkan Wakil Gubernur H Mawardi Yahya untuk hadir di sela-sela acara. Konferprov yang digelar di Asrama Haji Palembang ini antara lain dihadiri langsung oleh Ketua Umum PWI Pusat H Atal S Depari, dan Ketua Bidang Organisasi Firdaus, Ketua Bidang Pembinaan Daerah Ahmad Munir, dan Ketua Bidang Pembelaan Wartawan H Octaf Riyadi yang sebelumnya juga Ketua PWI Sumsel.
Pemilihan Ketua dalam konferprov ini sendiri sempat berjalan panas meskipun akhirnya tetap bisa didinginkan. Saat putaran pertama tanda-tanda kemenangan Firdaus (Berita Pagi) ini sudah kelihatan karena berhasil meraih suara terbanyak yakni 155 suara.
Sementara kandidat lainnya Jon Heri (Jembatan Informasi) meraih 111 suara, Hadi Prayogo (Sriwijaya Post) 106 suara, dan Aan Sartana (Palteve) 62 suara. Sedangkan dua suara lagi dinyatakan rusak dan tidak sah.
Tak masuk putaran kedua, Hadi Prayogo menarik diri dari arena Konperprov dan membebaskan pendukungnya untuk menentukan pilihan. Pimpinan Sriwijaya Post dan TribunSumsel ini, tidak memilih merapat ke salah satu kandidat yang melaju ke putaran kedua. Ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan.
Lalu di putaran kedua, suara H Firdaus Komar kembali unggul dengan total raihan 199 suara karena berhasil menggandeng kubu Aan Sartana yang didukung oleh Grup Sumatera Ekspres dan LKBN Antara dan Jon Heri mengantongi perolehan yang menyusut dibanding putaran pertama, yakni hanya 109 suara. Sementara 8 sisa suara dinyatakan rusak. Artinya, dari 463 peserta yang punya hak pilih dan hanya 446 yang hadir di saat putaran pertama, cuma 316 peserta yang memberikan suaranya di putaran kedua.
Setidaknya, 130 peserta yang punya hak suara tidak lagi menyalurkan pilhannya pada pemilihan yang berakhir sampai dini hari tersebut. Diantaranya mungkin terdapat para pendukung solid Hadi Prayogo. Dan, peserta lainnya yang tak sanggup begadang dan memilih pulang tanpa menyelesaikan proses pemilihan.
Usai penghitungan suara akhirnya diumumkan pemenangnya. “Dari hasil suara yang telah dihitung, kami umumkan bahwa Ketua PWI Sumsel Periode 2019-2024 adalah Firdaus Komar,” tandas Marsal (Jembatan Informasi) selaku Ketua Presidium seraya mengetuk palu tiga kali. Saat itu, dia didampingi Nurmala (Satelit Info) dan Nurul Palah (Berita PALI).
Intrik Konferprov sejatinya tidak sekadar mengagendakan pemilihan ketua harian, tetapi juga ketua DKP. Juga menyusun program kedepan, serta mendengarkan laporan pertaggungjawaban (LPJ) pengurus periode sebelumnya. Namun, yang menjadi primadona sepertinya hanya momen pemilihan ketua harian. LPJ, tak begitu menarik karena peserta harus menerima dengan berbagai catatan. Begitupun Ketua DKP, tak muncul kandidat seperti halnya beberapa kandidat ketua harian.
Karenanya wajar, kandidat ketua DKP sepertinya hanya menjadi bagian dari intrik-intrik yang mengiringi pemilihan ketua harian. Berbagai tawaran dan dukungan sebagai Ketua DKP menjadi pelengkap dalam paket ketua harian. Sampai akhirnya terplih H Kurnati Abdullah yang juga timses Firdaus Komar. Berpengalaman sebagai ketua PWI Sumsel dua periode plus sebagai anggota DKP satu periode, menjadi modalnya untuk lebih menegakkan marwah organisasi.
Berbagai intrik dan isu terkait kandidat bertebaran sepanjang pra dan saat Konferprov.
Persoalan primodialisme, pernah dipidana, agama, memasuki masa pensiun dan menjadikan PWI sebagai tempat pengabdian terakhir, kedekatan dan anti kepala daerah saat ini, gaya premanisme, kondisi sekretariat yang buruk, ketua mandat, ketua intervensi, dan ketua money politics, menjadi rangkaian isu yang dimainkan dan digoreng-goreng. Kalau istilah halusnya, bagian dari strategi.
Semua menjadi intrik-intrik yang membuat suasana panas-dingin. Sampai kepada penetapan tatib yang sempat membuat gusar peserta karena juga sepertinya dipermainkan dengan mengetok palu yang cepat. Seperti istilah dalam jual beli, “Boleh menawar, harga tetap”. Usulan diterima, tetapi tatib tidak beribah titik dan komanya.
