*Hari Pers Nasional 2019
Muhamad Nasir, Penanggung Jawab Sumselterkini.co.id |
Media
massa adalah saluran komunikasi yang memiliki daya ubah luar biasa. Bentuknya,
menurut Septiawan Sentana K (2006), di era terkini, terdiri dari media cetak,
elektronik, dan online (daring/dalam jaringan). Ketiganya merupakan bentuk
media jurnalistik.
Jurnalistik
membedakan ketiganya ke dalam banyak dimensi. Media cetak (pers), sebagai sejarah
awal jurnalistik memiliki media tempat menyalurkan hasil kerja kewartawanannya.
Yaitu medium jurnalisme yang memakai mesin cetak sebagai alas dan format teks
pemberitaan. Dilaporkan sebagai surat kabar, majalah, tabloid, buletin berita,
dan sebagainya. Media elektronik ialah media jurnalistik yang dijalankan
berdasarkan teknologi pancaran gelombang elektronnik, dan menjadikan
pemberitaan disiarkan secara audio (radio) dan siaran audio visual (televisi).
Media online/daring ialah media yang memakai teknologi internet sebagai alat
dan format pemberitaannya.
Menurut Bill Kovach dan Tom Rosentiel (2006),
“Kita membutuhkan berita untuk menjalani
hidup kita, untuk melindungi diri kita, menjalin ikatan satu sama lain, mengenali
teman dan musuh. Jurnalisme tak lain adalah sistem yang dilahirkan masayarakat
untuk memasok berita. Inilah alasan mengapa kita peduli terhadap karakter
berita dan jurnalisme yang kita dapatkan: mereka mempengaruhi hidup kita,
pikiran kita, dan budaya kita.”
Melalui
informasi yang disajikannya, pers dapat mempengaruhi audiennya, pembaca maupun
pendengar dan penonton. Berita, artikel, foto, atau musik dan drama yang
diperdengarkan radio atau ditayangkan televisi, akan selalu membawa perubahan
situasi dan kondisi pada khakayaknya. Perubahan dimaksud pada akhirnya
akan membuahkan suatu opini publik, yang
secara langsung atau tidak, berpengaruh pada tatanan kehidupan khalayaknya.
(Suhandang, 2016)
Daring
Shirley Biagi (2015) pun mengemukakan
bahwa industri media menyediakan
informasi dan hiburan. Akan tetapi, media
juga dapat mempengaruhi institusi politik, sosial, dan budaya. Di era
globalisasi dan digitalisasi saat ini,
media pun mengalami perubahan yang sangat besar. Kalau dulu hanya terbagi dua,
media cetak dan elektronik, saat ini sudah ada media daring. Bahkan, informasi
melalui media pun bisa dinikmati dalam satu media, dikenal dengan istilah
konvergensi media.
Hal
ini seperti dikemukakan Syarifuddin Yunus (2012), media online dapat
disamakan dengan pemanfaatan media dengan menggunakan perangkat internet.
Media online sebagai salah satu
media massa yang tergolong memiliki
pertumbuhan spektakuler. Bahkan saat ini, hampir sbagian besar masyarakat mulai dan sedang menggemari media online. Sekalipun internet
tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk
media massa, tetapi keberadaan media
online saat ini sudah diperhitungkan banyak orang sebagai alternatif dalam memperoleh akses informasi
dan berita.
Dengan
perkembangan teknologi, memang sajian media cukup dinikmati dari jenis satu
media. Dari satu jenis media, kita bisa membaca berita, bisa mendengar laporan
reporter, dapat menonton sajian reporter tentang peristiwa di belahan dunia
sana. Bukan hanya berita dan feature maupun opini, yang merupakan isi media
yang bisa dinimati. Tapi film, iklan, diskusi, debat, surat pembaca, dan bahkan
tips-tips ringan mengatasi persoalan sepele sampai yang rumit pun bukan tidak
mungkin diperoleh dari media massa kini. Itu semua berkat perkembangan
teknologi sehingga media massa pun bisa diterima melalui daring.
Menurut
Maria Puspita Sary dkk (2013), di era globalisasi seperti ini dimana arus
informasi harus bergerak cepat, dibutuhkan suatu penggabungan berbagai media
yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja. Tidak bermaksud mengintimidasi
fungsi dari media-media massa secara terpisah, namun kini kita sudah dapat
‘membaca harian’, mendengar siaran radio’, sampai ‘menyaksikan suatu tayangan’
hanya menggunakan satu media saja. Media-media yang terbilang tradisional
tersebut, kini melebur menjadi satu dan terwujud lewat adanya intenet.