Sehingga berbagai usulan yang seharusnya diperjelas dalam tatib menjadi bias. Sampai kepada persoalan perebutan pimpinan sidang, yang membuat acara menjadi melelahkan dengan melakukan voting untuk menentukan pimpinan sidang. Sehingga peserta harus tiga kali voting. Cukup melelahkan memang. Meskipun, ada yang berpendapat tak mengapa karena lelah hari ini jangan sampai diganti dengan menderita sampai lima tahun kedepan.
Tak kalah menarik, juga melalui konferensi ini, yang mungkin sama dengan konferensi lainnya ataupun kongres di tingkat pusat, adalah terlihatnya sosok-sosok yang berkomitmen, tulus, tanpa pamrih, dan berkhianat.
Bagi saya pribadi, berbagai isu yang beredar meman sulit untuk disebut kadarnya masih termasuk kategori wajar atau sudah berlebihan.
Primordialisme, tak pas lagi di kondisi kekinian . Tetapi tetap mengalir bak asap. Tak bisa dipegang tapi ada bau dan menyesakkan.
Pernah dipidana, juga menjadi isu yang santer. Bahkan, kemudian, sempat nyelip di tatib sebagai salah satu syarat menjadi ketua. Padahal, dalam PD PRT, syarat ketua itu hanya tiga, yakni pernah menjadi pengurus, memegang UKW utama, dan menjadi anggota biasa minimal 5 tahun.
Persoalan agama yang dianut kandidat juga disebar di sela-sela obrolan anggota PWI. Yang dikaitkan dengan visi misi media kandidat.
Di luar itu, posisi kandidat yang memasuki masa pensiun dan dinilai hanya menjadikan PWI sebagai tempat pengabdian terakhir, juga menjadi gosip yang merebak.
Kedekatan dan anti kepala daerah saat ini, juga menjadi soal yang ramai di pusaran suksesi. Berbagai antisipasi dilakukan kandidat untk menepis ini, Ada yang menangkis, ada yang audiensi, dan ada yang menampilkan foto kedekatan.
Begitu pun gaya dan karakter kandidat. Baik yang dianggap bak premanisme maupun terlalu gemulai, juga menjadi bumbu penyedap taste persaingan antar kandidat.
Sekretariat
Soal Sekretariat dan kondisi sekretariat yang buruk, yang diwarnai dengan tidak kuatnya data base, berbagai pungutan terkait pembuatan kartu anggota PWI maupun kartu calon anggota PWI menjadi isu peramai bursa kandidat.
Hingga besaran setoran yang diterima terkadang melebih ketentuan, termasuk besaran yang disetor ke pusat. Sampai ada perhitungan misalnya kalau ada 150 terbit kartu baru, kalau dikalikan jumlah uangnya mencapai puluhan juta. Lalu, berapa besaran setoran ke pusat dan berapa yang nyangkut di sekretariat juga membuat kicauan soal ini terkadang menguak meskipun tanpa ada bukti. Sampai ada yang mengejar konfirmasi ke pusat dan ada yang membuka PD PRT dan menemukan bahwa iuran bagi anggota biasa hanya disetorkan 25 persen ke pusat. Mana yang benar, belum ada yang konfirmasi karena belum ada yang bikin berita soal ini. Karenanya belum dibutuhkan konfirmasi.
Tunggakan gaji sekretariat yang puluhan juta dan siapa yag harus bertanggungjawab, juga merebak saat tanggapan terhadap LPJ di Konferprov. Keberadaan sekretariat yang permanen dan telah dibangun dengan dana APBD yang diperntukkan bagi PWI Sumsel tapi kemudian ditempati Bawaslu, juga dilaporkan dalam LPJ Ketua PWI Sumsel dan sebelumya sempat jadi bahan sosialisasi kandidat.
Gelar Ketua
Berbagai sebutan dan gelar untuk jabatan ketua pun menguak. Ada istilah ketua mandat. Karena tak mau nanti bergelar ketua mandat, para kandidat, yang salah seorang diwakili timnya bersepakat membatasi mandat hanya boleh 30 lembar bagi masing-masing mandat. Saat Konfenprov, terungkap tiga kandidat hanya menggunakan sebagian jatahnya dari 30 lembar form surat mandat yang dibagikan.
Dan ada kandidat yang kurang jelas, seberapa banyak mandat jatahnya digunakan. Lalu, beredar pula form mandat yang diambil secara khusus, di luar kandidat. Sehingga dari 113 surat mandat yang masuk, setidaknya ada 70 an merupakan mandat yang keluar bukan dari kalangan kandidat. Ini mungkin yang termasuk kategori mandat khusus. Yang suaranya tak jelas diarahkan ke kandidat mana.Walahu allam.
Dari informasi yang diperoleh, kubu Hadi Prayogo hanya menggunakan 16 mandat (dari 24 pemberi mandat , 9 pemberi mandat mencabut mandatnya pada hari H), kubu Aan Sartana tidak mencapai 10 mandat, lalu kubu Jon Heri hanya 15 mandat.
Katakanlah dari ketiga kubu ini hanya 45 pemilih bermandat. Berarti dari 113 peserta bermandat yang terdata yakni 45 digunakan tiga kandidat tadi, maka 68 mandat itu digunakan oleh kubu kandidat lainnya. Makanya dari perolehan suara putaran pertama, Firdaus Komar meraih 155 suara, dinilai hampir 50 persen berasal dari peserta bermandat.
Gelar ketua intervensi juga terdengar. Terutama dari berbagai statemen kandidat yang menyebut didukung oleh belasan ketua daerah. Atau didukung oleh pimpinan media. Sejatinya ini menggambarkan adanya upaya intervensi dari ketua daerah maupun pimpinan kepada pemilik suara untuk memilih kandidat tertentu. Padahal, mekanismea pemilihan adalah one man one vote.
Gelar lainnya yang tak mau disandang oleh ketua yang nantinya terpilih adalah ketua money politics.
Menjadi ketua karena money politics. Adakah terjadi money politics? Tak ada bukti untuk itu. Tetapi cerita-cerita tentang berbagai gerakan berbentuk imbalan atas mandat, pengganti ongkos kirim, dana buat pulsa, tersebar dari mulut ke mulut. Penulis tak mengkonfirmasi hal ini, karena tak jelas juga kandidat mana yang melakukan itu. Sampai hari H Konfenprov pun beredar kabar adanya serangan satu suara satu juta. Lalu ada yang menyediakan kamar hotel bagi pemilih dari daerah.
Sementara, kamar yang disediakan panpel bagi pemilih dari daerah, memang sempat dikabarkan kurang. Tentu saja, para kandidat mana yang melakukan itu, tak bisa tunjuk hidung. Namanya juga rumor. Tapi ini tentu akan menjadi cerita. Sama ketika Ketua Bidang Organisasi Firdaus bersalaman dengan H Kurnati Abdulah di saat awal pembukaan Konferprov, terdengar ada menyebut istilah, “dolar beredar di Kongres Aceh”. Lalu dari salah grup WA yang penulis ikuti, sempat juga tercetus persoalan terkait “dolar di Kongres Aceh.” Tetapi, tak ada pembahasan lebih lanjut untuk itu.
Apapun yang terjadi, intrik apapun yang dipakai dalam mencapai kursi Ktua PWI Sumsel, dan isu apapun yang bergulir selama konstelasi suksesi, Konfenprov PWI Sumsel 2019 telah berakhir. Suasana yang sempat memanas kini telah dingin. Pernyataan Gubernur Sumsel H Herman Deru yang bersikap netral tak perlu dibuktikan. Karena memang tidak terlihat secara kasat mata kehadiran Gubernur di arena Konfenprov. Beliau malah hanya mengirim Wakil Gubernur. Plus mungkin ada tim lainnya, yang tidak diketahui karena memang tidak mengisi buku tamu. Paling tidak, mantan Bupati OKU Timur itu dalam tiga auidiensi dengan kelompok/organisasi wartawan –Panpel Konferprov , Serikat Pemimpin Redaksi dan Penerbit Sumsel (SPPS), dan Forum Ketua PWI Daerah di Sumsel— menyatakan akan merestui siapa pun yang terpilih sebagai Ketua PWI Sumsel.
PWI memang organisasi wartawan. Wartawan adalah pilar keempat dalam demokrasi. Diantara keempat pilar demokrasi, yakni eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers, masing-masing pilar memang harus bisa berada di posisi yang ideal. Bravo PWI Sumsel . Selamat untuk Ketua PWI Sumsel terpilih periode 2019-2024, H Firdaus Komar dan Ketua DKP PWI Sumsel terpilih, H Kurnati Abdullah. Semoga bersama tim formatur bisa menyusun formulasi kepengurusan yang bisa mengeksekusi berbagai program kerja yang digagas.
Kepada tiga kandidat lainnya, Aan Sartana, Hadi Prayogo, dan Jon Heri, Anda adalah wartawan terbaik Sumsel. Merupakan aset berharga yang memberikan contoh terbaik bagaimana berkompetisi sehat. Meskipun belum ada secara eksplisit menyatakan siap menerima kekalahan, sampai hari ini kesiapan itu telah terlihat. Belum satupun kandidat menyatakan penolakan hasil Konferprov. Konferprov telah usai dan Panpel telah berhasil menuntaskan amanah yang dipegang.