Penggabungan media-media tersebut, yang kita kenal dengan sebutan konvergensi
media.
Bisa
dibayangkan, zaman dahulu saja, informasi yang disebarkan media tidak begitu
luas pun, daya ubahnya begitu besar. Saat itu untuk membaca koran hanya bisa
kalau kita berada di wilayah edar media tersebut, bisa mendengar siaran radio
kalau frekuensinya bisa diterima dengan baik, dan televisi hanya bisa ditonton
di wilayah yang terjangkau siarannya. Kala itu, pembaca hanya bisa mendapat
informasi dari media cetak, seperti koran, tabloid maupun majalah. Pun
pendengar radio cuma dibatasi informasi
melalui pesawat radio. Ataupun, pemirsa televisi pun sekedar memperoleh
informasi dari layar kaca. Maka, di era konvergensi media saat ini yang daya
nikmat, daya jangkau, daya edar nya begitu variatif, tentu tak bisa dibantah
kalau dampak yang diakibatkan informasi media akan begitu dahsyat.
Kemajuan teknologi juga menambah
kecepatan beredarnya berita. Seperti dikemukakan Ishwara (2005), media cetak,
seperti surat kabar dan majalah, kalah bersaing
kecepatan dengan media elektronik seperti radio, televisi, dan internet.
“Dan kini bertambah hebat lagi dengan munculnya internet. Melalui internet --online
journalism— kita bisa menjelajah berita
dengan kedalamannya tanpa ada batasan atau kendala ruang. Berita pun dapat
menyebar luas dan bisa terus diperbarui. Online journalism ini menerapkan
annotative journalism: tinggal
meng-klik suatu kata, kita bisa mendapatkan informasi sebanyak yang tersedia.
Itulah
dampak teknologi bagi perkembangan pers. Ini bukan hanya dirasakan di
Indonesia, tetapi sudah merambah ke seluruh dunia. Bahkan, bukan dampak positif
seperti tergambar di atas, tetapi juga dampak negatifnya. Yang kalau tidak diimbangi
oleh kalangan pers itu sendiri akan menggulung keberadaannya.
Di Indonesia, media
mainstream telah bermain di ranah daring ini sejak 1994 diawali oleh
Republika.com. Lalu di tahun yang sama juga ada Tempointeraktif.com (kini
Tempo.co). Bisnis Indonesia, di tahun 1996, dan Kompas dengan Kompas.com-nya di
tahun 1997. D luar Jakarta, yang pertama kali hadir, Waspada.co.id di Medan. Media
daring tanpa media cetak mulai tumbuh di tahun 1997, dimulai dengan Detik.com
di bulan Juli. Lalu diikuti bebeapa situs seperti Astaga.com, Satunet.com, Lippostar.com,
Kopitime.com, dan Berpolitik.com. Namun kemudian, media-media ini tumbuh dan
tumbang bergantian, Yang masih bertahan hanya Detik.com dan media-media baru
lainnya.
Perkembangan dan
pertumbuhan media daring ini pun, diikuti oleh lahirnya organisasi berbasis
media siber. Sebut saja, SMSI (Serikat Media Siber
Indonesia), lalu ada AMSI (Aliansi Media Siber Indonesia), IWO (Ikatan Wartawan
Online), dan AJO (Aliansi Jurnalis Online). Lahirnya organisasi ini barangkali
diilhami Pasal 7 ayat 1 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi: “ 1. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.”
Meskipun saat ini, organisasi wartawan yang terverifikasi Dewan Pers hanya PWI,
AJI, dan IJTI, mungkin tidak disalahkan juga kalau beberapa wartawan memilih
organisasi di luar itu. Sambil menunggu proses, organisasi mereka itu poun akan
terverifikasi.
Medsos
Tahun
1787, Thomas Jefferson mengatakan,”'lebih baik kita memiliki pers tanpa
pemerintahan daripada pemerintahan tanpa pers” . Inilah tonggak pers sebagai
pilar keempat, untuk menyangga tatanan negara bila eksekutif, legislatif, dan
yudikatif oleng atau lemah atau berkonspirasi ke arah yang bertentangan dengan
kehendak publik.