Meskipun disadari masih ada kekurangan di sana-sini. Seperti Ketua DKP yang tidak menyampaikan pertanggungajawaban, padahal untuk itu diatur dalam tatib. (***)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Sinar Harapan

LINTAS SEJARAH SINAR HARAPAN Sinar Harapan terbit perdana pada tanggal 27 April 1961. Tokoh – tokoh yang terlibat dalam upaya pendirian Sinar Harapan adalah : Dr. Komang Makes; Lengkong; Ds. Roesman Moeljodwiatmoko; Simon Toreh; Prof. Dr. Soedarmo; J.B. Andries; Dr. J. Leimena; Supardi; Ds. Soesilo; Ds. Saroempaet; Soehardhi; Ds.S. Marantika; Darius Marpaung; Prof. Ds. J.L.Ch. Abineno; J.C.T. Simorangkir SH; Ds. W.J. Rumambi; H.G. Rorimpandey; Sahelangi; A.R.S.D. Ratulangi; Dra. Ny. B. Simorangkir Pada awal pendirian, H.G. Rorimpandey dipercaya sebagai Pemimpin Umum, sedangkan Ketua Dewan Direksi adalah J.C.T Simorangkir dan Pelaksana Harian adalah Soehardhi. Pada awalnya (27 April 1961), oplah Sinar Harapan hanya sekitar 7.500 eksemplar. Namun pada akhir tahun 1961, oplahnya melonjak menjadi 25.000 eksemplar. Seiring dengan perkembangan waktu, Sinar Harapan terus berkembang menjadi koran nasional terkemuka serta dikenal sebagai “raja koran sore”. Sebagai ilustrasi, pada tahu

H Ismail Djalili

Suasana pemakaman tokoh pers Sumsel, Drs H Ismail Djalili di TPU Puncak Sekuning, Minggu sore. (Foto: Facebook arif ardiansyah) Tokoh Pers Sumsel Meninggal Palembang, Berita duka menyelimuti dunia pers di Sumsel. Seorang tokoh pers di Sumsel, Drs H Ismail Djalili, menghembuskan nafas terakhirnya Minggu (6/2/2011) sekitar pukul 07.30 di RS RK Charitas Palembang.. Masyarakat Sumatera Selatan, utamanya insan jurnalis sangat kehilangan sosok Ismail yang dikenal sebagai pekerja keras, disiplin dan tegas. Selama hidupnya, almarhum telah mengabdikan dirinya di dunia pers. Beliau sempat memimpin PWI Sumsel. Dan mendirikan lembaga pendidikan yang kini mengelola Program Pasca Sarjana. Pendidikan S-1 dan SLTA di Sekip Ujung Palembang. Lembaga yang didirikannya itu adalah STISIPOL Candaradimuka. Ia meninggalkan seorang istri, Lien Suharlina, dua anak, Lis Hapari dan Lisdestriani Rahmani. Serta empat orang cucu, Aidri, Rere, Utiyah Nurahmadani, dan Isnin Nurulfallah. Jenazah pendiri Stisipol Cha

Sejarah Sumatera Ekspres

Sejarah Sumatera Ekspres: http://bukuteje.blogspot.com/2009_02_01_archive.html PENULIS: T Junaidi Sejarah Harian Sumatera Ekspres & 15 Tahun Bersama Jawa Pos Group Detik-Detik Menegangkan di Ruang Redaksi ---------------------------- Lay out & Artistik : T Junaidi dan Hellendri Fotografer : H Dulmukti Djaja Penerbit : PT Citra Bumi Sumatera Percetakan : JP Book ---------------------------------------------------------------------------- I. Kata Pengantar H Suparno Wonokromo (CEO Jawa Pos Indonesia Timur) II. Pengantar (Penulis, T Junaidi) III. DAFTAR ISI 1. Negosiasi Buntu, Hanya Ada Satu Kata MOGOK! 2. Ya Wartawan, Ya Sirkulasi, Ya Advertising 3. ’Hoki’ Era Reformasi 4. Kantor Terburuk di ’Dunia’, Kini Gedung Graha Pena 5. ’Embrio’ Sumeks Menjelma Gurita 6. Sumeks Juara I Perwajahan Jawa Pos Group 7. Wajah Media Cermin Manajemen Redaksi IV. CATATAN HARIAN - Dari Titik Nol 8. Muntako BM, Jual Kursi untuk Selamatkan SIUPP Sumatera Express 9. Fotografer Gaek H Dulmukti Jaya, Tak