Kini,
tiga abad kemudian, publik bikin saluran sendiri di dunia maya melalui media
sosial. “Inilah pilar kelima, yang
muncul karena kekecewaan publik terhadap komitmen
empat pilar terdahulu. (sirikit syah, 2014)
Kehadiran media sosial sebagai implikasi dari
perkembangan iptek memang tak bisa
dihindari. Komunikasi menggunakan media memang kemudian terbelah.
Melalui saluran media mainstream (pers)
dan media sosial. Media mainstream tentu dilengkapi dengan aturan dan kode etik
serta news value. Sementara media
sosial sangat bebas, bergantung kepada keinginan dan jari penggunanya.
Perkembangan iptek ini juga
dipengaruhi perubahan politik sehingga peran komunikasi pun berubah. Kalau dulu
Napoleon sangat percaya akan kekuatan
pers, kini seakan kekuatan itu mulai berkurang.
Masyarakat terkadang lebih terpuaskan
menggunakan saluran media sosial. Akibatnya, media mainstream, terkada ng
seakan berseberangan dengan medsos. Kondisi kini seakan keduanya terjebak dalam
posisi sebagai pilar demokrasi. Pilar keempat dan pilar ke lima. Atau
kedua-duanya menempati posisi sebagai pilar keempat dalam demokrasi.
Bagaimanapun,
perkembangan teknologi telah membawa implikasi bagi pers. Selama beberapa masa
lalu, pers telah berhasil melaluinya dengan mulus. Meskipun pergeseran mau
tidak mau tetap dirasakan. Seperti dari pers idealis bergeser menjadi pers
bisnis. Artinya, di era pers adalah bisnis, tetap bisa mempertahankan sisi
idealisnya. Di zaman now, di era merebaknya medsos, tentu diharapkan pers juga
tetap bisa bertahan sebagai pelaksana kontrol sosial. Selain, tentunya memberi informasi, hiburan,
sarana pendidikan, dan berbagai fungsi
lainnya.
Medsos,
seperti Facebook, Whatsapp, Instagram, twitter, dan lain-lainnya tak
terbantahkan juga sarana komunikasi. Sama halnya dengan pers, mereka juga
dibutuhkan. Hanya saja, pers punya ciri dan karakteristik tersendiri yang tak dimiliki oleh medsos. Dengan bekal
idealisme dan berpedoman kepada kode etik dan UU No 40 Tahun 1999 tenyang
pers, semoga pers Indonesia tetap dibutuhkan menjadi pilar keempat dalam
membangun bangsa.
Dalam pasal 6 UU No 40 Tahun 1999, pers
nasional itu memiliki fungsi yang sangat penting: Yakni, Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut: a.
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b.
menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum,
dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi
yang tepat, akurat dan benar; d.
melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum; e.
memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini tentu akan
lebih terjaga dengan mengacu kepada kode
etik. Masing-masing organisasi, seperti PWI, AJI, dan IJTI (yang
terverifikasi) punya kode etik yang
berbeda. Namun, Dewan Pers kemudian menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang
berlaku bagi semua wartawan.
Paling tidak, dengan
kode etik ini, wartawan bisa melaksanakan profesinya sesuai standar dan
masyarakat tetap terjaga hak-haknya.
Perkembangan terakhir, PWI bahkan kni telah punya Kode Etik Prilaku
Wartawan. Telah disahkan dalam Kongres PWI 2018 lalu. Di mana dalam kode perilaku ini diatur
tentang bagaimana wartawan itu mestinya berprilaku secara teknis.
Di Hari Pers Nasional tahun ini, para penggelut profesi Mat Kodak
tentunya harus bisa lebih meningkatkan kemampuan dan bertahan dengan
profesinya. Menguasai ranah teknologi tanpa melupakan kompetensi dan
meningkatkan profesionalitas dengan mengutamakan etika. Sehingga di zaman now,
para kuli tinta semakin bermartabat. Hanya dengan ini, media mainstream akan
bisa bertahan dan tetapo dibutuhkan oleh masyarakat, Meskipun medsos semakin
diminati, media massa akan tetap ditunggu kehadirannya.
Penulis: Muhamad Nasir
Penanggung Jawab Sumselterkini.co.id
Penanggung Jawab Sumselterkini.co.id
Komentar